Kisah James dan Perjuangan Pemenuhan Hak Disabilitas

Mengunjungi desa Pelempea bisa jadi salah satu perjalanan yang tidak akan pernah saya lupakan. Menjadi salah satu desa yang masuk ke dalam kecamatan Pipikoro, kabupaten Sigi, provinsi Sulawesi Tengah, saya harus menempuh perjalanan selama lima jam lebih dari kota Palu. Jalanan yang terjal, bebatuan, bahkan jurang kanan kiri, membuat saya akhirnya bernyanyi lagu rohani sepanjang perjalanan untuk menghilangkan rasa takut.

Perjalanan yang lelah dan panjang itu terbayar tuntas ketika saya tiba dan melihat bagaimana sejuknya udara, rindangnya pepohonan hutan sekitar, dan birunya langit desa Pelempea yang masih sangat asri. Apalagi, disuguhkan dengan beberapa gelas minuman arak lokal, saguer. Dalam hati berkata; sebuah perjalanan yang worth it.

Disinilah saya bertemu James, anak muda berusia 22 tahun dengan disabilitas sensorik penglihatan. Kami mulai saling berkenalan, berbagi cerita dan mendengar James berbagi perasaanya ketika menjadi kader Estungkara. Salah satu program yang pertama kali diikuti oleh James adalah, Musyawarah Nasional Perempuan di Palu, pada Mei lalu. Dalam pertemuan tersebut, James berkesempatan belajar banyak hal baru dari kegiatan tersebut dan dipercaya menjadi kader Estungkara oleh teman-teman Karsa Institute.

“Keinginan untuk belajar bersama dan membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk berkontribusi. Saya yakin bahwa setiap orang memiliki potensi yang sama untuk belajar dan mengajar, tanpa memandang latar belakang. Dengan menjadi kader, saya belajar banyak tentang kesetaraan gender dan hak-hak penyandang disabilitas (GEDSI). Saya pun semakin berani untuk menyebarkan kesadaran ini kepada teman-teman dan masyarakat di desa.”

Semenjak menjadi kader Estungkara, James aktif mendata jumlah penyandang disabilitas di desa dan aktif mengikuti berbagai pertemuan. James bercerita bahwa di desa Pelempea ada sekitar lima belas orang masyarakatnya merupakan penyandang disabilitas, baik yang disebabkan oleh faktor bawaan lahir maupun faktor eksternal seperti penggunaan obat-obatan yang berlebihan. Bahkan James juga mempunyai sepupu yang menderita disabilitas fisik sejak lahir. Tangannya lemah dan kakinya tak bisa berjalan.

Hal itu yang membuat James merasa bahwa tak hanya para lanjut usia (lansia) saja yang membutuhkan perhatian khusus, tetapi juga penyandang disabilitas, baik fisik maupun mental. Upaya pemenuhan kebutuhan para penyandang disabilitas, seperti kursi roda untuk memudahkan mobilitas, Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan perangkat desa lainnya berinisiatif agar James mengusulkan solusi-solusi konkret dan apa yang menjadi kebutuhan bagi mereka penyandang disabilitas.

Sayangnya, stigma negatif terhadap penyandang disabilitas masih kerap ditemukan. Masyarakat sering kali memandang rendah teman-teman penyandang disabilitas dan memanggil dengan sebutan negatif seperti “buro” atau “tokejo”. Ini adalah salah satu hal yang ingin James ubah sebagai kader Estungkara. “Saya menegur siapa saja yang menggunakan sebutan tidak pantas tersebut, menegaskan bahwa kami juga manusia yang memiliki hak dan kesempatan yang sama. Saya pun aktif memberikan edukasi kepada kelompok lansia tentang pentingnya kesetaraan dan pengakuan terhadap kemampuan kami.”

Meski layanan kesehatan sudah cukup memadai, layanan dasar lainnya seperti akses mobilitas masih minim. Sosialisasi kepada para penyandang disabilitas dirasa penting untuk memperkuat pemahaman bahwa mereka memiliki hak yang sama seperti warga lainnya, kata James lagi.

Dari cerita baik yang saya dapat dari James, menyadarkan saya bahwa kekurangan bukan menjadi hambatan. James, seorang penyandang disabilitas sensorik penglihatan sejak lahir, sebelum bergabung dengan Estungkara, sering merasa malu dan jarang keluar rumah. Dokter pernah menyarakan James untuk memakai kacamata, tapi ditolak oleh James karena itu adalah hal yang memalukan buat dirinya.

Sering bersikap agresif dan emosional yang naik turun, membuat kedua orang tua James kelelahan menghadapinya. Pernyataan ini saya dapat dari orang tua James yang turut terharu akan perubahan yang dialami anaknya kini. Namun, setelah menjadi kader, kepercayaan dirinya meningkat pesat. Dia mulai aktif berpartisipasi dalam kegiatan desa dan menunjukkan bahwa dirinya juga mampu berkontribusi.

Ibu James juga bercerita, James memiliki penglihatan yang sangat terbatas, terutama di siang hari. Bapak dan Ibu James sempat ingin mengajaknya menjalani operasi mata, tetapi James menolak karena takut akan kehilangan penglihatannya sepenuhnya. Kini, dengan dukungan program Estungkara, James tidak hanya lebih percaya diri tetapi juga mulai turut membantu kedua orang tuanya, sebisanya.

Percakapan saya dan James ditutup dengan pernyataan James yang membuat saya sedikit tertampar. James bilang bahwa dirinya berharap kedepannya ada lebih banyak kader yang berasal dari penyandang disabilitas. Karena jika berbicara tentang apa yang menjadi kebutuhan dan hak-hak penyandang disabilitas, tentu yang lebih tahu adalah penyandang disabilitas itu sendiri. “Dan pastinya hak-hak kami akan lebih diakomodir.”

Apa yang dialami James dan bagaimana teman-teman Karsa Institute membersamainya, mengingatkan saya dengan salah satu buku favorite saya; Pendidikan Kaum Tertindas dari Paulo Freire. Dalam buku tersebut membahas kebutuhan akan pendidikan bagi kaum tertindas. Freire menjelaskan pentingnya pendidikan bagi kaum tertindas karena berusaha mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan ketertindasan.

Pengetahuan yang sebenarnya membutuhkan pembelajaran dan penemuan yang berkelanjutan. Dalam proses ini, guru dan murid secara bersamaan menjadi murid dan guru. Mereka seharusnya memiliki kesempatan untuk menjadi penerima dan pencatat. Dalam konsep pendidikan pada umumnya, pengetahuan dianggap sebagai anugerah yang diberikan oleh mereka yang merasa berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak tahu apa-apa. Menganggap orang lain benar-benar bodoh adalah ciri dari ideologi penindasan.

Guru belajar dari murid, dan murid belajar dari guru. Guru berperan sebagai rekan murid yang membantu membangkitkan pemikiran kritis murid. Dengan cara ini, kedua belah pihak saling mengembangkan kemampuan untuk memahami diri sendiri dan dunia secara kritis. Baik James maupun Karsa Institute perlahan menunjukkan bahwa, kerja-kerja pendampingan, kerja-kerja penyadaran, serta kerja-kerja memberi ruang aman bagi semua orang dimulai dari berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan. Angkat topi buat Kawan James dan Karsa Institute.

Penulis :

Yael Stefany