Kasepuhan Cibarani, apakah kalian familiar dengan masyarakat adat yang tinggal di Kabupaten Banten ini? Sebelum memulai penelitian ini, saya tidak memiliki banyak pengetahuan tentang Kasepuhan Cibarani. Hingga saat ini, belum banyak literatur yang membahas tentang Kasepuhan Cibarani, sehingga hal ini semakin mendorong ketertarikan saya untuk mendalami kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Cibarani.
Sebagai komunitas adat, masyarakat adat Kasepuhan Cibarani diasosiasikan dengan kedekatan terhadap ekologi dan tradisi. Gambaran awal saya tentang mereka mencakup pakaian adat, lingkungan yang asri, dan pola hidup yang sepenuhnya tradisional. Namun, realitas yang saya temui sangat berbeda. Masyarakat Kasepuhan Cibarani telah beradaptasi dengan modernitas, terlihat dari penggunaan listrik, ponsel, sepeda motor, dan berbagai perangkat elektronik lainnya. Perkembangan IPTEK yang begitu pesat menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif salah satunya berpengaruh pada aspek kebudayaan (Setiawan, 2018).
Pagi pertama di Kasepuhan Cibarani, aktivitas masyarakat adat tampak hidup dengan warga yang mulai bekerja di sawah untuk melak pare (menanam padi). Melak pare merupakan salah satu kegiatan yang memiliki sakralitas tersendiri bagi mereka. Dalam proses menanam hingga memanen padi ada berbagai rangkaian ritual yang dilakukan. Kegiatan ini bertujuan untuk agar padi yang ditanam mendatangkan rizki yang penuh keberkahan. Para lelaki mengoperasikan traktor, mengatur irigasi, dan memastikan proses berjalan lancar, sementara beberapa perempuan menanam satu per satu bibit padi.
Penggunaan traktor menarik perhatian saya, karena menghadirkan teknologi modern di tengah tradisi adat yang sarat akan tradisionalitas. Transformasi ini menjadi salah satu aspek menarik untuk dikaji dalam penelitian. Masyarakat menyambut dengan ramah, bahkan mengajak saya ikut menanam padi. Pada malam harinya, saya berbincang dengan Abah Haji Dulhani, Kepala Desa Cibarani. Beliau menjelaskan bahwa ketika padi di sawah dianggap milik laki-laki, sedangkan ketika padi sudah di leuit (lumbung) menjadi milik perempuan.
“Meskipun laki-laki memiliki peran utama di sawah, perempuan tetap terlibat aktif dalam proses menanam, sementara pengelolaan padi di leuit sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan,” tambah Abah dalam ceritanya.
Posisi perempuan di Kasepuhan Cibarani menunjukkan adanya ruang yang cukup seimbang dalam domain publik. Hal ini juga tercermin dalam forum pengajian rutin yang diadakan setiap dua minggu sekali pada hari Jumat, di mana perempuan tidak hanya menjadi peserta, tetapi juga mengambil peran aktif sebagai pemimpin. Dalam acara tersebut, ibu-ibu memimpin pembukaan dengan melantunkan sholawat dan rotibul hadad secara kolektif, sementara sesi ceramah atau mauidoh hasanah biasanya diisi oleh para ustaz.
Namun, dalam situasi tertentu, ketika para ustaz berhalangan hadir, Umi—istri dari Kolot (Ketua Adat)—turut mengambil alih peran sebagai pengajar. Praktik ini mencerminkan konsep relasionalitas sebagaimana dijelaskan oleh Moreton-Robinson (2015), di mana hubungan sosial dan spiritual dalam komunitas dibangun melalui kontribusi kolektif dan berbasis gender yang saling melengkapi. Perspektif ini menggarisbawahi pentingnya melihat peran perempuan tidak sekadar sebagai pelengkap, tetapi sebagai aktor yang terhubung secara integral dalam struktur sosial masyarakat adat.
Meskipun demikian, salah satu tantangan utama di masyarakat Kasepuhan Cibarani adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia akibat tingkat pendidikan yang masih minim, rata-rata adalah lulusan SD atau SMP. Hal ini memengaruhi pola pikir dan berdampak pada rendahnya etos untuk meningkatkan taraf ekonomi. Dalam percakapan dengan Umi, Mak Ani, dan Bu Kokom saat memasak bersama untuk ritual ngubaran pare (ritual sebelum melakukan pengobatan padi agar tidak ada hama), mereka mengungkapkan bahwa hidup mereka terasa stagnan.
Keterbatasan sumber daya membuat masyarakat Kasepuhan Cibarani cenderung menerima keadaan tanpa ambisi besar untuk meningkatkan taraf ekonomi, meskipun terdapat keinginan untuk maju. Rendahnya tingkat pendidikan berkontribusi pada fenomena pernikahan dini yang sering berujung pada perceraian, sebagaimana dialami oleh Mak Ani dan dua putrinya. Keseharian mereka kini diisi dengan menjaga toko kecil di rumah dan melakukan siaran langsung (live) di salah satu platform media sosial (TikTok). Selain menjadi hiburan, live juga berfungsi sebagai upaya mencari penghasilan tambahan.
Meskipun penghasilan mereka terbatas, kebiasaan seperti merokok tetap dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan personal. Modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi (IPTEK) membawa dampak yang beragam bagi masyarakat, termasuk dampak negatif. Sebagaimana dicatat oleh Asnawati (2019), perkembangan teknologi dapat menciptakan tantangan baru bagi komunitas
tradisional.
Di Kasepuhan Cibarani, misalnya, aktivitas seperti live streaming di TikTok yang bergantung pada hadiah virtual (gift) menjadi salah satu cara mencari penghasilan, tetapi juga mencerminkan paradoks modernitas. Beberapa pemuda terlibat dalam aktivitas tersebut, menunjukkan bahwa transformasi sosial akibat modernisasi menghadirkan tantangan signifikan dalam pembangunan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia.
Uraian diatas merupakan sebagian dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat adat Kasepuhan Cibarani yang terkenal dengan tradisionalitas dan kedekatan dengan alam. Hal tersebut juga dapat kita lihat dari salah satu hasil perkebunan unggulan yang menjadi identitas Cibarani adalah gula semut aren “Lodong Cibarani”. Robert Redfield, seorang antropolog, (seperti dikutip dalam Abdullah, 2010) menyatakan bahwa ada empat ciri utama sebuah komunitas, yaitu: sifat kecil dari sebuah unit; sifat homogen dari kegiatan dan pemikiran anggota; kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri; serta kesadaran akan adanya perbedaan dengan orang lain.
Kasepuhan Cibarani, pada dasarnya, juga memenuhi keempat ciri komunitas tersebut. Sebagai komunitas kecil yang homogen, mereka memiliki sistem nilai, tradisi, dan pola kehidupan yang serupa, termasuk dalam aktivitas ritual dan kehidupan sehari-hari. Mereka juga mampu memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri melalui aktivitas bercocok tanam dan keterlibatan dalam kegiatan adat.
Masyarakat adat Kasepuhan Cibarani menyadari adanya perbedaan mereka dengan masyarakat luar, terutama dalam hal pendidikan dan modernisasi, yang membuat mereka cenderung mempertahankan identitas tradisionalnya. Dalam konteks perubahan sosial, Abdullah (2010) menekankan perlunya menilai validitas empat atribut komunitas ini dalam kerangka eksistensi sosial kontemporer, khususnya dalam menghadapi tantangan modernitas. Jika ditinjau lebih lanjut, transformasi yang terjadi di Kasepuhan Cibarani tidak hanya dipengaruhi oleh modernisasi melalui teknologi, seperti penggunaan TikTok, tetapi juga oleh keterbatasan pendidikan dan rendahnya literasi ekonomi masyarakat. Akibatnya, beberapa individu, terutama pemuda, terlibat dalam aktivitas yang dianggap sebagai paradoks modernitas, seperti live streaming untuk mendapatkan gift.
Berdasarkan pengamatan saya, fenomena ini mencerminkan dilema komunitas adat yang berada di persimpangan antara tradisi dan modernitas. Ketidaksiapan masyarakat Kasepuhan Cibarani dalam menghadapi modernisasi terlihat dari minimnya kapasitas sumber daya manusia dan lemahnya adaptasi terhadap perubahan teknologi.
Seperti yang dikemukakan Abdullah, transformasi sosial yang tidak diiringi dengan penguatan nilai-nilai tradisional dapat mengarah pada hilangnya identitas budaya yang unik. Oleh karena itu, masyarakat Kasepuhan Cibarani memerlukan strategi pembangunan yang holistik dan berbasis pada pemberdayaan, agar dapat menjaga warisan budaya sekaligus beradaptasi dengan dunia yang terus berkembang. Jika tidak, ada risiko bahwa nilai-nilai tradisional mereka akan terkikis, dan homogenisasi budaya modern akan menghambat keberlanjutan sosial mereka di masa depan.
*Penulis adalah Mahasiswa CRCS UGM yang magang di Program Estungkara periode 2024