Bangun Pemahaman Tentang KS Lewat Diskusi Kritis

Kamis, 11 Juli 2024, diadakan diskusi pendidikan kritis bagi perempuan Cina Benteng dengan tema “Membangun Pemahaman tentang Kekerasan.” Diskusi ini merupakan bagian dari Modul 3, Sesi 7, yang berfokus pada pengertian kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan, dan siklus kekerasan. Acara ini diikuti oleh 20 perempuan pengurus dan kader KWPS Lampion Merah Abadi. Diskusi dilakukan bertempat di rumah Ketua RW 01, Bapak Cuan Hoy, di Desa Belimbing.

Fasilitator diskusi adalah Bapak Yusti Ekoputro dan Ibu Octa Famelia dari PPSW Jakarta. Adapun tujuan dari diskusi ini adalah memahami pengertian kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan dan siklus kekerasan. Dengan memahami materi ini, diharapkan peserta dapat mengurangi atau menghindari segala bentuk ancaman kekerasan yang menimpa perempuan dan anak. Serta mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan terhadap korban kekerasan.

Pelatihan dibuka dengan mengajak para peserta berdiri melingkar. Fasilitator menjelaskan tujuan dan metode sesi diskusi dengan mengajak peserta bermain “Berhitung” untuk menghangatkan suasana. Dalam permainan ini, peserta dibagi menjadi dua baris. Fasilitator menunjuk satu peserta secara acak untuk menyebutkan angka secara berurutan dari 1 sampai 9. Sementara peserta yang mendapatkan angka 10 harus menyebutkan angka lain di bawah angka tersebut. Peserta yang terlambat atau salah menyebutkan angka diminta keluar dari barisan. Permainan diulang beberapa kali hingga terlihat barisan mana yang paling sedikit jumlahnya.

Fasilitator menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2023, Indonesia diterpa berbagai berita terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Komnas Perempuan mencatat dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 bahwa terdapat 401.975 kasus kekerasan sepanjang tahun tersebut. Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan merupakan masalah serius yang membutuhkan perhatian dan kontribusi dari semua pihak dalam upaya pencegahannya.

Kekerasan adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non-verbal, yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan cara memaksa, searah, dan tanpa tawar-menawar sehingga menimbulkan dampak negatif atau merugikan terhadap orang yang menjadi sasaran. Bentuk-bentuk kekerasan meliputi: kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Seperti memukul, menampar, menendang, mencubit, dicekik, atau disiram air panas.

Sedangkan untuk kekerasan berbasis mental adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat seperti intimidasi, ancaman, bullying, dan kata-kata kasar. Lalu, yang disebut dengan kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual melalui ancaman, intimidasi, atau cara lainnya yang tidak diinginkan oleh korban. Terakhir, ada juga penelantaran. Yakni, perbuatan melepaskan tanggung jawab terhadap anak dan keturunan secara ilegal, yang sering terjadi karena faktor ekonomi.

“Saya mengalami kekerasan sejak kecil, bapak saya sering marah dan suka main tangan sama ibu. Setelah punya suami, saya juga mengalami hal yang sama. Suami saya manis saat awal pernikahan, tetapi setelah anak pertama lahir, suami saya sering pulang malam dan bahkan tidak pulang ke rumah. Saya mencari uang sendiri untuk anak-anak.

Selama ini saya pasrah menerima kondisi. Sekarang saya tahu dan menyadari bahwa saya mengalami kekerasan. Saya sekarang berani menyampaikan ke suami untuk membantu saya berjualan kue saat saya ada pertemuan di koperasi. Suami sekarang mulai berubah dan membantu saya. Suami mulai menghargai saya dan mau mengantar anak ke sekolah. Setelah saya aktif di koperasi, saya mulai dipandang dan dihargai suami dan masyarakat.” ujar Lanny, salah satu peserta diskusi.

Kisah Ibu Lanny menunjukkan bahwa dengan dukungan dan pemahaman yang baik, korban kekerasan dapat mengambil langkah-langkah untuk mengubah situasi mereka dan mendapatkan penghargaan yang layak.

Penulis :

aldi agustyan