Perempuan adat di Desa Kaluppini tidak hanya memiliki peran penting dalam keluarga, namun juga penjaga tradisi dan budaya. Imam Kaluppini, salah satu pemangku adat yang telah lama berkecimpung dalam budaya masyarakat adat Kaluppini, sekaligus tokoh agama di Kaluppini dengan penuh rasa kagum menceritakan peran perempuan adat Kaluppini dalam kehidupan adat mereka. Dalam setiap kata yang ia ucapkan, terbersit rasa hormat yang mendalam terhadap perempuan adat Kaluppini.
“Ibu-ibu Kaluppini adalah perempuan-perempuan perkasa,” ujar Imam dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya. Bagi Imam, perempuan adat bukan hanya sosok yang berperan di balik dapur dan rumah tangga, tetapi juga sebagai tenaga yang tak kenal lelah di ladang dan bahkan dalam ritual adat.
“Mereka ikut berkebun, bekerja keras di ladang, tetapi mereka tetap menjalankan tugas-tugas mereka sebagai istri dan ibu di rumah. Bahkan saat ritual adat, mereka tidak pernah absen. Mereka benar-benar luar biasa,” lanjut Imam.
Peran Perempuan dalam Ritual Adat dan Tradisi Kaluppini
Salah satu hal yang menarik perhatian Imam adalah dominasi perempuan dalam ritual adat Kaluppini. Di saat masyarakat modern mulai mengabaikan peran perempuan dalam upacara adat, di Kaluppini justru sebaliknya.
“Jika kita berbicara tentang acara-acara ritual, baik itu pernikahan maupun upacara adat lainnya, saya perhatikan peran perempuan sangat dominan,” katanya. Dalam setiap ritual, perempuan selalu hadir lebih banyak daripada laki- laki. “Memang yang paling berperan dalam ritual-ritual itu adalah perempuan,” tambah Imam, seolah menegaskan bahwa tanpa perempuan, banyak acara adat tidak akan berjalan dengan sempurna.
Imam juga menceritakan betapa uniknya masyarakat adat Kaluppini dalam membagi peran antara laki-laki dan perempuan. Meski ada tugas yang jelas antara keduanya, perempuan sering kali lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan adat.
“Misalnya, di kampung-kampung tetangga, jika ada ritual atau acara adat, ibu-ibu yang datang. Laki-laki mungkin masih bekerja di ladang, tapi perempuan yang diutus untuk hadir mewakili keluarga,” jelasnya. Ini menggambarkan bahwa perempuan bukan hanya sebagai pengurus rumah tangga, tetapi juga sebagai garda terdepan dalam menjaga kelangsungan adat.
Di luar ritual adat, perempuan di Kaluppini juga memegang peranan penting dalam mengatur kehidupan ekonomi keluarga. Menurut Imam, perempuanlah yang memegang kendali atas pengelolaan uang dan hasil kerja keluarga. “Yang wajib memegang uang itu perempuan, bukan laki-laki,” ungkapnya dengan tegas.
Kepercayaan ini sudah menjadi bagian dari tradisi turun-temurun yang mengajarkan bahwa perempuan memiliki tanggung jawab besar dalam hal mengelola kebutuhan sehari-hari, termasuk menyimpan hasil pertanian dan makanan keluarga.
Salah satu contoh nyata dari pembagian tugas ini adalah dalam hal pengelolaan hasil berkebun. Imam menjelaskan bahwa dalam masyarakat Kaluppini, perempuan memegang peranan kunci dalam penyimpanan bahan makanan, seperti beras.
“Kalau soal pabbarassang (tempat penyimpanan beras) itu memang perempuan yang pegang,” katanya sambil menambahkan bahwa ini adalah pembagian tugas yang sudah terjaga sejak lama.
Selain itu, terdapat tradisi yang sangat erat dengan perempuan Kaluppini yakni menenun. Menurut Imam, menenun adalah pekerjaan yang dikhususkan untuk perempuan. “Menenun itu hanya boleh dilakukan perempuan, laki-laki yang mencoba menenun itu pamali, itu tabu,” ujarnya dengan tegas. Menenun bukan sekadar keterampilan, tetapi juga simbol penting dari hubungan perempuan dengan alam dan leluhur mereka.
Namun, Imam merasa prihatin karena tradisi menenun mulai punah, karena semakin sedikit generasi muda yang tertarik mempelajari keterampilan ini, dan kendala utamanya adalah keterbatasan alat dan tidak adanya bahan pokok, seperti kapas.
Keunikan lainnya adalah kemampuan perempuan adat Kaluppini yang jauh lebih multitasking (dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu) daripada laki-laki. Imam mengungkapkan dengan sedikit tawa bahwa sering kali perempuan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki, seperti berkebun atau bekerja di sawah.
“Perempuan di sini bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan laki-laki, tapi yang lucu, laki-laki kadang malas mengerjakan pekerjaan yang sudah menjadi tugas perempuan,” ungkapnya. Meski terdengar ringan, ada pesan yang mendalam dalam perkataan Imam tentang ketidakseimbangan peran yang masih terjadi antara laki-laki dan perempuan.
Meski demikian tetap ada kerjasama dalam ritual, khususnya aktivitas ritual yang melibatkan kerjasama keluarga. Ada pembagian peran untuk tiap individu dalam anggota keluarga, misalnya ibu-ibu ma’jujung beras (membawa beras), sementara laki-laki membawa kayu bakar, dan anak-anak mengambil daun jati. “Itu adalah kegiatan yang harus dikerjakan bersama-sama, saling melengkapi dan mengisi,” ujar Imam. Di sini, tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya, semua memiliki peran yang penting sebagai bagian dalam ritual.
Di Kaluppini, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki juga tercermin dalam ritual keagamaan. Dalam sholat Jum’at, misalnya, perempuan dan laki-laki beribadah bersama tanpa ada pembatas tirai. Mereka melaksanakan ibadah dengan rasa saling menghormati tanpa perbedaan. Tidak adanya tirai pembatas antara laki-laki dan perempuan adalah simbol bahwa perempuan di Kaluppini dihormati dan dipandang setara dengan laki- laki. Kesetaraan ini bukan hanya terjadi dalam ibadah, tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan adat dan budaya mereka.
Kisah yang disampaikan Imam membuka mata kita tentang pentingnya peran perempuan dalam menjaga kelestarian tradisi dan budaya Kaluppini. Meskipun dunia luar sering kali mengabaikan kontribusi perempuan dalam adat, di Kaluppini mereka tidak hanya dihormati, tetapi juga diakui sebagai pahlawan yang tak terlihat dalam kehidupan sehari-hari dan ritual adat. Mereka adalah pilar keluarga, penjaga budaya, dan penyambung warisan leluhur. Tanpa mereka, banyak tradisi dan nilai yang telah ada sejak lama akan sulit untuk bertahan.
Imam menutup pembicaraannya dengan kalimat yang menggugah, “perempuan- perempuan ini adalah pahlawan kita, mereka yang menjaga adat dan budaya kita tetap hidup.”
Dari cerita Imam tentang ruang-ruang perempuan dan kesetaraannya di komunitas adatnya, menunjukkan bahwa laki-laki sejatinya dan sudah seharusnya menjadi sekutu dan pendukung bagi perempuan, dan sebaliknya. Laki-laki juga memiliki peran penting dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Baik laki-laki atau perempuan punya peluang dan kesempatan yang sama untuk menyuarakan dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil bagi semua orang.
*Penulis adalah mahasiswa magang CRCS di Program Estungkara periode 2024