Sorot matahari pagi yang hangat merayapi Dusun Pariok mengiringi langkahku ketika aku menaiki tangga Uma Sakukuret. Genggaman tangan Baboy, istri Aman Aguy, menyambut kedatanganku. “Sini nak, pakai katsaila-nya dulu,” ujarnya ramah sambil tersenyum. Di sudut hatiku, rasa hangat itu merayap lebih dalam, merasuki atmosfer Uma Sakukuret yang kental dengan nuansa spiritual.
Duduk di sebuah sudut yang nyaman, Baboy mulai memasang gelang janur enau di pergelangan tanganku. Sederhana, namun sarat makna. Baboy, dengan bahasa yang tulus, menjelaskan bahwa bunga sepatu yang kutemukan di halaman dan janur enau yang kini membelit pergelangan tanganku, adalah bagian dari katsaila. Seperangkat alat yang lazim digunakan sebagai perantara doa dalam punen, pesta adat yang tengah dilangsungkan.
Hari ini, Uma Sakukuret merayakan punen untuk memberkati liat uma, bangunan ekstensi yang menjulang di sebelah kanan bangunan utama. Ritual ini bukanlah semata tradisi, melainkan upaya memberikan keselamatan kepada keluarga dari berbagai malapetaka seperti penyakit, bencana, dan celaka. Mentawai, khususnya di bagian Siberut Selatan, masih memegang teguh kepercayaan pada Arat Sabulungan. Mereka meyakini bahwa segala makhluk hidup dan mati memiliki simagere, roh yang harus dijaga hubungannya untuk menghindari malapetaka.
“Kita harus menjaga keharmonisan dengan simagere, seperti kita menjaga hubungan dengan sesama manusia,” ujar Baboy lagi. Kewajiban ini membawa mereka pada tanggung jawab untuk menjaga keselarasan dengan alam. Oleh karena itu, punen menjadi sarana untuk menciptakan kesatuan spiritual yang menjembatani manusia dengan simagere.
Uma Sakukuret menganggap pohon-pohon yang mereka gunakan untuk membangun liat uma memiliki simagere. Mereka memberikan persembahan kepada simagere tersebut melalui ritual punen. Proses ini dilakukan dengan persembahan dedaunan tertentu dalam wadah lulak, sejenis piring kayu. Meskipun punen untuk memberkati liat uma termasuk dalam pesta kecil yang selesai dalam satu hari, namun nilainya sangat besar dalam melestarikan kehidupan spiritual dan tradisi mereka.
Saat Teteu Kolam, yang memimpin ritual punen, memilih dedaunan, terasa kesejukan hutan dalam setiap sentuhan daun yang diikat dengan janur enau. Dalam langkahnya, ia memberikan doa pada setiap ikatan dedaunan, memohon keselamatan dan keberkahan. Baboy dan peserta punen yang lain, termasuk aku dengan katsaila-ku, menjadi perantara dalam menerima doa-doa itu.
Katsaila menjadi jendela spiritual bagi kami. Melalui gelang janur enau yang kami kenakan, doa-doa Teteu Kolam terasa mengalir dalam kehangatan dan kelembutan. Doa-doa itu seperti irama yang menyatu dengan alam sekitar, meresapi setiap pori Uma Sakukuret.
Proses pemasangan dedaunan yang dilakukan oleh Teteu Kolam mengandung nilai kearifan lokal. Ia menyelipkan daun pertama pada atap depan uma besar sebelah kanan, sambil merapalkan doa. Selanjutnya, ia menyusuri permukaan liat uma, menyeka daun-daun seperti kemoceng pada tembok, pintu, jendela, dan seterusnya. Daun-daun itu menjadi perantara bagi doa-doa keselamatan yang disampaikan oleh Teteu Kolam, seakan menyelimuti Uma Sakukuret dengan energi positif.
Ayam dan babi, sebagai simbol kehidupan dan kesuburan, juga menjadi bagian penting dalam punen ini. Ayam dibacakan mantra dan diarahkan ke peserta punen sebelum disembelih. Proses pembunuhan ayam dilakukan dengan penuh penghormatan, sesuai dengan keyakinan bahwa setiap makhluk memiliki simagere yang perlu dihormati. Begitu pula dengan babi yang disembelih dengan menggunakan tombak.
Prosesi punen tidak berakhir hanya pada tahap pemberkatan. Daging ayam dan babi yang telah dibersihkan dan disiapkan dalam lulak kemudian diolah sesuai aturan adat. Kepala keluarga Uma Sakukuret berhak memimpin proses potongan dan pembagian daging. Dalam otcai, prinsip keadilan dan egaliter tercermin dalam pembagian daging yang proporsional.
Namun, di balik keharmonisan yang terpancar dari punen ini, ada kisah yang tidak terlupakan. Program pemukiman kembali yang diinisiasi pemerintah telah membawa perubahan signifikan dalam pola hidup masyarakat adat Mentawai. Dulu, mereka hidup dalam uma besar yang mencerminkan kesatuan sosial dan solidaritas. Namun, program tersebut membawa mereka pada pemukiman modern yang meruntuhkan struktur kehidupan tradisional mereka.
Pemukiman modern ini menghadirkan paradoks. Meskipun terpisah dalam struktur fisik, Uma Sakukuret dan masyarakat adat Mentawai tetap berhasil merawat kearifan lokal mereka. Mereka mampu memadukan tradisi lama dengan gaya hidup baru. Punen menjadi jembatan yang menghubungkan keduanya, mengingatkan mereka pada nilai-nilai kehidupan yang sejati. Sehingga, meskipun ruang bagi masyarakat adat semakin terkikis oleh modernisasi, Uma Sakukuret terus hidup dan melawan, mempertahankan identitasnya dalam harmoni spiritual dan kesadaran atas simagere.
*Artikel ini ditulis oleh: Diana Mayasari_Mahasiswa Magang Estungkara_FISIPOL UGM 2023