“Akibat penyeragaman pangan beras selama beberapa dekade, masyarakat Mentawai telah kehilangan kemandirian pangannya. Alih-alih menghadirkan ketahanan pangan, ketidaksesuaian lahan dan rendahnya aksesibilitas masyarakat Mentawai terhadap beras justru menciptakan kerentanan pangan bagi mereka.”
Pernahkah terpikir bahwa wujud penjajahan juga hadir dalam bentuk penyeragaman pangan? Disebut sebagai gastrokolonialisme, penjajahan pangan yang pertama kali diperkenalkan oleh Craig Santoz Perez ketika tengah mengkaji masalah pangan di Hawai yang terkikis oleh impor atas olahan makanan berkualitas rendahan dari perusahaan multinasional. Situasi ini terlihat dari adanya pergeseran pola pangan berupa hewan buruan, ikan, umbi, sayur, dan buah yang kaya nutrisi menjadi makanan yang tinggi natrium dan gula, seperti nasi, biskuit, dan minuman bersoda.
Di Kepulauan Mentawai, gastrokolonialisme tampak dari adanya pergeseran pola pangan masyarakat dari sagu menjadi beras. Di Mentawai, perubahan pola konsumsi makanan pokok ini disebut sebagai kineiget mukop bera’. Bera’ merupakan sebutan beras bagi masyarakat Mentawai yang dalam bahasa Minangkabau artinya ‘kotoran manusia’. Selama berabad-abad, sagu sebagai makanan endemik telah menjadi tradisi pangan bagi masyarakat Mentawai.
Tanpa beras, makanan tersebut berhasil memenuhi kebutuhan karbohidrat dan menjauhkan masyarakat Mentawai dari bencana kelaparan. Bagi setiap uma (klan), keberadaan sagu menjadi simbol ketahanan pangan suatu suku. Sebab, satu batang sagu bisa menghidupi satu uma selama satu bulan penuh. Tidak hanya berjasa sebagai penawar lapar, sagu dimaknai oleh masyarakat Mentawai sebagai tumbuhan yang bernilai tinggi. Sagu merupakan dasar kebudayaan bagi aliran kepercayaan lokal Arat Sabulungan.
Masyarakat Mentawai memiliki sejarah panjang dengan sagu, mulai dari mitologi hingga fungsinya dalam ritual adat. Apabila ada pasangan yang ingin menikah, pihak laki-laki harus menyiapkan mone (ladang) yang sudah ditanami sagu, pohon durian, keladi, serta beberapa tumbuhan lain dengan luas ladang yang disepakati. Ini juga digunakan sebagai alattoga (mas kawin). Sagu juga digunakan sebagai persembahan kepada leluhur ketika punen (upacara adat). Dalam ritual tersebut, sagu umumnya diolah menjadi kapurut, yaitu sagu yang dibungkus dalam daun sagu dan dibakar.
Sudah sejak lama masyarakat Mentawai menjadi sasaran dari misi program-program pembangunan, mulai dari pemusnahan praktik Arat Sabulungan dengan pembakaran sarana-sarana peribadatan dan larangan menato tubuh, pembentukan pemerintahan desa, hingga pemukiman kembali masyarakat terasing, dan eksploitasi hutan. Intervensi terhadap masyarakat Mentawai tidak berhenti sampai situ. Program swasembada beras yang digulirkan pemerintah Orde Baru untuk mencukupi kebutuhan pangan negeri turut menjajaki Bumi Sikerei.
Seiring dengan berjalannya program pemukiman kembali, pemerintah Orde Baru juga menghadirkan program cetak sawah. Pada era tersebut, penyeragaman beras sebagai makanan pokok hadir di tingkat nasional dengan harapan mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional, memacu pertumbuhan ekonomi, hingga meningkatkan pendapatan petani. Atas dasar tersebut, masyarakat diperintahkan untuk menanam padi melalui gerakan bina masyarakat. Apabila menolak, mereka akan dianggap sebagai afiliasi dari Partai Komunis Indonesia yang saat itu dilabeli penghianat oleh pemerintah2.
Situasi ini menciptakan ketergantungan masyarakat Mentawai terhadap konsumsi beras. Program cetak sawah telah membuat masyarakat kehilangan ladang sagunya. Mereka yang semula mampu mencukupi kebutuhan pangannya, kini justru terancam mengalami kerentanan pangan. Faktor utamanya adalah harga beras lebih mahal daripada sagu. Ketika terjadi badai, beras mengalami lonjakan harga yang signifikan di pulau tersebut sehingga kurang terjangkau bagi rumah tangga.
Ketidaksesuaian lahan untuk ditanami padi pun turut menjadi faktor lainnya. Sehingga sawah menjadi sering gagal. Pada 2021, hasil produksi padi hanya 1.005 ton. Padahal, kebutuhan beras pada tahun tersebut mencapai 9.678 ton. Jumlah tersebut hanya mencukupi kurang lebih 10,38% dari kebutuhan per tahun. Artinya, sebagian besar beras harus dipasok dari daerah luar Mentawai.
Ditambah, pelabelan negatif dari pemerintah maupun orang luar terhadap masyarakat Mentawai sebagai kelompok yang primitif juga berkontribusi atas pergeseran pola konsumsi mereka. Banyak pihak memandang proses pembuatan sagu yang diinjak-injak dengan kaki adalah kotor. Situasi ini membuat masyarakat Mentawai tidak percaya diri lagi untuk bertahan pada sagu, sehingga mengonsumsi beras menjadi pilihan agar dianggap modern.
Namun, situasi berbeda dihadapi oleh Teresia, 45 tahun, warga Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan yang masih menganggap sagu sama pentingnya dengan beras. Ia menuturkan bahwa tiada perbedaan yang signifikan terkait pergantian pola makan, “Saya sudah makan sagu dari empat atau lima tahun, dibuat lunak-lunak. Enak dua-duanya karena sudah biasa dua-duanya.”
Meskipun dirinya dan keluarganya sudah terbiasa dengan olahan beras sebagai sumber karbohidrat sehari-hari, ia tidak masalah ketika menghadapi kelangkaan beras. Sebab, sagu masih menjadi opsi bagi keluarganya. Terkadang, ia masih mengolah sagu untuk dikonsumsi tanpa harus menunggu pesta.
“Kalau putus kapal, harus nyetok untuk sebulan, dua bulan. Tetapi kalau saya tidak akan kelaparan karena ada sagu. Putus kapal tiga bulan, saya bisa tebang sagu di lading,” jelasnya.
Akibat ketergantungan masyarakat terhadap beras, sejak 1998 pemerintah Kabupaten Kepualauan Mentawai mendatangkan beras untuk rumah tangga miskin (RASKIN) dari Padang dengan kualitas yang kurang baik. Distribusi RASKIN kemudian tidak lagi ditujukan untuk program darurat, melainkan sebagai bagian dari program perlindungan sosial masyarakat.
Tidak berhenti sampai disitu, pemerintah Kabupaten Mentawai pun kembali meluncurkan program cetak sawah seluas 1.000 hektare selama periode 2011-2016. Guna menyukseskan program tersebut, mereka memberikan pendampingan dan bantuan bibit, parang, cangkul, hingga uang operasional. Meskipun demikian, capaian dari program cetak sawah tersebut hanya berkisar 300-400 hektare sawah. Sementara sisanya dibiarkan tak tergarap.
“Dulu banyak sekali sawah di sini. Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi karena sawah-sawah sudah menjadi rumah orang.” Ucap Yanto, masyarakat adat di desa Munte
Cetak sawah yang dijalankan berulang kali menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat Mentawai. Semula, mengolah sagu merupakan tradisi bagi anggota keluarga untuk membangun kebersamaan. Semenjak cetak sawah diberlakukan, pemerintah menciptakan komunitas baru dalam masyarakat yang disebut kelompok tani. Situasi ini menyebabkan hubungan antaranggota uma merenggang.
Pergeseran pola konsumsi masyarakat Mentawai dari sagu menjadi beras turut menggeser pranata ekonomi tradisional mereka. Selama ini, masyarakat hidup dengan memanfaatkan ladang dan hasil alam untuk kebutuhan sehari-hari hingga mencukupi kebutuhan jangka panjangnya.
Gastrokolonialisme melalui intervensi pangan yang mencoba mengganti sagu menjadi beras sebagai makanan pokok di Mentawai telah menciptakan beban bagi masyarakat. Ketidaksesuaian lahan, kurangnya edukasi petani, dan rendahnya keterjangkauan mereka terhadap beras telah menciptakan ketergantungan yang besar terhadap pasokan dari daratan Sumatera.
Sudah semestinya pemerintah sadar bahwa kemandirian pangan tidak akan tercipta dari penjajahan pangan yang bias beras. Berkaca dari program serupa yang telah lalu, paksaan untuk terus mencetak sawah yang tidak berkelanjutan hanya akan membuat mereka semakin tak berdaulat di atas tanahnya sendiri. Dengan demikian, kemandirian pangan di Mentawai perlu diarahkan pada ketersediaan pangan lokal dan berbasis potensi lokal setempat.
*Referensi:
Chao, S. (2022). Gastrocolonialism: the intersections of race, food, and development in West Papua. The International Journal of Human Rights, 26(5), 811-832.
Erwin. (2017). Ketahanan Rumah Tangga dan Wilayah Berbasis Pangan Lokal Sagu, Keladi dan Pisang di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Seminar Nasional Perencanaan Pembangunan Inklusif Desa Kota. Universitas Andalas.
Grey, S. & Patel, R. (2015). Food sovereignty as decolonization: some contributions from indigenous movements to food system and development politics. Springer: The Agriculture, Food, & Human Values Society, 32(3), 431-444.
Nugroho, W. B. (2018). Konstruksi Sosial Revolusi Hijau di Era Orde Baru. Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness, 12 (1), 55-62.
Rudito, B. (2013). Bebetei Uma Kebangkitan Orang Mentawai: Sebuah Etnografi. Yogyakarta: Gading dan Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD).
*Ditulis oleh: Diana Mayasari, Mahasiswa Magang Estungkara, FISIPOL UGM 2023