Kedaulatan pangan menjadi salah satu isu sentral yang terus diperdebatkan dalam berbagai lingkup, termasuk di ranah politik. Sebagai negara agraria dengan populasi besar, Indonesia dihadapkan pada tantangan yang kompleks dalam memastikan ketersediaan pangan bagi masyarakatnya. Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah proyek food estate. Kebijakan ini diinisiasi sebagai respons terhadap krisis pangan yang muncul selama pandemi COVID-19. Namun, proyek tersebut mendapat kritik karena dinilai belum mampu memberikan solusi yang konkret bagi masyarakat.
Proyek, yang digadang sebagai respons atas persoalan kedaulatan pangan, dianggap belum memberikan manfaat secara langsung bagi masyarakat. Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada tahun 2021, proyek food estate yang diusung oleh pemerintah memiliki persoalan seperti dari aspek hukum, partisipasi masyarakat, dan potensi untuk mengulangi kegagalan proyek swasembada pangan di era orde baru yang ada di Kalimantan. Selain Walhi, Greenpeace juga menjelaskan bahwa proyek ini justru menimbulkan konflik dengan masyarakat adat atau masyarakat lokal.
Namun terlepas dari pro-kontra akan kebijakan pemerintah berkaitan dengan pangan, pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah kebijakan tersebut dapat menjawab persoalan kedaulatan pangan dari masyarakat?. Pertanyaan ini penting diajukan karena dari segi jenis pangan dan praktik pemenuhan pangan di masyarakat Indonesia sangat beragam. Khususnya yang ada di masyarakat adat. Ahmad Arif dalam bukunya Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan, menunjukkan praktik dan jenis pangan yang beragam yang ada di masyarakat adat di Indonesia. Di beberapa masyarakat adat di Indonesia masih ada yang memenuhi kebutuhan pangannya dengan berburu, meramu, dan berladang. Demikian pula dengan jenis pangan yang mereka butuh.
Dalam beberapa kasus, kebijakan pangan sering kali mengabaikan konteks sosio-ekologis dan juga kebudayaan suatu masyarakat. Penyeragaman jenis pangan dan cara memenuhi kebutuhan pangan pada akhirnya menjadi persoalan, khususnya di masyarakat adat. Sebagai contoh, penyeragaman beras sebagai pangan utama dan juga pertanian sebagai model pada akhirnya membuat ketergantungan di beberapa masyarakat. Beberapa masyarakat yang tidak terbiasa dengan pola pertanian, ditambah lagi dengan kondisi lingkungan yang tidak mendukung dengan pola pertanian tersebut, pada akhirnya membuat masyarakat krisis pangan.
Pada konteks ini, kajian terhadap masyarakat adat, seperti masyarakat Talang Mamak di Provinsi Jambi, menjadi penting. Masyarakat adat sering kali memiliki praktik dan pengetahuan lokal yang relevan dalam pemenuhan kebutuhan pangan mereka. Sebagai contoh, kegiatan baumah yang dilakukan oleh masyarakat Talang Mamak menunjukkan adanya sistem yang terbukti bertahan lama dalam menjaga ketahanan pangan mereka.
Masyarakat adat Talang Mamak merupakan masyarakat yang sangat menggantungkan hidupnya dengan hutan dan alam. Mereka memanfaatkan hutan untuk keberlangsungan kehidupannya. Hubungan yang dibangun oleh masyarakat Talang Mamak dengan alam termanifestasi dalam berbagi macam kegiatan termasuk dalam hal adat-istiadat dan tradisi. Salah satunya yakni kegiatan tradisional bernama baumah.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, masyarakat Talang Mamak sendiri mulai mengalami beberapa persoalan berkaitan dengan hak kelola dan pemanfaatan hasil hutan. Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Mangara Silalahi yang berjudul Prospek Pemanfaatan Sumber Daya, Organisasi Sosial, dan Pola Hubungan Sosial Talang Mamak (1998) menjelaskan bahwa masyarakat Talang Mamak mendapat tekanan untuk mengakses wilayah kelola hutan mereka karena keberadaan PT Dalek Hutani Esa.
Pembatasan tersebut karena adanya kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Selain itu, dalam catatan Sukmareni dan Herma Yulis dalam 22 Tahun Warsi Bersama Masyarakat (2013) kebijakan HPH dan juga izin konsesi bagi perusahaan restorasi memicu konflik dengan masyarakat adat karena adanya pembatasan-pembatasan berkaitan dengan pengetahuan, akses, dan juga pemanfaatan hutan. Persoalan tersebut berkaitan erat dengan persoalan pangan yang dihadapi oleh masyarakat Talang Mamak.
Persoalan lain pun muncul ketika kegiatan tradisional seperti baumah dianggap sebagai ilegal atau merusak lingkungan oleh pihak luar. Dalam hal ini, penting untuk memahami paradigma dan pengetahuan lokal masyarakat adat, yang sering kali mengakar dalam keterhubungan antara manusia dan alam. Paradigma ini menekankan pentingnya memperlakukan alam sebagai subjek yang memiliki hubungan emosional dan spiritual dengan manusia.
Secara teknis, kegiatan baumah dilakukan dengan beberapa tahapan, seperti menebas (membersihkan belukar), menebang (untuk membuka lahan terbuka), dan membakar (untuk menghilangkan hama). Masyarakat Talang Mamak juga percaya jika dengan membakar kualitas tanah akan lebih subur. Alasan utama dari masyarakat Talang Mamak memilih membakar untuk proses membuka lahan adalah secara ekonomi lebih murah. Tentu, bagi orang-orang yang tidak terlibat langsung atau yang ada di luar Talang Mamak merasa kegiatan ini secara ekologi akan merusak.
Bukhori dan Mardan menjelaskan jika prosesi membuka lahan untuk baumah dilakukan tidak dengan sembarangan. Seperti misalnya proses membakar. Bukhori menjelaskan dahulu nenek moyang mereka sudah menggunakan metode ini. Belum pernah terjadi kebakaran hutan secara masif karena kegiatan baumah. Ada banyak aspek yang diperhatikan termasuk arah angin. Namun secara ritual, mereka percaya, jika proses baumah melibatkan leluhur, maka proses kegiatan tersebut dapat berlangsung tanpa merugikan manusia dan juga alam.
Padahal, dalam konteks masyarakat adat Talang Mamak, baumah bukan sekadar kegiatan ekonomi. Tetapi juga menjadi sarana untuk menjaga relasi dengan leluhur dan alam. Masyarakat Talang Mamak memperlakukan padi sebagai subjek yang hidup. Pun, proses baumah dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan kepercayaan akan dukungan leluhur.
Penelitian terhadap praktik baumah menunjukkan bahwa kegiatan ini tidak hanya menghasilkan beras, tetapi juga tanaman lain seperti singkong dan sayuran. Dengan demikian, baumah menjadi salah satu model inovatif dalam menjaga ketahanan pangan lokal yang patut untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
Masyarakat Talang Mamak mengaku bahwa dalam sekali panen, padi atau beras yang mereka tanam dapat bertahan 1-2 tahun untuk mereka konsumsi. Luar biasanya, beras yang dikonsumsi 1-2 tahun tersebut dihasilkan dari lahan yang kurang lebih hanya 1 hektar. Berbanding terbalik jika kita membandingkan bukaan lahan hutan untuk proyek food estate.
Secara paradigma, masyarakat Talang Mamak sebenarnya memiliki hal yang menarik berkenaan dengan tradisi baumah tersebut. Masyarakat Talang Mamak sendiri percaya jika padi yang mereka tanam adalah perempuan. Masyarakat memperlakukan padi dalam hubungan yang setara. Mereka percaya jika padi juga dapat merasa, layaknya manusia. Relasi tersebut dapat dipahami dalam kerangka relasi antar subjek dan saling terhubung.
Samsul Maarif dalam Indigenous Religion Paradigm: Re-interpreting Religious Practice of Indigeneous (2019) menjelaskan bahwa dalam praktik masyarakat adat yang berkaitan dengan alam, mereka membangun relasi inter-personal/inter-subjective. Dari relasi tersebut masyarakat adat membangun dan mempraktikkan religius mereka.
Gagasan dan paradigma tersebut sangat menekankan pada keterhubungan. Keterhubungan yang dimaksud adalah keterhubungan seluruh makhluk yang ada di muka bumi baik itu yang manusia ataupun non-manusia. Paradigma seperti itu sebenarnya cukup membantu untuk memahami bagaimana masyarakat adat menempatkan relasinya dengan makhluk lainnya, termasuk dalam hal ini padi (alam).
Signifikansi dari hubungan tersebut yang sering kali gagal dipahami oleh masyarakat luar. Beberapa praktik dari masyarakat adat pada akhirnya dianggap tidak ilmiah dan tidak patut untuk dipertahankan. Padahal kegiatan baumah menjadi penting untuk ditinjau ulang khususnya untuk menjawab persoalan pangan dan ekonomi masyarakat Talang Mamak. Pelarangan dan pembatasan yang sering kali dihadapi oleh masyarakat Talang Mamak pada akhirnya membuat mereka dilema. Melakukan baumah dan dianggap melawan aturan atau tidak melakukannya namun harus menghadapi kesulitan hingga krisis pangan.
Dari penjelasan di atas, penulis membangun kesimpulan bahwa pelarangan dan pembatasan terhadap praktik atau kegiatan adat dari masyarakat adat terhadap pemanfaatan alam sebenarnya bentuk kegagalan kita dalam memahami cara hidup mereka. Penting untuk memahami paradigma yang digunakan oleh masyarakat adat untuk menghargai hak mereka. Seperti yang dijelaskan oleh Aileen Moreton-Robinson dalam tulisannya relationality: a key presupposition of an Indigenous social research paradigm (2017), kunci untuk memahami masyarakat adat adalah relationality-interconnectedness (keterhubungan) dari seluruh makhluk.
Paradigma yang sebenarnya penting dan signifikan bagi alam maupun manusia itu sendiri. Implikasi dari paradigma tersebut adalah penghargaan terhadap alam dan membongkar relasi yang hierarki antara alam dan manusia.
Maka dari itu, dalam rangka membangun kebijakan yang inklusi dan berkelanjutan, penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk memahami dan menghargai pengetahuan serta praktik lokal masyarakat adat. Hal ini akan memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya efektif dalam menjawab tantangan pangan, tetapi juga berkelanjutan secara sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dengan demikian, kita dapat bergerak menuju kedaulatan pangan yang sejati, yang memperkuat kesejahteraan dan kedaulatan masyarakat secara keseluruhan.
*Artikel ini ditulis oleh: Miftha Khalil Muflih_CRCS UGM