Masyarakat adat yang terkenal dengan kearifan lokal dan tradisi budayanya kerap kali merasakan peminggiran. Mereka memiliki tradisi yang kaya, namun sayangnya, mereka sering kali terpinggirkan dalam dinamika sosial dan ekonomi yang lebih luas. Salah satunya di masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD). Pemerintah Daerah (PEMDA) Jambi, menyadari pentingnya inklusi dan keadilan. Memutuskan untuk mengambil peran yang aktif dalam mendorong partisipasi masyarakat adat Suku Anak Dalam.
PEMDA Jambi tidak hanya melihat masyarakat adat suku anak dalam sebagai kelompok yang memerlukan perlindungan. Tetapi sebagai mitra yang memiliki kontribusi berharga dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan. Langkah pertama yang diambil adalah melibatkan perwakilan dari masyarakat adat Suku Anak Dalam dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal. Mereka diberikan tempat dalam forum-forum musyawarah untuk menyampaikan pandangan dan aspirasi mereka.
“Kemarin saat kami ingin melakukan Musrenbang di tingkat kabupaten, kami mengajak semua daerah untuk mendatangkan perwakilan mereka. Baik dari perempuan, anak dan disabilitas. Agar kami dapat mengetahui, apa yang menjadi kebutuhan mereka,” jelas Dewi Rejeki, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Bappeda Kabupaten Bungo. Dalam acara ngobrol inklusi yang diadakan oleh KEMITRAAN, Kamis, 2 November 2023.
Dewi menjelaskan bahwa ada lima yang menjadi isi dari PEMDA Kabupaten Bungo untuk mewujudkan nilai inklusi terutama bagi kelompok marginal. Yakni, meningkatkan pembangunan infrastruktur daerah yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Lalu, peningkatan tata kelola pemerintahan yang baik yang berorientasi pada pelayanan publik. Pemberdayaan masyarakat melalui kearifan lokal dan nilai-nilai keagamaan. Serta penguatan otonomi desa dan pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada sektor pertanian , perkebunan dan lembaga ekonomi masyarakat.
“Di visi kami yang kelima inilah sebenarnya bagian dari peran PEMDA kabupaten Bungo untuk mewujudkan pembangunan yang inklusi,” tambahnya.
Selain itu, PEMDA juga menyediakan beberapa akses layanan dasar, khususnya mereka yang masih tinggal di daerah terpencil. Seperti akses layanan pendidikan, kesehatan dan administrasi kependudukan. PEMDA mendengarkan kebutuhan dari masyarakat terutama masyarakat adat suku anak dalam. Sehingga, kebijakan pembangunan dapat mencakup aspek penting bagi kelangsungan hidup dan keberlanjutan budaya masyarakat adat suku anak dalam. Proses ini tidak hanya sekadar formalitas, tetapi benar-benar menghargai pengetahuan lokal dan pengalaman hidup masyarakat adat.
Untuk meningkatkan akses masyarakat adat suku anak terhadap pendidikan, banyak anak-anak yang dapat sekolah bahkan sampai masuk ke perguruan tinggi. Salah satunya bernama Yulia, yang saat ini sedang kuliah jurusan kehutanan, kata Dewi. Tidak hanya itu, bahkan ada yang masuk sekolah kepolisian dan saat ini sudah bekerja di Polres Kecamatan Plepat.
PEMDA Bungo juga berperan aktif dalam melindungi hak-hak tanah. Juga sumber daya alam yang vital bagi keberlanjutan masyarakat adat suku anak dalam dan daerah lainnya. Dewi mengatakan PEMDA sudah menyediakan lahan sekitar 9,8 hektar dan sebagiannya sudah ada didirikan pemukiman. “Namun memang belum semua ada legalisasinya. Sehingga banyak dirampas oleh masyarakat lain dan ini tugas besar dan akan terus diperbaiki aturannya,” tambahnya.
Pentingnya inklusi juga tercermin dalam kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Pemda memberikan dukungan finansial dan teknis kepada usaha ekonomi lokal yang dimiliki dan dijalankan oleh suku anak dalam.
Salah satunya bantuan kolam yang didirikan oleh pemda. Tujuannya mendirikan ternak ikan agar dapat diolah dan dijual untuk pendapatan masyarakat, kata Dewi. Ini diharapkan menjadi cikal bakal kemandirian bagi suku anak dalam dalam kemandirian ekonomi berbasis kerakyatan. “Ada bantuan pakan dan bibit ikan dan ada penyuluh perikanan sehingga ada bantuan pengarahan bagaimana berternak dengan baik,” tambah Dewi.
Sedangkan untuk akses layanan kesehatan, pemda sudah banyak melakukan penyuluhan dan bekerja sama dengan dinas kesehatan. Juga, mahasiswa magang jurusan kedokteran universitas Jambi untuk melakukan pemeriksaan dan edukasi. Salah satunya tentang bagaimana menjaga kesehatan dan lingkungan dan pencegahan penyakit menular.
“Kami juga telah mendirikan beberapa posyandu di setiap daerah tersebut yang dimana kader dari masyarakat itu sendiri yang mengisi didalamnya. Sehingga layanan keseahatan bisa lebih mudah dicapai. Juga menaikkan tarafv kesehatan dan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang mengalami buta aksara.”
Dewi mengatakan saat ini fokus utama yang dilakukan pemda adalah seluruh masyarakat adat suku anak dalam mendapatkan akses layanan kependudukan. Menurutnya, ketika masyarakat sudah memenuhi administrasi kependudukannya, maka dengan mudah mereka mendapatkan layanan kesejahteraan hidup lainnya. Seperti kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan.
“Jadi kami bantu masyarakat dalam proses pembuatan KTP. Sehingga ketika mereka sudah punya KTP kami akan bantu selanjutnya untuk membuatkan kartu kesehatan lainnya. Intinya kita akan terus mengkawal setiap masyarakat yang belum mendapatkan hak layanan dasarnya,” tambahnya.
Dari semua misi perwujudan pembangunan yang inklusi itu, Dewi bercerita bahwa ada beberapa hal yang menjadi hambatan bagi pemda. Yakni, perbedaan karakter dari setiap masyarakat adat. Dewi mengakui bahwa setiap masyarakat punya kebiasaan, adat dan tradisinya masing-masing sehingga tidak bisa disamakan.
Saat ini pemda pun berusaha untuk dapat memetakan apa saja kebutuhan dari masing-masing daerah. Dengan bekerja sama dengan Pundi Sumatera, pemda dapat dengan mudah mengetahui kebutuhan dasar dari setiap masyarakat di daerahnya masing-masing. “Karena pundi sumatra banyak kader mereka yang melakukan basis dan pendampingan di sana, sehingga dengan mereka pemda membangun komunikasi,”
Melalui serangkaian kebijakan dan tindakan konkret ini, pemerintah daerah berhasil menciptakan lingkungan yang mendukung inklusi masyarakat adat suku anak dalam. Inisiatif ini tidak hanya menghasilkan perubahan positif. Tetapi juga memperkuat keberagaman budaya yang menjadi kekayaan bersama bagi masyarakat di daerah tersebut. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
“Ini semua terjadi berkat kerja sama dan mitra yang lain dari awal 2012. Sampai kembali dengan program baru pada Juni 2022 lalu yakni, program estungkara. Harapannya ini tidak hanya sekadar program saja tapi harus berlanjut dan mandiri,” tutup Dewi.