Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensori dalam jangka waktu lama. Dalam interaksinya, mereka dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif. Undang-undang ini juga mengklasifikasikan ragam penyandang disabilitas menjadi empat kategori: fisik, intelektual, mental, dan sensori, yang dapat dialami secara tunggal, ganda, atau dalam jangka waktu yang lama.
Sebagai warga negara Indonesia, penyandang disabilitas memiliki hak dan kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib merencanakan, menyelenggarakan, dan mengevaluasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, yang dirumuskan dalam rencana induk.
Hal ini diperkuat oleh Surat Menteri Dalam Negeri Tahun 2023 Nomor 100.2.2.6/5749/OTDA tentang Percepatan Pembentukan Produk Hukum Daerah yang mengatur mengenai Penyandang Disabilitas, yang meminta pemerintah daerah untuk memprioritaskan pembentukan produk hukum daerah. Terutama peraturan daerah, demi mempercepat terwujudnya jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Dalam diskusi terarah yang dilaksanakan oleh Kemitraan dan diikuti perwakilan dari 12 organisasi penggiat isu penyandang disabilitas di Kabupaten Sigi secara daring pada tanggal 11 Juni 2024, ditemukan beberapa kondisi terkait penyandang disabilitas di Sigi.
Beberapa kondisi tersebut meliputi stigma dan stereotipe negatif, kepercayaan dan penerimaan diri. Ada juga akses terhadap layanan dasar khususnya pendidikan anak penyandang disabilitas, akses terhadap pekerjaan dan permodalan usaha, kapasitas dan sumber daya manusia (SDM), hingga partisipasi dalam pembangunan. Diskusi ini menyoroti aspek penerimaan sosial, yaitu penerimaan masyarakat luas di Kabupaten Sigi terhadap penyandang disabilitas dan pemenuhan hak-haknya.
Melalui program Estungkara, KEMITRAAN bersama KARSA Institute akan melaksanakan kegiatan penyusunan Naskah Akademis Perda Disabilitas Kabupaten Sigi. Kegiatan ini bertujuan untuk menyusun naskah akademis secara partisipasi. Melibatkan partisipasi aktif dan bermakna dari penyandang disabilitas, organisasi perwakilannya, serta stakeholder terkait. Kemudian menjadi dokumen penyerta Perda Disabilitas Sigi. Acara ini dilakukan pada hari Selasa, 23 Juli 2024, di kantor KARSA Institute. Dari hasil FGD tersebut terdapat beberapa hal yang menjadi poin penting.
Suherman, Sekretaris Divisi Dinas Sosial Kabupaten Sigi, menyatakan bahwa Raperda Disabilitas sudah digodok oleh Dinas Sosial Kabupaten Sigi. Akan tetapi masih dalam tahap revisi oleh Pansus 2 DPRD Kabupaten Sigi. Rencananya, Raperda ini akan disahkan pada bulan Agustus dan akan direalisasikan pada tahun 2025 mendatang. Uji publik juga telah dilakukan sebanyak tiga kali, mengundang dinas terkait dan organisasi penyandang disabilitas.
Penyusunan Raperda ini melibatkan berbagai pihak. Termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pendidikan, Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, serta dinas terkait lainnya. Pansus juga telah berkomunikasi dengan Kementerian Sosial di tingkat Sulawesi Tengah untuk membantu dalam hal anggaran. Saat ini, sekitar 1.625 data penyandang disabilitas telah berhasil didata, meskipun belum spesifik berdasarkan jenis kelamin, usia, dan jenis disabilitasnya.
Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia, M. Yusuf mengatakan, hasil diskusi dengan beberapa organisasi penyandang disabilitas menunjukkan masih adanya stigma yang diterima oleh penyandang disabilitas. Banyak peraturan yang masih sektoral dan tidak melibatkan penyandang disabilitas serta tidak melihat apa yang menjadi kebutuhan mereka.
Stigma ini juga membuat banyak keluarga yang memiliki anggota penyandang disabilitas menutupinya. Menganggapnya sebagai aib, sehingga penyandang disabilitas sering dianggap sepele dan sebelah mata dalam berkontribusi dalam kegiatan sehari-hari. Bahkan, ketika penyandang disabilitas menjadi korban kekerasan seksual, minimnya Juru Bahasa Isyarat (JBI) membuat kasus sering ditutupi dan tidak berani diceritakan kembali karena dianggap memalukan keluarga.
Rahma dari HWDI juga mengamini hal tersebut. Bahwa kebutuhan yang mendasar dalam penyusunan Perda Disabilitas adalah data penyandang disabilitas yang benar-benar detail agar kebutuhan mereka bisa tepat sasaran. Penyediaan JBI yang inklusif juga sangat penting, terutama untuk korban kekerasan seksual yang memerlukan bantuan JBI untuk menyampaikan kronologi kejadian. JBI juga diperlukan untuk mengakses layanan dasar lainnya seperti layanan administrasi kependudukan dan layanan kesehatan. Di Kota Palu dan Kabupaten Sigi, jumlah JBI masih sangat minim, bahkan hanya ada tiga orang.
Taufik dari Sikola Mombine menimpali, penyandang disabilitas sering dijadikan objek atau pelengkap dalam setiap penyusunan peraturan. Jangankan untuk memenuhi akses layanan dasar bagi penyandang disabilitas, bahkan data penyandang disabilitas masih banyak yang belum terdata. Ada kasus di suatu desa di mana seorang warganya merupakan penyandang disabilitas. Namun tetangganya tidak mengetahui namanya dan hanya menyebutnya dengan nama “bobo” yang artinya tidak bisa berbicara. Ini menunjukkan minimnya pelibatan penyandang disabilitas dalam sektor pemerintahan, terutama dalam penyusunan Perda Disabilitas Kabupaten Sigi.
Harapan dengan adanya FGD ini adalah penyusunan Perda Disabilitas benar-benar memperhatikan kebutuhan mendasar penyandang disabilitas. Memberikan ruang aman bagi mereka, dan menghapus stigma yang merendahkan. Jika tidak, maka pembuatan perda akan sia-sia karena dampak dan hasilnya tidak akan dirasakan oleh penyandang disabilitas.