Cerita Media Konde.co Wujudkan Pemberitaan yang Inklusif

Media massa memiliki peran yang sangat krusial dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi persepsi masyarakat tentang berbagai isu sosial. Di tengah kemajuan teknologi, media tidak hanya menjadi sumber berita. Tetapi juga agen perubahan yang dapat membawa pengaruh positif atau negatif. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi media saat ini adalah bagaimana mereka dapat menyajikan berita yang adil, akurat, dan inklusif. Terutama dalam mengangkat isu-isu perempuan dan kelompok marginal seperti masyarakat adat.

Nilai inklusif dalam peliputan media bukan hanya tentang memberikan suara kepada mereka yang selama ini terpinggirkan. Tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap narasi yang diangkat tidak mengandung prasangka, stigma, atau diskriminasi. Inklusi berarti melibatkan semua pihak secara setara dan memberikan ruang yang sama untuk berpendapat dan didengar. Ketika media menerapkan nilai inklusif, mereka tidak hanya memenuhi tanggung jawab etis dan profesional mereka. Tetapi juga membantu menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Isu-isu perempuan dan masyarakat adat sering kali terabaikan atau disajikan dengan cara yang tidak sensitif terhadap konteks budaya dan pengalaman hidup mereka. Media mainstream cenderung menampilkan sudut pandang yang dominan dan mengabaikan suara-suara dari kelompok marginal. Hal ini dapat mengakibatkan stereotip dan diskriminasi yang semakin mengakar di masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi media untuk memiliki perspektif yang inklusif dalam peliputan mereka. Agar setiap isu dapat disampaikan secara holistik dan adil.

Sebagai penjaga gerbang informasi, media memiliki tanggung jawab besar untuk menyajikan berita yang tidak hanya informatif, tetapi juga mendidik dan mempengaruhi perubahan positif. Dengan mengadopsi nilai inklusif, media dapat memainkan peran penting dalam mengangkat isu-isu perempuan dan masyarakat adat. Serta memberikan platform bagi mereka untuk berbagi cerita dan pengalaman mereka. Ini tidak hanya membantu meningkatkan kesadaran publik tentang masalah yang mereka hadapi. Tetapi juga mendorong perubahan kebijakan dan tindakan yang lebih berpihak pada keadilan sosial.

Melalui tulisan ini, kita akan mengeksplorasi mengapa media perlu mengadopsi nilai inklusif dalam peliputan mereka. Juga bagaimana peran media dalam mengangkat isu-isu perempuan dan kelompok marginal dapat berdampak besar pada masyarakat.

Konde.co sebagai media alternatif yang berfokus pada isu perempuan dan kelompok marginal lainnya, berbagi pengalamannya tentang bagaimana sebaiknya media memberitakan isu marginal dengan nilai inklusif.

Nurul Nur Azizah, managing editor konde.co mengatakan, ketika seorang peneliti independen atau dosen menyampaikan isu-isu yang mereka pelajari, biasanya mereka berdiri sendiri tanpa banyak interaksi dengan ekosistem yang lebih luas. Namun, sebagai jurnalis, kita beroperasi dalam ekosistem yang saling terkait. Yakni melibatkan pekerja media, konten, suara publik, serta regulasi dan kepemilikan media.

Setiap media memiliki karakter dan pendekatan yang berbeda dalam peliputan, terutama terkait isu-isu masyarakat adat. Ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan dalam pemberitaan masyarakat adat kata Nurul, yakni: kode etik jurnalistik, pedoman peliputan, dan perspektif media.

Refleksi ini berangkat dari pengalaman Nurul bekerja di media mainstream dan sekarang di media alternatif. Ada perbedaan signifikan dalam pengangkatan isu, sudut pandang liputan, dan cara kita menarasikan isu-isu yang ada. Setiap profesi memiliki kode etik, dan bagi jurnalis, verifikasi adalah salah satu yang paling penting. Terutama dalam isu masyarakat adat, verifikasi menjadi krusial. Dewan Pers telah menetapkan aturan dalam UU Pers, seperti pada Pasal 1 yang menyebutkan bahwa jurnalis harus mendapatkan informasi secara profesional. Sikap kita dalam menghadapi narasumber yang mengalami trauma juga sangat penting.

Pasal lain, seperti Pasal 2, menekankan bahwa jurnalis tidak boleh menyebarkan berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Hal ini sering terjadi dalam kasus kekerasan seksual di masyarakat adat dan perampasan lahan yang mereka alami. Pasal 8 juga menekankan bahwa jurnalis tidak boleh menulis berita berdasarkan prasangka atau diskriminatif. Ini berarti tidak boleh ada stereotipe atau diskriminasi dalam isu-isu marginal seperti perempuan dan masyarakat adat. Jurnalis harus peka, sensitif, dan tidak membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, warna kulit, atau kondisi fisik dan mental. Ini penting dalam mengangkat isu disabilitas.

Nurul juga menambahkan, selain kode etik jurnalistik, ada juga pedoman penulisan di platform cyber. Meskipun medianya berbeda, prinsip dasarnya tetap sama. Pedoman ini menekankan pentingnya tidak menggunakan kata-kata bias atau seksis dan menghindari diskriminasi dalam pemberitaan. “Seorang jurnalis harus belajar dari pendamping atau lembaga yang mendampingi kelompok marginal. Tujuannya memahami dan menyusun angle tulisan yang tepat,” ujar Nurul.

Di konde.co, kami berupaya menerapkan jurnalisme inklusif. Di mana setiap pemberitaan tidak mengandung stigma atau prasangka negatif, terutama jika narasumbernya adalah kelompok yang dimarginalkan. Penggunaan bahasa dan diksi yang tepat, pemuatan foto dan video yang sesuai, serta angle tulisan yang inklusif adalah upaya kami untuk menyajikan berita yang adil dan tidak bias.

Namun, menjadi jurnalis di ibu kota memiliki tantangan tersendiri, terutama dalam meliput isu masyarakat adat. Kesulitan utama adalah finansial dan sumber daya manusia bagi jurnalis media alternatif. Sementara jurnalis media nasional sering kali kurang kritis dalam memilih narasumber yang sesuai. “Misalnya, dalam peliputan tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat adat, suara yang lebih banyak terdengar adalah dari pemerintah, bukan dari masyarakat adat itu sendiri,” tambahnya.

Tantangan lain adalah soal keamanan jurnalis. Meskipun UU Pers mengatur tentang keamanan dan perlindungan jurnalis, pelaksanaannya belum maksimal. Jurnalis harus melindungi diri dan narasumbernya dengan proses berlapis seperti pra-tayang, tayang, dan pasca tayang. Persiapan kesehatan fisik dan mental, biaya, mitigasi risiko, riset lokasi, serta kerja sama dengan lembaga daerah sangat penting. Saat tayang, jurnalis harus meminta persetujuan narasumber untuk foto dan video. Tujuannya menjaga privasi dan tidak menyebutkan nama atau detail lokasi dalam kasus kekerasan seksual.

Agar isu-isu daerah tetap terangkat, kolaborasi dengan media lokal sangat penting. Konsolidasi dengan media alternatif perempuan, seperti yang dilakukan konde.co, dapat membantu dalam memberikan informasi dan perkembangan isu di setiap daerah. Selain itu, gencarkan kampanye di media sosial dengan mengemas isu marginal agar mudah dimengerti dan cepat disebarkan oleh netizen. Mainmapping isu inklusif dan berperspektif gender juga bisa menjadi nilai tawar dalam kolaborasi liputan.

Dengan upaya ini, kita dapat menghadirkan pemberitaan yang inklusif, adil, dan tidak bias, serta mengangkat suara-suara dari kelompok marginal dengan cara yang profesional dan etis.

Penulis :

Yael Stefany