Perempuan adat, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari komunitas adat, memainkan peran yang sungguh penting dalam kehidupan masyarakat adat. Mereka bukan sekadar anggota biasa, namun mereka adalah penjaga pengetahuan dan pengelola Sumber Daya Alam (SDA). Menjadi landasan utama penghidupan komunitas ini. Dalam lingkaran yang lebih besar, perempuan adat bahkan memengaruhi di luar komunitas adat itu sendiri. Mereka bertanggung jawab mewariskan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, mempraktikkan ketahanan ekonomi, serta memiliki peran sosial yang tak tergantikan.
Namun, di balik peran penting ini, perempuan adat masih menghadapi berbagai kendala dan hambatan yang memerlukan perhatian dan perubahan mendalam. Budaya patriarki yang masih kuat di beberapa komunitas adat menjadikan perempuan adat rentan terhadap stigma dan diskriminasi. Mereka juga sering kali minim dalam pelibatan dalam proses publik, baik di komunitas adat maupun di masyarakat secara luas. Keadaan ini semakin diperburuk oleh konflik berkelanjutan terkait SDA yang banyak dialami oleh masyarakat adat di Indonesia. Pada gilirannya menyebabkan kemiskinan dan timbulnya banyak masalah sosial.
Data yang diperoleh dari KEMITRAAN bersama mitra program ESTUNGKARA menunjukkan bahwa 9% perempuan adat yang juga merupakan kepala keluarga adalah penyandang disabilitas. Kondisi ini membuat partisipasi mereka dalam pekerjaan dan pembangunan semakin terbatas. Selain itu, dalam konteks perencanaan pembangunan, keterlibatan perempuan adat masih minim. Bahkan tidak diakui, sebagian karena dianggap tidak memiliki kapasitas.
KEMITRAAN, melalui program Estungkara, mengambil inisiatif untuk mengatasi masalah ini dengan mengadakan kegiatan roadshow di tiga universitas yakni, Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Pahrayangan (Unpar). Kegiatan ini sebagai wadah pembelajaran dan diskusi antara mahasiswa. Membahas situasi dan kondisi perempuan adat di berbagai komunitas adat di Indonesia. Ini adalah langkah penting untuk menyebarkan informasi terkait isu-isu inklusi sosial. Membangun hubungan yang baik dengan media, dan memberikan edukasi kepada mahasiswa.
Kegiatan ini, hadir narasumber yang berupaya agar perempuan adat di Indonesia diakui sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam Estungkara roadshow to campus di Universitas Indonesia, hadir Dewi Yunita dari Pundi Sumatera, Juliana dari Anak Muda Komunitas Suku Anak Dalam, dan Deliana Winki sebagai Pendiri Sekolah Adat Arus Kualan. Sedangkan di Universitas Gadjah Mada, ada Syaiful dari Karsa Institute, Hasna Sasongko dari Perempuan Adat Kulawi, Samsul Maarif, Dosen Antropologi serta CRCS UGM dan Michelin Sallata, ketua dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Terakhir, di Universitas Pahrayangan, ada Itoh dari Komunitas Baduy, Yeyen Komar dari Komunitas Cinta Berkah Indonesia, Fauzan Adima dari Rimbawan Muda Indonesia, Catharina Dewi Wulansari, Guru Besar Fakultas Hukum UNPAR, Florentini Deliana Winki dari Young Dayak Leader dan Elisabeth A.S Dewi, Ketua jurusan Hubungan Internasional UNPAR.
Estungkara roadshow to campus ini pun bertujuan memberikan ruang wadah diskusi dan edukasi bagi mahasiswa. Agar pengetahuan terkait inklusi sosial terutama masyarakat adat, perempuan adat, lingkungan, anak dan disabilitas dapat meningkat. Tidak hanya itu mendorong agar mahasiswa terlibat aktif dalam diskusi kritis dan kegiatan kampanye terkait inklusi sosial.
Dari kegiatan ini, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman mahasiswa tentang isu-isu yang muncul di masyarakat adat, terutama perempuan adat. Juga, mendorong partisipasi aktif mahasiswa melalui diskusi, kampanye media sosial, maupun penulisan populer, yang berkaitan dengan perempuan adat.