Simarantihan merupakan salah satu dusun yang ada di desa Suo-Suo, Kecamatan Sumay, Provinsi Jambi. Dusun Simarantihan, hidup satu kelompok masyarakat adat yaitu masyarakat adat Talang Mamak. Dalam catatan KKI Warsi, Masyarakat adat Talang Mamak banyak bermukim di sekitar Taman Nasional Bukit Tiga Puluh yang secara administrasi berada di empat kecamatan yaitu; kecamatan Batang Gansal, Kelayang, Rengat Barat, dan Batang Sumai.
Namun, ada juga yang menjelaskan jika masyarakat Talang Mamak berada pada lima kecamatan. Yakni, kecamatan Rakit Kulim, Batang Gansal, Batang Cenaku, Rengat Barat, dan Seberida (Nurman et al., 2014). Secara umum, masyarakat Talang Mamak menggantungkan kehidupannya dari hasil alam. Mereka berladang, berkebun, dan juga memanfaatkan hasil hutan.
Dalam sejarahnya, masyarakat Talang Mamak yang ada di dusun Simarantihan ini sebenarnya tidak langsung hidup secara komunal. Dikutip dari laporan Frankfurt Zoological Society (FZS) yang berjudul Agroekosistem Semerantihan (2012), masyarakat Talang Mamak mendiami hutan secara menyebar pada tahun 1980-an. Pada tahun 1996 melalui proyek sosial pemerintah daerah, masyarakat Talang Mamak akhirnya bermukim secara komunal. juga menempati rumah pemukiman yang telah dibangun oleh pemerintah.
Melalui wawancara dengan beberapa tokoh adat, dijelaskan memang pada awalnya masyarakat hidup secara menyebar dan berpindah-pindah. Mereka mengikuti lokasi ladang dan kebun yang mereka buka. Ini dapat dibuktikan melalui keberadaan makam leluhur mereka.
Talang Mamak dan Dinamika Keagamaan
Dalam perjalanannya, eksistensi kepercayaan lokal di Masyarakat Talang Mamak telah lama ada. Seiring berjalannya waktu, beberapa di antara masyarakat mulai memilih untuk beralih ke agama lain. Kini, di masyarakat terdapat tiga agama yang dianut; agama leluhur, Islam, dan Kristen. Dari laporan FZS, beberapa masyarakat Talang Mamak memeluk Islam sejak tahun 2012. Dalam laporan tersebut juga dijelaskan jika proses perpindahan agama yang dilakukan, bertepatan dengan proyek nasional pembuatan Kartu Tanda Penduduk Elektronik.
Sedangkan dalam penuturan salah satu masyarakat Talang Mamak yang memeluk agama Kristen mengatakan, agama Kristen pertama kali masuk ke Talang Mamak sekitar tahun 2015-2016. Pun, beberapa gereja turut mendampingi masyarakat adat dengan mendirikan taman kanak-kanak Sialang. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendeta Candra. Bahwa mereka pertama kali berinteraksi dengan masyarakat adat dengan melakukan kegiatan sosial, pendidikan, dan kesehatan.
Tentu pilihan untuk berpindah agama dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Ada yang beralasan karena kemudahan pengurusan administrasi, telah banyak dibantu oleh lembaga agama maupun tokoh agama, adanya stigma negatif terhadap kepercayaan lokal mereka, hingga pada kerelaan atau keinginan sendiri.
Dalam proses pengamatan dan wawancara terhadap masyarakat Talang Mamak, saya sendiri mengalami pengalaman lintas iman yang cukup membuat saya bertanya-tanya. Pengalaman tersebut saya alami ketika pertama kali mengunjungi lokasi pemukiman masyarakat yang diisi oleh mayoritas penganut Kristen.
Kunjungan tersebut bertepatan dengan kegiatan gotong royong untuk pendirian gereja. Ketika sedang istirahat sekaligus menikmati suguhan, tidak ada satu pun dari mereka yang menawari saya makanan ataupun minuman. Dengan sedikit keberanian dan menahan malu, saya mencoba untuk meminta kepada mereka.
“Jokueh, Inya dak mau minum nyeh dingan makan nyeh mokonen buaten kami, macam urang luwe dak mau (saya pikir kamu tidak mau makan dan minum buatan kami seperti orang luar)”.
Juga ketika saya pergi ke pasar luar untuk berbelanja kebutuhan pokok. Salah satu penjual bertanya kepada saya terkait kegiatan saya dengan bertanya “mereka di sana animisme, kan?”
Pengalaman tersebut saya ceritakan kepada salah satu fasilitator KKI Warsi, Ari Muhammad, yang turut mendampingi masyarakat. Ari mengatakan, benar adanya orang luar sering kali memberikan stigma kepada masyarakat adat Talang Mamak termasuk pada aspek kepercayaan mereka.
Pengalaman-pengalaman tersebut cukup membuat saya yakin bahwa eksistensi penganut agama leluhur di Talang Mamak semakin ditinggalkan karena salah satu faktor tersebut. Fenomena di atas pun sebenarnya sudah dijelaskan oleh Samsul Maarif dalam bukunya Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur (2017). Bagaimana penganut agama leluhur didiskriminasi, terstigma, dan dipaksa untuk berpindah agama dengan berbagai alasan.
Adat Sebagai Ruang Perjumpaan
Saat ini masyarakat Talang Mamak di Simarantihan terbagi menjadi dua; dusun lama dan dusun baru. Dusun baru mayoritas diisi oleh masyarakat yang beragama Kristen dan dusun lama diisi oleh mayoritas penganut agama leluhur dan muslim. Beberapa masyarakat mengatakan persoalan ekonomi sehingga mereka harus menjual beberapa tanah mereka, jarak rumah ke kebun yang sangat jauh, dan tentu persoalan identitas keagamaan, menjadi alasan mereka untuk berpindah ke pemukiman baru.
Walaupun interaksi antar masyarakat Talang Mamak masih terus berjalan, saya melihat beberapa masyarakat Talang Mamak sudah terbelah secara wilayah karena identitas. Namun terlepas dari hal tersebut, masih ada kita jumpai di masyarakat Talang Mamak, keluarga yang memiliki identitas keagamaan berbeda-beda.
Salah satu tokoh pemuda adat yang tidak ingin disebutkan namanya menjelaskan, jika di keluarga dia ada beberapa anggota keluarga yang menganut agama Islam, Kristen, dan kepercayaan. Walaupun mereka berbeda secara identitas dan juga terpisah rumah dan jarak, mereka masih tetap berinteraksi satu sama lain, karena keterikatan hubungan darah.
Dari fenomena di atas, tentu hal ini sangat bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politisasi identitas yang didasarkan pada sentimen. Untungnya, masyarakat adat Talang Mamak sendiri memiliki medium untuk menjaga kebersamaan dan solidaritas, yakni adat istiadat mereka.
Masyarakat adat Talang Mamak menempatkan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan alam sebagai bagian dari adat istiadat mereka. Dari penjelasan Fahmi selaku ketua lembaga adat di Simarantihan, ada beberapa kegiatan adat yang berkaitan dengan alam seperti, menugal (berladang), balobah (memanen madu hutan), dan bakumantan (pengobatan). Hampir semua kegiatan adat di masyarakat Talang Mamak dilakukan secara gotong royong. Bukhori sebagai dukun padi mengatakan bahwa kegiatan menugal hingga panen biasanya akan dilakukan secara bergantian. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat dapat saling membantu satu sama lain.
Selain menugal, masyarakat adat Talang Mamak juga melakukan kerja kolektif pada kegiatan balobah. Saya melihat hampir seluruh elemen di masyarakat adat ikut terlibat baik lintas generasi, lintas gender, dan juga lintas iman atau agama. Kegiatan ini menjadi medium yang membuat mereka bertemu dan bersatu akan identitas adat mereka.
“Kito mungkin beda-beda, tapi tu kito tetap sikok dan samo dalam adat istiadat kito,” ujar Bukhori.
Penjelasan tersebut sebenarnya memberikan gambaran bahwa adat sebagai ruang perjumpaan dapat dipahami juga sebagai ruang untuk menghayati identitas awal mereka dan juga pengalaman mereka di masa lalu. Di dalam adat, mereka melakukan ritual yang dilakukan sejak jaman nenek moyang mereka.
Izzak Y. M. Lattu dalam bukunya Rethinking Interreligious Dialogue Orality, Collective Memory, and Christian-Muslim Engagements in Indonesia (2023) dengan apik menjelaskan bagaimana ritual dapat membentuk integrasi dan kohesi sosial. Dalam beberapa praktik ritual, orang-orang yang terlibat akan berbagi kebersamaan dan kesamaan.
Mereka yang melakukan praktik ritual akan tunduk pada otoritas yang sama, yaitu pada tetua adat atau yang memimpin ritual. Izzak Lattu juga menjelaskan jika pendekatan kultural (ritual adat) menjadi pendekatan terbaik untuk membuat dua entitas agama yang berbeda dapat bersatu.
Nilai-nilai yang ada pada ritual masyarakat adat Talang Mamak sebenarnya menunjukkan nilai integrasi dan kohesi sosial. Seperti dalam kegiatan menugal masyarakat mempraktikkan nilai kebersamaan dan solidaritas baik pada proses menanam hingga memanen. Ada juga balobah, di mana setiap mereka melakukan kegiatan, secara terbuka mereka mengizinkan orang di luar Talang Mamak untuk terlibat dalam kegiatan tersebut.
Pun, setiap yang mengikuti balobah akan kebagian manis (madu) baik orang tua, anak muda dan laki-laki atau perempuan. Pembagiannya pun dilakukan sama rata “Balobih samo balobih, hadikit samo hadikit (banyak sama banyak, sedikit sama sedikit)”.
Mental superioritas yang kadang muncul karena identitas keagamaan dapat diperkecil melalui kegiatan adat tersebut. Namun tentu, tulisan ini tidak bermaksud untuk mempertentangkan identitas keagamaan dan adat mereka. Akan tetapi, lebih menekankan agar ruang perjumpaan (adat) bagi masyarakat Talang Mamak terus dipertahankan beriringan dengan identitas mereka yang mulai beragam.
*Artikel ini ditulis oleh: Miftha Khalil Muflih_Magang ESTUNGKARA_CRCS UGM