Edukasi Pemanfaatan Pangan Lokal Komunitas Suku Anak Dalam

Dalam upaya mendukung kearifan lokal pada komunitas Suku Anak Dalam (SAD), Pundi Sumatra bekerja sama dengan PKK Kecamatan Pelepat mengadakan kegiatan edukasi pemanfaatan pangan lokal. Kegiatan ini juga berfungsi sebagai kampanye untuk mempromosikan olahan makanan hasil hutan berbahan umbi-umbian. Didukung oleh Kemitraan Partnership, program ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menghidupkan kembali sumber pangan lokal suku anak dalam.

Sebelum mengenal produk makanan instan, komunitas suku anak dalam memenuhi kebutuhan karbohidrat mereka dari umbi-umbian yang diperoleh dari sekitar hutan. Beberapa jenis umbi-umbian tersebut antara lain adalah bana, gadung, dan ubi. Namun, dengan semakin berkurangnya luas hutan, akses terhadap sumber pangan lokal ini menjadi semakin sulit. Ditambah lagi, jenis umbi-umbian tersebut belum banyak dibudidayakan oleh komunitas suku anak dalam. Akibatnya, komunitas semakin terbiasa dengan makanan kemasan yang bisa dikonsumsi secara instan. Meskipun mengolah umbi-umbian seperti bana atau gadung membutuhkan waktu dan proses yang cukup rumit sebelum bisa aman dikonsumsi.

Kampanye edukasi ini melibatkan berbagai pihak, termasuk komunitas SAD, PKK desa, PKK tingkat kecamatan, serta dihadiri oleh PKK Kabupaten Bungo. Peserta kampanye terdiri dari lima kelompok yang beranggotakan ibu-ibu dan remaja perempuan dari perwakilan kelompok SAD. Ada juga perwakilan desa Dwi Karya Bakti, Kampung Pasir Putih, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo.

Setiap peserta kampanye diberi waktu sekitar dua jam untuk mengolah menu pilihan mereka. Sri Bungo, salah satu peserta, berbagi cerita tentang menu olahan yang kelompoknya buat. “Kami menggunakan gadung, mau kami goreng jadi kerupuk. Kalau dulu dibuat jadi seperti bubur,” ujarnya. Sri Bungo juga menjelaskan bahwa mengolah gadung sampai bisa dimakan memerlukan waktu yang cukup lama. Gadung yang telah dikupas harus direndam di darat selama tiga hari. Setelah itu dicuci bersih di sungai dengan air mengalir selama seharian. Setelah itu, gadung dijemur selama dua hari. “Karena lama proses pengolahannya, kami jadi jarang makan gadung, minimal seminggu sekali,” sambungnya.

Sebagian besar menu yang dihasilkan berbentuk bubur, yang oleh komunitas SAD disebut sebagai nasi rimba karena bahan-bahannya diambil dari hutan. Yeni, salah satu peserta, mengenang masa kecilnya ketika mereka sering makan nasi rimba tanpa memikirkan masalah kesehatan. “Dulu jaman kami kecil, kami sering makan ini. Tidak pernah ada yang sakit perut, atau sakit maag seperti orang dusun. Jadi kami tidak masalah kalau makan cuma sekali sehari. Tapi sekarang anak-anak kami malah sering kena sakit perut,” ujarnya.

Darmalita, selaku Ibu Camat Pelepat, juga berkesempatan memberikan edukasi tentang pangan sehat kepada komunitas SAD. Dalam penyampaiannya, Darmalita mengapresiasi kemampuan kelompok perempuan SAD yang mampu menghasilkan pangan sehat bagi keluarga dengan memanfaatkan hasil hutan. “Induk-induk di sini pasti paham bahwa bana, gadung, serta ubi yang kita olah sekarang ini punya nilai yang sama dengan nasi. Artinya, jika tidak makan nasi, tidak berdampak buruk bagi kita,” ujarnya. Darmalita juga menganjurkan agar kelompok SAD menambahkan sayur-sayuran di setiap lauk pauk yang disajikan untuk melengkapi sumber asupan gizi.

Setelah sesi diskusi dan sharing, para peserta menikmati bersama-sama hasil olahan makanan. Kampanye ini menjadi kesempatan bagi kelompok perempuan SAD untuk memperkenalkan kembali pangan tradisional dari nenek moyang mereka. Yori Sandi, selaku koordinator dalam program Estungkara, berharap kegiatan ini dapat menguatkan kembali pengetahuan yang sudah ada pada komunitas. Juga meningkatkan kesadaran bahwa pangan lokal kaya akan gizi, ekonomis, dan lebih sehat dibandingkan makanan kemasan atau instan. “Selain itu, kami ingin mengangkat kuliner khas komunitas SAD yang mungkin telah terlupakan,” ujarnya.

Dengan adanya kegiatan seperti ini, diharapkan komunitas SAD dapat terus menjaga dan memanfaatkan sumber daya alam yang mereka miliki. Program ini juga menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal dan pengetahuan tradisional memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan pangan dan kesejahteraan komunitas.

Penulis :

PUNDI SUMATRA