Diskusi Publik PILKADA: Ruang Adu Gagasan Kebijakan Inklusif Bagi Masyarakat Adat di Kepulauan Mentawai

FORMASI Mentawai atau Forum Masyarakat Sipil Mentawai merupakan sebuah wadah komunikasi bagi NGO, media dan pegiat kemanusiaan yang berkegiatan di Mentawai pada isu isu Kebencanaan dan perubahan iklim, ketahanan pangan, Masyarakat Adat, kesetaraan gender dan inklusi sosial serta sanitasi di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Forum menjadi salah satu mitra strategis bagi pemerintah dan stakeholder lainnya untuk membangun Mentawai lebih baik.

YCMM melalui Program Estungkara lewat kolaborasi dengan KEMITRAAN dan NGO lain di Provinsi Sumatera Barat yang tergabung dalam FORMASI menyelenggarakan kegiatan Diskusi Publik dengan Calon Kepala Daerah Mentawai dengan tajuk “Meneropong Arah Pembangunan Mentawai: Sistem Pangan Yang Mandiri Serta Tangguh Menghadapi Bencana dan Perubahan Iklim Berspektif GEDSI”. Diskusi publik ini diselenggarakan bertepatan dengan Hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September 2024 dan bertepatan dengan tahapan penyelenggaraan Pilkada yang telah memasuki masa kampanye bagi Calon Bupati dan Wakil Bupati Mentawai.

Turut hadir ketiga pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Mentawai, Ketua KPU, Ketua Bawaslu, Sekda kepulauan Mentawai, Kepala Dinas Ketahanan dan Pertanian, Kalaksa BPBD, Kepala Bapeda dan perwakilan OPD lainnya serta perwakilan pimpinan NGO yang tergabung dalam FORMASI serta penanggap terkait isu Ketahanan Pangan oleh Ikbal Ardiansyah dari Yayasan Sheep Indonesia, isu Kebencanaan dan Perubahan Iklim oleh Fared Sirileleu dari CDRM n CDS, dan isu Gedsi (Gender Equality, Disability and Social Inklusion) oleh Tarida Hernawati dari YCMM dan Koordinator Formasi oleh Sandang Paruhum dari YCMM serta moderator Indra Gunawan Sanene dari YCMM.

Dikatakan oleh Koordinator FORMASI bahwa dalam isu pangan, data statistik mencatat jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di sector pertanian, perkebunan, perburuan dan perikanan sebanyak 31.504 orang atau 66,45 % (Mentawai dalam angka 2024). Apabila dibandingkan dengan hasil produksi sagu 2018, 1.847 ton dan turun menjadi 690 ton di tahun 2023. Keladi pada tahun 2018 produksinya mencapai 97.730 ton namun tahun 2022 turun drastis menjadi 1.041,5 ton, sementara produksi beras tahun 2022 sebanyak 803,29 ton dan di tahun 2023 menjadi 710,48 ton.

Melihat data pada tahun 2021 produksi beras hanya 1.005 ton sementara kebutuhan beras mencapai 9.678 ton, bila beras yang didatangkan dari luar berada pada angka 8.000 ton/tahun saja kalau harga beras Rp. 12.000/kg berarti 96.000.000.000 (96M) maka pilihan-pilihan program dan strategi yang seharusnya dilakukan.

“Kedepan perlu meningkatkan produksi beras atau kembali ke pangan lokal atau diversifikasi pangan lokal seperti sagu, keladi, pisang. Hal ini harus dilakukan agar Mentawai memiliki kemandirian pangan,” ujar Sandang Paruhum.

Sementara pada isu kebencanaan secara data historis menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami peningkatan suhu secara perlahan selama bertahun-tahun dan hal ini juga seiring dengan peningkatan tren bencana di berbagai wilayah (UNFPA, 2023). Wilayah geografis Mentawai yang dikelilingi oleh lautan dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia tentu meningkatkan risiko bencana dan dampak perubahan iklim yang secara langsung berimplikasi pada kerawanan masyarakat.

Data BPBD Mentawai tahun 2024 tentang tren bencana atau kecenderungan kejadian bencana terutama Gelombang Ekstrim dan Abrasi, Gempa Bumi dan Tsunami, banjir dan cuaca ekstrim mengalami peningkatan. Ancaman megathrust Mentawai yang belakangan ini ramai diperbincangkan seharusnya menjadi titik awal untuk melihat kembali sudah sejauh mana ketangguhan Mentawai menghadapi bencana.

Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Kabupaten Kepulauan Mentawai sebagai daerah 3 T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) menjadikan prioritas utama pembangunan masih berfokus pada peningkatan pembangunan infrstruktur dan bidang lainnya untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain dan keluar dari daerah 3T.

Karena itu menurut Sandang , pilihan program pembangunan lebih menyasar kepada penyediaan infrastruktur dan perekonomian. Karena belum menggunakan perspektif GEDSI, maka pilihan program pembangunan oleh pemerintah daerah bersifat netral. Sebuah pandangan yang meyakini bahwa manfaat program pembangunan akan bisa dinikmati semua warga secara sama. Faktanya, di dalam masyarakat terdapat kelompok marginal yang memiliki perbedaan kemampuan dengan warga pada umumnya, dalam memanfaatkan hasil-hasil pembangunan. Hal ini membuat mereka tertinggal dari gerak maju pemerintahan dan pembangunan. Kelompok marginal ini adalah perempuan, anak, dan disabilitas. Mereka adalah kelompok yang rentan terhadap ketidakadilan dan diskriminasi.

“Diskriminasi dari lingkungan masyarakat adat lahir dari distorsi aturan-aturan hukum adat, dan norma-norma budaya yang berlaku. Budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai subordinasi dimana peran dan posisi perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan baik fisik, verbal, psikis maupun kekerasan seksual di dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya,” tambahknya.

Data dari UPTD PPA-Dinas Sosial P3A Kab. Kep. Mentawai setiap tahun mencatat tingginya angka kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Setiap tahun rata-rata ada 20 kasus yang dilaporkan bahkan cenderung meningkat setiap tahun. Faktanya masih banyak kasus yang tidak dilaporkan dan diproses hukum dan hanya diselesaikan secara adat dan kekeluargaan.

Perlindungan dan pemberdayaan terhadap anak penyandang disabilitas juga belum maksimal, dan hingga kini belum ada sekolah inklusi di Mentawai. Kondisi ini menyebabkan kerentanan yang dialami oleh perempuan, anak dan penyandang disabilitas makin tinggi ditambah pula dengan adanya yang muncul.

Di tempat terpisah pasangan nomer urut 1, Rijel Samaloisa dan Yosep Sarogdok menilai bahwa kolaborasi dimasa yang akan datang dalam mewujudkan masyarakat yang inklusif menjadi penting. NGO adalah mitra strategis pemerintah sebagai alat kontrol pemerintah dalam memastikan kesetaraan gender, terlindunginya kaum perempuan, anak, dan disabilitas dalam menjawab tantangan-tantangan isu yang menjadi fokus dialog hari ini, seperti isu ketahanan pangan dalam menghadapi bencana dan perubahan iklim.

Pasangan nomer urut 2, Maru Saerejen dan Binsar Saleleubaja menyebutkan bahwa kegiatan yang di selenggarakan FORMASI merupakan hal yang bagus untuk mampu menganalisa bersama isu-isu strategis seperti isu ketahanan pangan dan bagaimana kiat menghadapi situasi krisis.

“Mengingat kita berada di ring of fire, serta keterlibatan semua pihak secara setara menjadi hal yang perlu bagi terlaksananya pemerataan pembangunan,” ujar Maru dalam diskusi.

Pasangan Nomer urut 3, Rinto Wardana dan Jacop Saguruk menilai kegiatan FORMASI sangat penting untuk bisa mempersiapkan, memastikan Mentawai tidak lagi tertinggal dari daerah lain baik dalam memastikan ketersediaan pangan lokal untuk ketahanan pangan. Lebih lanjut juga untuk memastikan kesiapan dalam menghadapi bencana dan perubahan iklim serta pembangunan yang merata dengan tidak meninggalkan seorangpun atau bersama sama secara setara.

Diskusi ini menjadi ruang adu gagasan untuk melihat keberpihakan calon pemerintah dalam menjawab isu-isu yang hingga saat ini masih menjadi persoalan penting di masyarakat, terutama masyarakat adat Mentawai yang terdampak langsung dari isu-isu yang didiskusikan dalam ruang dialog calon pemimpin daerah ini. Diskusi ini menjadi ruang inklusif untuk memastikan kelompok marginal seperti masyarakat adat Mentawai memperoleh hak yang setara atas hasil pembangunan.

Penulis :

Reynald Suryadinata