KWPS Lampion Merah Abadi: Langkah Awal Partisipasi Perempuan Cina Benteng Menuju Rekognisi

Perempuan kerap diposisikan pada peran domestik yang tidak terlihat, terbelenggu dalam narasi subordinasi dan stereotip. Tidak terkecuali perempuan Cina Benteng di Desa Belimbing, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang. Dalam bayangan sebagian besar masyarakat, mereka dianggap sebagai kelompok minoritas yang tak punya daya. Namun, narasi ini mulai bergeser sejak kehadiran Koperasi Wanita Pengembang Sumberdaya (KWPS) Lampion Merah Abadi, yang didampingi oleh Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Jakarta.

Perempuan Cina Benteng adalah bagian dari etnis Peranakan Tionghoa yang telah lama tinggal di Indonesia, termasuk di Kabupaten Tangerang. Meski menjadi penduduk asli Desa Belimbing, keberadaan mereka tetap berada di posisi minoritas. Dari total 32 RT di desa tersebut, mayoritas komunitas Cina Benteng terkonsentrasi di RT 1 dan RT 2.

Selain terpinggirkan secara jumlah, perempuan Cina Benteng juga menghadapi stigma yang berakar dari stereotip etnis. Mereka kerap dilabeli sebagai pemalas, kurang terdidik, dan dianggap memiliki gaya hidup yang “terbelakang”. Gambaran ini diperparah oleh stereotip fisik, di mana mereka disebut “orang Tionghoa miskin” atau “orang Tionghoa hitam”—istilah yang membandingkan mereka dengan Tionghoa Indonesia lain yang dianggap lebih kaya dan berkulit putih (Hyunanda et al., 2021; Saehu et al., 2018).

Lebih berat lagi, tradisi budaya Tionghoa menempatkan perempuan dalam tiga kepatuhan: tunduk kepada ayah saat kecil, kepada suami setelah menikah, dan kepada anak laki-laki saat menjadi janda. “Perempuan dianggap bergantung kepada laki-laki seumur hidupnya,” jelas Ibu Titi, pendamping PPSW Jakarta untuk komunitas Cina Benteng.

Hari itu, saya berkunjung ke rumah Ibu Chen Fie, salah satu pusat kegiatan Koperasi Lampion Merah Abadi. Awalnya, saya mengira koperasi ini hanya berfungsi sebagai tempat simpan-pinjam. Namun, semakin saya mendalami, koperasi ini ternyata menjadi ruang pemberdayaan perempuan Cina Benteng—sebuah ruang yang melampaui fungsi ekonomi.

Keberadaan koperasi memungkinkan perempuan Cina Benteng, yang sebelumnya hanya berperan di ranah domestik, untuk mulai terlibat dalam kegiatan komunitas. Banyak dari mereka yang awalnya hanya berkutat pada aktivitas seperti mengurus anak, memasak, atau membersihkan rumah, kini keluar dari rumah untuk menghadiri pertemuan koperasi, mengikuti pelatihan, bahkan menitipkan dagangan di koperasi.

Menurut Mba Dewi, bendahara koperasi, “Koperasi ini jadi seperti pasar kecil. Ada anggota yang nitip dagangan seperti baju, telur asin, snack, hingga susu kedelai. Saat ibu-ibu kumpul, mereka bisa bertransaksi sambil saling berbagi cerita.” Langkah sederhana seperti menitipkan dagangan di koperasi ini memiliki dampak besar. Naila Kabeer dalam penelitiannya menekankan bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan yang efektif sering kali dimulai dari langkah-langkah kecil yang menangani kebutuhan spesifik mereka (Kabeer, 2018).

Koperasi Lampion Merah Abadi menciptakan ekosistem ekonomi yang inklusif. Perempuan yang sebelumnya hanya berdiam di rumah kini memiliki akses ke pasar tanpa harus membuka toko sendiri, yang sering kali terbentur biaya tinggi. Mereka juga mulai mandiri secara finansial, seperti yang dialami Ibu Lanni, seorang pembuat telur asin. “Sekarang saya nggak bingung kalau butuh modal tambahan, bisa pinjam dari koperasi,” ujarnya.

Selain aspek ekonomi, keberadaan koperasi juga membawa perubahan sosial. Para suami yang sebelumnya skeptis terhadap kegiatan para istri mulai memberikan dukungan. Ibu Erpi, salah satu anggota koperasi, berbagi pengalaman: “Awalnya suami saya nggak setuju saya jualan telur asin. Tapi setelah melihat pesanan terus bertambah, sekarang dia malah bantu antar pesanan.”

Langkah-langkah kecil ini secara perlahan menghapus subordinasi yang berlapis. Perempuan Cina Benteng mulai mendapatkan pengakuan, tidak hanya di dalam keluarga, tetapi juga di masyarakat. Dapur yang dulu dianggap sekadar ruang domestik kini menjadi simbol produktivitas dan kemandirian.

Keberadaan Koperasi Lampion Merah Abadi adalah langkah awal menuju rekognisi perempuan Cina Benteng sebagai bagian dari masyarakat yang setara. Dengan berlandaskan potensi yang ada, koperasi ini membuktikan bahwa perubahan besar dapat dimulai dari hal-hal kecil.

Melalui koperasi, perempuan Cina Benteng menunjukkan bahwa mereka mampu berdaya, berkontribusi, dan membangun komunitas yang lebih inklusif. Langkah awal ini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi tentang membangun ruang untuk pengakuan, martabat, dan kesetaraan yang lebih luas.

*Penulis: Eri Susilowati (CRCS UGM), Peserta Magang Estungkara 2024

Penulis :

Yael Stefany