Menjawab Tantangan Pangan dan Gizi Dengan Kearifan Lokal

Dalam berbagai penjuru nusantara Indonesia, masyarakat adat menjalankan praktik-praktik luhur yang berkaitan erat dengan ketahanan pangan dan gizi. Kedaulatan pangan bukan hanya sekadar konsep, melainkan warisan nilai dan kearifan lokal yang telah menjadi fondasi hidup bagi komunitas adat. Meskipun seringkali terpinggirkan dan minim perhatian dari pemerintahan pusat, masyarakat adat membuktikan keampuhan dan keberlanjutan sistem pangan tradisional mereka.

Pernyataan pemerintah yang menyebut bahwa masyarakat Indonesia secara umum mengalami kemiskinan dan stunting telah menutup mata terhadap kenyataan di lapangan. Banyak daerah di Indonesia menghadapi dilema, terutama ketika mereka dipaksa untuk mengadopsi pangan yang bukan merupakan komoditas asli mereka. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat dianggap miskin hanya karena tidak mengonsumsi beras, tanaman pangan utama versi pemerintah.

Contohnya di daerah masyarakat adat Mollo, di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dilansir dari laporan narasi Project Multatuli, pada Oktober 2021, sebuah media nasional melansir kabar bahwa Timor Tengah Selatan adalah satu dari lima kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang mengalami kemiskinan ekstrem. Sungguh berita yang terasa jauh dari apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.

Dicky Senda, penggagas dari Lakoat Kujawas, sebuah komunitas kewirausahaan sosial, yang menggiati pengarsipan pangan lokal, kekayaan alam, dan seni budaya sebagai identitas masyarakat Mollo, mengatakan ia dan kawan-kawan di lingkungannya dicerabut dari identitas secara sistemis.

Standarisasi kehidupan modern, seperti makan nasi dan tinggal di rumah dengan berdindingkan batu, membuat masyarakat adat Mollo yang tinggal di rumah tradisional serta memenuhi pangan dari komoditas pangan asli mereka dikesan sebagai orang miskin dan kurang gizi.

Padahal masyarakat adat Mollo punya banyak hasil hutan yang melimpah, umbi-umbian dan jagung yang tumbuh subur untuk memberi mereka makan. Bagi orang Mollo yang juga disebut atoin meto—orang-orang dari daratan kering—itu semua adalah sumber karbohidrat yang telah mereka kenal sejak dulu.Sehingga mereka tak perlu takut dan malu tentang komoditas pangan mereka.

Dalam laporan narasi Project Multatuli yang sama, Dicki menjelaskan krisis pangan yang pernah menimpa Mollo justru bermula dari penyeragaman isi piring makan; harus makan beras, harus empat sehat lima sempurna.

Masyarakat memaksa dirinya membeli beras, meminggirkan bahan-bahan pangan di pekarangan sendiri. Menganggap apa yang mereka miliki tidak sehat dan hanya membuat mereka disebut ‘miskin’.

Padahal tubuh mereka tidak terbiasa menyerap gizi dari beras atau bahan-bahan impor. Stunting pun melanda. Dan kembali, mereka lagi-lagi dilabeli oleh pusat, kali ini disebut kurang gizi. Demi memenuhi definisi makmur, orang terdorong bermigrasi karena apa-apa yang mereka miliki di pekarangan rumah tak masuk kategori sejahtera. Deforestasi merangsak, masyarakat adat kehilangan hak atas tanah adatnya.

Masyarakat adat memiliki pemahaman mendalam tentang keseimbangan alam dan keberlanjutan ekosistem lokal. Sistem pertanian mereka bukan hanya mengandalkan satu jenis tanaman, melainkan kombinasi biji-bijian, buah-buahan, sayuran, dan sumber protein lainnya yang sesuai dengan kondisi alam setempat. Ini bukan saja menciptakan diversitas pangan, tetapi juga menunjukkan kebijaksanaan dalam menjaga ketahanan pangan dan gizi.

Apa yang dialami masyarakat adat Mollo juga dialami oleh masyarakat adat di Mentawai. Dari laporan narasi Estungkara edisi November 2023 lalu menjelaskan, akibat penyeragaman pangan beras selama beberapa dekade, masyarakat Mentawai telah kehilangan kemandirian pangannya.

Alih-alih menghadirkan ketahanan pangan, ketidaksesuaian lahan dan rendahnya aksesibilitas masyarakat Mentawai terhadap beras justru menciptakan kerentanan bagi mereka. Padahal selama berabad-abad, sagu sebagai makanan endemik telah menjadi tradisi pangan bagi masyarakat Mentawai.

Tanpa beras, makanan tersebut berhasil memenuhi kebutuhan karbohidrat dan menjauhkan masyarakat Mentawai dari bencana kelaparan. Bagi setiap uma (klan) di Mentawai, keberadaan sagu menjadi simbol ketahanan pangan suatu suku.

Sebab, satu batang sagu bisa menghidupi satu uma selama satu bulan penuh. Tidak hanya berjasa sebagai penawar lapar, sagu dimaknai oleh masyarakat Mentawai sebagai dasar kebudayaan bagi aliran kepercayaan lokal Arat Sabulungan.

Sudah sejak lama masyarakat Mentawai menjadi sasaran dari misi program pembangunan. Program swasembada beras yang digulirkan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan pangan negeri turut menjajaki.

Situasi ini menciptakan ketergantungan masyarakat Mentawai terhadap konsumsi beras. Program cetak sawah telah membuat masyarakat kehilangan ladang sagunya. Mereka yang semula mampu mencukupi kebutuhan pangannya, kini justru terancam mengalami kerentanan pangan.

Faktor utamanya adalah harga beras lebih mahal daripada sagu. Ketika terjadi badai, beras mengalami lonjakan harga yang signifikan di pulau tersebut sehingga kurang terjangkau bagi rumah tangga.

Ketidaksesuaian lahan untuk ditanami padi pun turut menjadi faktor lainnya. Sehingga sawah menjadi sering gagal. Ditambah, pelabelan negatif dari pemerintah terhadap masyarakat Mentawai sebagai kelompok yang primitif, miskin dan kurang gizi juga berkontribusi atas pergeseran pola konsumsi mereka.

Banyak pihak memandang proses pembuatan sagu yang diinjak-injak dengan kaki adalah kotor. Situasi ini membuat masyarakat Mentawai tidak percaya diri lagi untuk bertahan pada sagu, sehingga mengonsumsi beras menjadi pilihan agar dianggap modern.

Dari dua kasus di atas, menunjukkan betapa pentingnya pangan lokal diakui sebagai penentu keberlanjutan kesejahteraan masyarakat adat. Mereka telah mewarisi pengetahuan tentang tanaman obat-obatan, sumber protein lokal, dan cara-cara memasak yang mempertahankan nilai gizi. Dalam komunitas adat, pangan bukan hanya sekadar kebutuhan harian, tetapi juga identitas budaya yang dijunjung tinggi.

Masyarakat adat menciptakan keanekaragaman pangan yang mencerminkan adaptasi terhadap perubahan iklim dan lingkungan. Dengan memahami siklus alam, mereka dapat mengelola tanaman pangan yang tahan terhadap musim kering atau banjir. Konsep ini menjadi bukti nyata bahwa masyarakat adat tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga terus memberikan nilai gizi yang maksimal kepada anak-anak mereka.

Namun, sayangnya, pemerintah sering kali mengukur kemiskinan dan stunting dengan parameter yang tidak mencakup kekayaan pangan lokal dan kearifan masyarakat adat. Inisiatif ini seringkali memaksa masyarakat adat untuk mengadopsi model pertanian yang tidak sesuai dengan karakteristik alam dan budaya setempat. Dengan begitu, pandangan bahwa mereka miskin dan mengalami stunting menjadi lebih condong ke arah ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman.

Pentingnya menghargai dan melibatkan masyarakat adat dalam perencanaan dan implementasi program ketahanan pangan menjadi semakin jelas. Mereka bukan hanya pelaku dalam menjalankan sistem pangan yang berkelanjutan, tetapi juga pemegang kebijakan lokal yang dapat memberikan solusi yang relevan dan berkelanjutan. Menggali dan memahami lebih dalam kearifan lokal masyarakat adat dapat menjadi kunci untuk membangun ketahanan pangan dan gizi yang sesuai dengan keanekaragaman Indonesia.

Penulis :

Yael Stefany