Entah mengapa, hampir semua mahluk hidup mimiliki naluri dan sifat alami yang luar biasa dalam melindungi anaknya. Lihat saja mulai dari tumbuh-tumbuhan dimana biji yang manjadi cikal bakal sebatang pohon raksasa dibungkus dengan sangat baik sehingga tahan dan masih segar bertahun-tahun sebelum tumbuh di atas tanah. Suatu keajaiban pula bukan saja bagi Orang Rimba bagaimana sekuntum bunga yang sangat lemah dan gampang layu dapat menjadi buah yang menghasilkan banyak biji bagi perkembangbiakan tumbuh-tumbuhan hingga menjadi pohon-pohon besar. Sama sekali tidak bisa dibanyangkan bahwa semua keaneka ragaman flora yang ada, bercikal bakal dari pembuahan yang tidak terdeteksi dengan mata, menjadi bunga, buah dan anak-anak pohon hingga besar.
Binatang memiliki sifat dan ciri mahluk hidup lebih dari pada tumbuhan. Salah satu keunggulan binatang ia memiliki naluri. Naluri binatang yang sangat menonjol ketika memiliki bayi atau anaknya yang harus dilindunginya. Tiba-tiba binatang itu menjadi lebih berani dan labih galak dari keadaan biasa tanpa anak. Tanpa kenal malas induknya selalu setia menyusui anaknya sampai sang anak mandiri dan menjadi dewasa.
Manusia dapat dilihat sebagai puncak kesempurnaan dari semua jenis mahluk hidup. Namun dalam banyak hal manusia masih memiliki sifat dan naluri yang sama terutama dengan binatang yang dekat dengan manusia yaitu ordo primat. Akan tetapi sebagai mahluk yang berkebudayaan sifat dan naluri tadi cenderung tertutupi. Karena kemampuan mengembangkan kebudayaan ini pula menjadikan Manusia cenderung menjadi lebih sombong dari temannya sesama mahluk hidup, hingga seakan meniadakan sifat nulurinya yang sama dengan binatang. Pada akhirnya fungsi naluri ini adalah untuk mempetahankan keberadaan mahluk hidup tersebut. Dimana semua anak-anak mahluk hidup yang baru dilahirkan dikondisikan dalam keadaan lemah, rawan dan keselamatannya sangat tergantung kepada pertolongan induknya. Pada jenis mamalia misalnya keselamatan anak sangat tergantung kepada air susu induknya.
Jika dilihat lebih jauh bagaimana perlakuan manusia terhadap bayi dan anak-anak sebenarnya didasarkan kepada naluri. Sedangkan kebudayaan telah memperkaya berbagai macam aspek yang berhubungan antara induk dengan anak. Misalnya garis keturunan, upacara-upacara ritual, pola mengasuh/merawat, cara memberi makan, cara mendidik dan lain-lain. Sebagai contoh nyata walaupun seorang ibu tidak mampu menyusui bayinya yang baru lahir, pemberian susu formula tetap dilandasi atas naluri untuk mempertahankan hidup bayi.
Sehubungan dengan uraian di atas maka bayi atau anak-anak sering menjadi fokus perhatian berbagai program. Kelompok usia ini menjadi sangat strategis bukan saja karena keadaannya yang harus membutuhkan pertolongan untuk dapat bertahan hidup tetapi kelompok ini dianggap menjadi kunci masa depan satu suku, suatu bangsa, bahkan seluruh umat manusia, yang kualitas dan keberhasilannya tergantung pada usia tersebut. Kelompok usia ini dipandang belum memiliki nilai, apresiasi, pengetahuan, persepsi, kepentingan, sehingga sering disebut belum berdosa. Dengan alasan ini pula kelompok usia ini dapat diintroduksikan nilai-nilai, persepsi dan pengetahuan yang baru sesuai dengan yang diinginkan yang pada akhirnya akan mempengaruhi individu anak ketika dewasa. Melihat banyaknya aspek yang berhubungan dengan anak-anak ini maka hampir semua kepentingan bisa langsung dikaitkan dengan masa depan anak atau generasi muda sehingga kelihatan lebih idealis.
Pemahaman konsepsi anak menurut orng rimba dipandang perlu. Pertama kelompok umur ini menjadi sasaran paling strategis program Warsi seperti pendidikan dan kesehatan. Kedua kelompok umur ini strategis pula menjadi sasaran jangka panjang jika dihubungkan dengan konsevasi, karena masa depan hutan dikawasan tersebut sama dengan masa depan kelompok umur mereka juga yang pada akhirnya masa depan keseluruhan eksistensi orang rimba di Taman Nasional Bukit-12. Sebagaimana argumen yang sering dikemukakan oleh para pengulu Orang rimba tentang hutan adalah untuk anak-cucung kami.
Membicarakan anak secara konsepsional dengan orang rimba sangat sensitif dan mengandung kerawanan, karena terkait langsung dengan sistem ritual dan religi orang rimba itu sendiri. Karena itu bagi kita yang cenderung bolak-balik keluar masuk, maka membicarakan hal ini dianggap tidak pantas bukan saja untuk diketahui orang luar tetapi juga tidak pantas dari segi situasinya. Ada suatu dalil bagi semua agama dan kepercayaan jika kita ingin membicarakan suatu kepercayaan maka kita harus menjadi penganut dulu dari kepercayaan atau agama yang dibicarakan. Dan hambatan inilah yang membatasi kita, dengan alasan ini pula yang menjadikan kecil kemungkinan peluang untuk memahami hal yang berkaitan dengan kepercayaan ini secara mendalam.
Menurut persepsi orang rimba bahwa anak-anak sebelum dilahirkan ke dunia ini (halom nio) oleh ibunya ia berada di halam nang tinggi atau halam dewo. Tempat ini merupakan tempat paling tinggi dalam susunan dewo-dewo tidak bisa dijangkau oleh sang dukun. Di halom dewo ada tempat bertingkat-tingkat yang disebut gelanggang kakanak. Di dalam gelangang ini semua isinya anak-anak yang dibagi dua yaitu bagian yang tinggi atau teranjung tinggi ditempati oleh anak-anak laki-laki dan bagian yang dibawah atau kedelomon ditempati oleh bagian perempuan. Seperti rumah orang rimba sendiri yang selalu membuat bagian rumah yang labih rendah untuk perempuan. Semua anak-anak dipelihara oleh bidodari yang menjadi iinduon-nya. Bidodari ini menjadikan bayi-bayi dari berbagai macam bunga-bungaan.
Jika seorang ibu hendak mau melahirkan ada dua jenis bidan berperan penting. Pertama dukun yang akan berhubungan dengan dewo-dewo yang bertugas memhon keselamatan atas kelahiran bayi. Pada intinya ia menghubungi dewo-dewo untuk menyambut dan menyertai dan mengamankan kedatangan sumangot atau halui-nye bayi. Dewo yang paling banyak berperan dalam melahirkan ini adalah dewo merego dan berbagai silumon. Demikian ritualnya upacara penyambutan bayi ini sehingga orang luar tidak boleh ada dikawasan tersebut.Yang lainnya adalah bidan perempuan yang menolong persalinan. Bidan ini akan membantu seluruh proses persalinan hingga sang bayi selamat keluar dari rahim ibunya.
Semua bayi menurut orang rimba masih berstatus sebagai bahelo atau dewo. Menurut orang rimba selama ia belum memakan berbagai macam makanan yang kotor sebagaimana makanan orang rimba umumnya ia masih berstatus dewo. Buktinya ia masih berstatus sebagai dewo adalah jika ditanyakan pada bayi “ado bleging? Jika dijawab bayi ging”, maka orang tuanya akan pergi berburu dan dipastikan akan ada dapat lauk buruan. Artinya sifat kedewaan bayi memungkinkannya untuk mengetahui sesuatu yang tidak mungkin diketahui oleh manusia umumnya.
Ketika bayi lahir biasanya setelah satu malam baru diberikan nama. Kadang-kadang semasih dalam kandungan nama bayi sudah tersedia. Yang memberikan nama bayi adalah dewo yang diturunkan melalui sang dukun. Semua orang rimba dianggap anak dari dewo tertentu, sehingga namanya terkit langsung dengan aspek tertentu dari dewa tersebut yang tujuannya adalah melindungi keselamatan orang yang memakai nama. Dibawah ini contoh beberapa nama yang menunjukkan dari dewa mana ia berasal:
Nama Dewo
Ngelemun Orang de reppo
Pelimbai Orang de gedung
Ngangkui Orang de padi
Nutup Orang de reppo
Niti Orang de mato aek
Menurut kepercayaan orang rimba masa bayi yang paling rawan kira-kira 1 bulan setelah lahir Masa ini dihitung berdasarkan timbulnya bulan baru setelah kelahiran sang bayi. Pada kelompok tertentu harus diantarai 1 bulan penuh. Selama masa ini dianggap masa penuh gangguan dari setan-setan atau silumon jahat. Selama ini bayi diawasi penuh oleh ibu dan dukun-dukun. Banyak pantangan dan tabu-tabu yang berhubungan dengan masa-masa seperti ini. Misalnya ibu dan bayinya tidak boleh mandi langsung ke sungai. Jika ia mandi harus didarat. Orang rimba percaya bahwa daki ibu dan bayi itu akan diganggu oleh berbagai macam penyakit di laut, sehingga akan mengganggu keselamatan bayi. Setelah melawati satu bulan mati maka diadakan upacara ritual untuk memandikan bayi. Pada kelompok tertentu upacara pemandian bayi ini disertai dengan pemberian lemak-manis oleh orang tua bayi kedapada seluruh kerabat dekat atas keselamatan bayinya.
Upacara memandikan bayi pertama kali disungai termasuk upacara yang sangat ritual selain berbalai. Upacara ini diadakan dipinggiran sungai terdekat dimana terdapat genah mereka. Pertama kelompok ini membangun gelanggang dipinggiran sungai.yaitu tempat dukun berhubungan dengan dewo-dewo. Gelanggang menyeruapi balai hanya jauh lebih kecil dari balai yaitu seukuran 2 meter x 3 meter. Antara gelanggang dengan sungai ada halaman seluas 8×8 meter yang menjadi tempat perempuan menari-nari sambil mengiringi bayi. Salah satu diantara perempuan ini berfungsi sebagai beyu-nye yaitu dukun perempuan yang akan mengantar dan menterjemahkan percakapan sang dukun dengan halom dewo. Misalnya jika dewo minta bunga atau rokok maka beyunye yang dapat mengerti kinginan itu. Antara lapangan dengan sungai biasanya dibuat tangga jika terdapat tebing, jika pinggiran sungai landai maka tangga tidak dibutuhkan.
Di atas sungai dibangun tempat memandikan bayi berukuran 1,5×1,5 meter. Semua tempat ini ditutup dengan kain sehingga tidak kelihatan dari luar. Di ke empat sudut dari tempat ini di pasang tiang setinggi 2 meter yang ujungnya dibelah didiselipkan potongan kayu sehingga berbentuk tanda salib. Tempat ini disebut kinggiron binti atau kinggiron burung. Artinya tempat burung bertengger. Tempat ini sudah menjadi keramat 1 malam sebelum dan sesudah acara memandikan bayi, karena halui burung telah ada di kinggiron tersebut. Burung yang hadiar biasanya geding, selelayag, klongkot dan pusoron. Burung ini banyak fungsinya tetapi yang terpenting adalah sebagai transport dukun untuk bertemu dengan dewa-dewa. Sedangkan disebelah sudut depan kanan gelanggang terdapat wadah setinggi 2,5 meter yang terbut dari rotan. Wadah ini disebut sanggo yaitu tempat persembahan bunga-bungaan kepada ¬dewo. Berbagai jenis bunga dipersembahkan tergantung kepad ajenis dewa yang ditemui. Seperti contoh-contoh di bawah ini:
Nama dewo Jenis bunga persembahan
Orang de penyakit/Kebialon Bunga cempaka
Orang de padi Bungo tangkul, bungo jawo
Orang de mekkah/dewo-
Orang melayu Bungo jambu
Orang de tanaman Bungo keladi
Dewo merego Bungo glinggang, lalang, kemang, putih
Orang de gejoh Ibul
Orang de gunung Bunga antui
Orang de reppo Bungo antui, remanai, ranggung, padi
Orang de mato aek Bungo Antui
Pencuci kotoran Bunga kuning
Alat-alat lain yang digunakan dalam memandikan bayi ini adalah 7 buah parang ditambah dengan 1 buah beliung dan 1 buah batu asah. Saat prosesi pemandian, ibunya mandi dibagian hulu, sedangkan bayi mandi di dalam tempat mandi yang disediakan dan tertutup kain. Dalam tempat mandi ini yang dimandikan bayi adalah air bekas asahan parang dan beliung sambil mengayunkan bayi 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir, seraya mengucapkan doa “bahelo mandi dari hulu, budak mandi dari hilir”. Simbolisasi parang, beliung dan daki bahelo bertujuan untuk mengamankan daki bayi yang akan dibawa ke laut dimana ia akan bertemu dengan genah penyakit.
Setelah selesai mandi bayi dibawa ke atas kegelanggang dan diserahkan ke orang tuanya laki-laki yang duduk berdampingan dengan dukun. Sementara dukun mengadakan komunikasi dengan dewa-dewa. Perjalanan dukun bersama dewa-dewa dideskripsikan dalam suatu perjalanan yang sangat panjang karena menemui banyak sekali dewa dan tempat-tempatnya. Lajimnya perjalanan panjang ini dilakukan ketika sedang mengadakan ritual bebalai.
Pertama awal sekali dukun bertemu dengan dewo merego, kemudian ia melanjutkan perjalanan ke laut dan bertemu dengan dewo penyakit. Ketika bertemu dengan dewa penyakit dukun dapat membicarakan pengobatan berbagai penyakit yang menimpa warganya. Sekembali dari laut ia bertemu dengan banyak silumon yang walaupun berbahaya tetapi juga dipuja orang rimba. Dari genah silumon, dukun pergi ke gunung dan disana ia meletakkan balai. Di gunung ini pula sang dukun bertemu dengan berbagai macam dewo, sesuai dengan tujuannya.
Jika ia ingin memohon petahunon maka ia akan menemui orang de buah. Jika ia ingin hari beig maka ia akan menemui orang de mato aek dan lain-lain. Jika ia perlu melanjutkan perjalanan ke halom dewo nang tinggi, maka ia akan bersama burung geding atau selelayag ke halom dewo. Batas halom dewo adalah selat atau awan/angin. Disana ada pintu langitpintu langit yang dijaga oleh anak bidodari. Ditempat ini sng dukun dapa bertemu dengan banyak dewa lagi.
Setelah selesai memandikan bayi, maka sanak keluarga diberikan makan lemak manis yang biayanya ditanggung seluruh orng tua anak. Ini sebagai rasa syukur atas keselamatan bayi. Sedangkan demor masih terus rutin dinyalakan di tempat pemandian itu 3 malam berturut-turut, karen atempat itu dianggap masih sakral dan masih ditempati dewo-dewo. Dan anak dan ibunya sudah bebas mandi disungai kapan saja.