Jaini, Mutiara Suku Anak Dalam

Jaini, salah satu pemuda Suku Anak Dalam, lahir di Sarko 05 Oktober dua puluh delapan tahun silam. Kini dirinya mempunyai dua orang anak perempuan bernama Liona, berumur lima tahun dan Naomi, berumur dua tahun. Istrinya perempuan sederhana dan merupakan anak dari Temenggung– kepala Suku Anak Dalam– bernama Yahana. Keseharian Jaini adalah bertani di kebun sawit miliknya seluas setengah hektar dan kadangkala berburu hewan di hutan. Namun karena kondisi hutan sekarang sudah mulai habis, Jaini kesulitan mendapatkan hasil buruan. Belum lagi hasil dari kebun sawit yang tidak banyak ditambah kondisi kebun pun tidak terawat.

Akan tetapi, kondisi tersebut tidak menyurutkan niat Jaini untuk berperan aktif didalam komunitasnya. Terbukti, dirinya merupakan salah satu kader Suku Anak Dalam Pematang Kejumat yang mulai terbuka menerima orang luar dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Dirinya juga mengikuti organisasi pencak silat tradisional bernama Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) pada tahun 2020. Ia beranggapan, ilmu beladiri itu sangat penting dipelajari karena dapat melatih diri untuk kuat dalam menghadapi situasi sulit apapun. Pun dia sadar bahwa dalam berkehidupan sosial sudah semestinya berinteraksi dengan banyak orang. Hal ini yang menjadi landasan keputusan Jaini untuk serius menjalani pelatihan dan pembinaan di pencak silat PSHT.

Tiap minggunya, ada tiga kali pertemuan untuk Jaini dapat berlatih dan dimulai setiap pukul delapan malam. Dalam proses latihan, Jaini mendapatkan banyak sekali tantangan, salah satunya jarak tempuh yang harus dilewatinya. Jarak tempat tinggal Jaini ke tempat pelatihan pencak silat sangatlah jauh yakni, sembilan kilometer. Dengan jalan bebatuan penerangan lampu jalan yang tidak maksimal. Tidak hanya itu, dengan kondisi perekonomian yang sedang tidak baik, Jaini tetap menyisihkan uang untuk membeli bahan bakar kendaraan yang dipakainya agar bisa tetap pergi latihan.

Tidak sampai disitu, dalam proses latihan di pencak silat PSHT, Jaini harus melewati setiap tingkatan gelar dan ujiannya. Diawali dengan sabuk polos, lalu ke sabuk Jambon, kemudian sabuk ijo, naik ke tingkat selanjutnya, sabuk putih dan terakhir, gelar Mori. Tingkat durasi latihan pun berbeda-beda tiap gelarnya. Untuk sabuk polos dan sabuk Jambon harus latihan dengan durasi tiga jam. Lalu, untuk sabuk ijo dan putih harus latihan dengan durasi berkisar 4-6 jam. Dengan proses latihan yang ketat itu tidak membuat Jaini lantas menyerah dan mundur. Baginya, hal tersebut merupakan sebuah perjalanan hidup dan proses pengembangan diri. Dia merasa senang menjalani latihan itu.

Kini Jaini sudah menyandang gelar warga–artinya ia sudah lulus sampai ketahap anggota tetap dalam organisasi PSHT. Terhitung Jaini menjalani latihan selama 3 tahun lebih. Keluarga melihat ada banyak perubahan sederhana dari sosok Jaini. Dia menjadi lebih tenang, lebih dewasa, dan menjadi aktor penting dalam perjuangan ditingkat komunitas. Terkhusus dimata istrinya, Jaini menjadi sosok ayah yang bertanggung jawab dan pemimpin keluarga yang disayang.

Tak banyak harapan Jaini. Ia ingin mengajak adik-adiknya dari komunitas suku anak dalam untuk ikut bergabung dalam organisasi pencak silat PSHT. Belajar bela diri sekaligus membaur dengan masyarakat sehingga dapat menjadi kader suku anak dalam yang punya sikap dan membantu komunitas menjadi lebih baik lagi.

Penulis :

PUNDI SUMATRA