Orang Rimba merupakan salah satu suku adat minoritas di Provinsi Jambi. Mereka telah lama menjadikan kawasan hutan sebagai rumah dan sumber kehidupan mereka. Dalam kehidupan tradisional mereka, hutan bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga merupakan identitas budaya yang mendalam. Bagi Orang Rimba, hutan adalah segalanya: sumber makanan, obat-obatan, tempat berlindung, serta arena ritual adat yang menghubungkan mereka dengan leluhur.
Namun, beberapa dekade belakangan ini, kebijakan konversi hutan telah mengubah segalanya. Perubahan tersebut tidak hanya memengaruhi lingkungan fisik tetapi juga merusak kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Kebijakan konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pemukiman transmigrasi, dan pembangunan infrastruktur telah menggusur mereka dari habitat aslinya. Akibatnya, mereka kehilangan ruang penghidupan yang selama ini menopang keberlangsungan hidup dan budaya mereka.
Hilangnya hutan berarti hilangnya sumber daya yang sangat diperlukan Orang Rimba untuk bertahan hidup. Mereka bukan hanya kehilangan tempat tinggal tetapi juga kehilangan sumber makanan dan obat-obatan alami. Dalam konteks ini, mereka mengalami marginalisasi yang mendalam. Kehidupan mereka berubah drastis. Dari masyarakat yang mandiri dan berbasis pada kearifan lokal, menjadi kelompok yang tergantung pada belas kasihan dan kebijakan pemerintah yang sering kali tidak berpihak.
Dampaknya tidak hanya terasa secara material tetapi juga secara sosial dan psikologis. Mereka sering kali mengalami stigma negatif oleh masyarakat luas, diperlakukan secara diskriminatif, dan terpinggirkan karena keterpencilan geografis mereka. Selain itu, perbedaan budaya dan agama sering kali mempersulit interaksi mereka dengan masyarakat mayoritas. Ketika masyarakat luar melihat Orang Rimba, yang terlihat adalah perbedaan dan ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan kehidupan modern,. Bukan sebagai kelompok yang memiliki hak dan budaya yang harus dihormati.
Kurangnya informasi yang tepat dan akses yang terbatas membuat Orang Rimba sulit mendapatkan bantuan atau dukungan yang mereka butuh kan. Pemahaman tentang hak-hak mereka sering kali kabur atau tidak dipahami dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat umum. Misalnya, program-program bantuan sering kali tidak mencapai mereka karena masalah administrasi dan kurangnya dokumentasi resmi yang dimiliki oleh mereka.
Desa Rejosari, salah satu desa di Kecamatan Pamenang, dulunya adalah hutan lebat yang menjadi ruang jelajah dan penghidupan bagi Orang Rimba. Namun, setelah adanya program transmigrasi dari pemerintah, wilayah ini dialihfungsikan untuk perkebunan kelapa sawit dan pemukiman transmigrasi. Jalan lintas Sumatra yang membelah hutan di wilayah Pamenang ini mempercepat hilangnya habitat alami Orang Rimba.
Orang Rimba yang telah kehilangan “rimbanya” harus beradaptasi secara prematur tanpa bekal kemampuan hidup bersaing dengan warga transmigrasi yang mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Mereka hidup di sisa-sisa lahan mereka sementara sebagian lainnya hidup berpindah tak menentu, sering kali tinggal di kebun-kebun milik warga desa. Sumber penghidupan mereka bergantung pada hasil buruan, memungut sawit, pinang, dan mengumpulkan barang bekas. Namun, kondisi ini kian sulit karena hewan semakin susah diburu dan aktivitas memungut sawit sering memicu konflik dengan pemilik kebun.
Pada masa pandemi COVID-19, Orang Rimba tidak hanya terkena dampak pandemi yang membatasi aktivitas. Tetapi juga dampak virus Afrika yang mematikan babi dalam jumlah besar, mengakibatkan sumber perburuan mereka semakin berkurang. Keadaan ini memaksa mereka nyaris hanya mengandalkan sawit, pinang, dan barang bekas, yang meningkatkan risiko konflik dengan warga desa dan membuat mereka dicap sebagai pencuri.
Namun, advokasi yang berhasil oleh Warsi kepada Kementerian Sosial untuk afirmasi Bantuan Sosial Tunai (BST) COVID-19 bagi Orang Rimba cukup membantu mereka dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Setelah pandemi mereda, meskipun bantuan BST tidak lagi diberikan dan diganti dengan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), tidak semua mereka mendapatkan BPNT karena pendataan yang tidak akurat.
Perlahan-lahan, perhatian pemerintah desa Rejosari mulai membaik. Desa ini mulai mengalokasikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa bagi Orang Rimba kelompok Minan Desa Rejosari. Salah satu langkah yang signifikan adalah diangkatnya salah satu kader mereka menjadi bagian dari Linmas, yang terlibat dalam kegiatan sosial dan pengamanan even-even di desa.
Pada hari Senin, 25 Maret 2024, di Kantor Desa Rejosari, perangkat desa, warga miskin, dan Orang Rimba berkumpul untuk penyaluran BLT Dana Desa. Kepala Desa, Pak Yuli Widodo, menyampaikan bahwa meskipun dana BLT berkurang, mereka berkomitmen untuk memastikan bantuan tersebar secara adil. Yang membuat perbedaan nyata adalah pendekatan terhadap Orang Rimba. Mereka akan tetap menjadi penerima bantuan sepanjang tahun ini tanpa pergantian. Memastikan interaksi yang lebih baik dengan pemerintah dan stabilitas hidup mereka.
Tumenggung Minan, perwakilan dari kelompok Orang Rimba, merasa lega dan mengucapkan terima kasih atas perhatian pemerintah desa. Pada akhir pertemuan, sebanyak 22 penerima BLT DD diumumkan, termasuk sembilan keluarga dari kelompok Orang Rimba. Desa Rejosari menjadi contoh bagaimana keadilan dan solidaritas dapat diwujudkan dalam masyarakat.
*Artikel ini ditulis oleh: Rusli Effendi, KKI Warsi