Anak-Anak SAD: Di Antara Harapan dan Keterbatasan

Di tengah kemajuan zaman yang terus bergerak cepat, ada suara-suara kecil yang seolah terabaikan. Suara-suara itu datang dari sekelompok anak-anak di tengah hutan Jambi, bagian dari komunitas Suku Anak Dalam (SAD). Mereka hidup dalam keterbatasan, jauh dari kemewahan dunia modern, tetapi berhak atas masa depan yang lebih baik. Sebuah pertanyaan besar muncul: bagaimana perayaan Hari Anak dapat menjadi jembatan untuk membantu mereka mendapatkan akses yang layak terhadap hak-hak tersebut?

Siang itu, sebuah mobil melaju perlahan memasuki pemukiman Suku Anak Dalam di Desa Pematang Kejumat, Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun. Mobil tersebut telah menempuh perjalanan sejauh dua ratus kilometer dari Kota Jambi. Melewati jalan-jalan yang terjal, berdebu, dan dikelilingi oleh perkebunan sawit. Sebuah perjalanan yang mungkin terdengar berat bagi sebagian orang, namun merupakan bagian dari rutinitas bagi tim Pundi Sumatra yang kerap mengunjungi komunitas-komunitas adat terpencil seperti SAD.

“Siang, Bapak Induk. Sayo Tari, bawak hadiah untuk anak-anak di sini. Yuk, kumpul di aula,” sapa seorang perempuan sambil turun dari mobil. Tari, seorang anggota Pundi Sumatra, datang membawa sesuatu yang spesial untuk anak-anak Suku Anak Dalam. Di tangannya ada paket hygiene kit yang disiapkan oleh tim Tumbuh Bahagia, yang terdiri dari handuk, perlengkapan mandi, dan selimut. Ada sembilan puluh paket yang akan dibagikan kepada anak-anak di empat desa dampingan Pundi Sumatra, tiga di Kabupaten Sarolangun dan satu di Kabupaten Bungo.

Sambil membagikan paket-paket tersebut, fasilitator Pundi Sumatra, Arief, menjelaskan, “Ini untuk anak-anaknyo, Bapak Induk, bukan untuk orang dewasa. Pastikan mereka pakai ini saat mandi biar lebih bersih.” Selain pemberian hygiene kit, ada juga sosialisasi mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), yang dipandu oleh mahasiswa magang dari Pundi Sumatra.

Kebersihan di komunitas adat SAD masih menjadi isu krusial. Stigma negatif kerap melekat pada mereka, dianggap tidak bersih dan tidak sehat oleh masyarakat sekitar. Pembagian hygiene kit menjadi salah satu upaya kecil namun penting untuk mengurangi stigma tersebut. Sekaligus mendukung praktik kebersihan yang lebih baik di komunitas.

Namun, tantangan terbesar yang dihadapi anak-anak SAD bukan sekadar soal kebersihan. Akses layanan kesehatan dan pendidikan juga menjadi hambatan utama yang menghalangi mereka untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka. Jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan dan rendahnya pengetahuan mengenai kesehatan membuat mereka rentan terhadap penyakit. Orang tua di komunitas SAD cenderung lebih mempercayai pengobatan tradisional dibandingkan layanan kesehatan modern, yang meskipun bermanfaat dalam beberapa hal, sering kali tidak efektif dalam menangani penyakit menular atau kronis.

Ketergantungan pada dukun dan pengobatan herbal juga menjadi masalah. Meskipun tumbuhan seperti daun gambir dan belimbing memiliki manfaat sebagai obat tradisional, tidak adanya interaksi dengan fasilitas kesehatan modern membuat anak-anak SAD tidak mendapatkan penanganan medis yang lebih efektif, terutama dalam hal pencegahan penyakit melalui vaksinasi.

Di sisi lain, akses pendidikan bagi anak-anak SAD juga terhambat oleh pola hidup komunitas yang berfokus pada alam. Banyak anak-anak yang lebih sering terlibat dalam kegiatan berburu, mencari hasil hutan, atau berladang bersama orang tua mereka daripada bersekolah. Hal ini menyebabkan mereka tertinggal dalam pendidikan formal, kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang akan bermanfaat bagi masa depan mereka.

Di tengah keterbatasan, anak-anak SAD tumbuh dengan makanan yang diperoleh dari hutan dan sungai di sekitar mereka. Dahulu, sumber pangan ini melimpah, berupa umbi-umbian, buah-buahan hutan, dan ikan dari sungai. Namun, dengan semakin maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan aktivitas pertanian komersial, sumber-sumber pangan ini mulai menghilang. Keberadaan hutan yang semakin menyusut dan sungai yang tercemar membuat komunitas SAD semakin sulit mendapatkan makanan yang kaya nutrisi.

Hilangnya sumber pangan lokal tidak hanya mengurangi asupan makanan mereka, tetapi juga mengancam kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Sumber pangan lokal SAD merupakan bagian dari identitas budaya mereka, yang mencerminkan kemandirian dan keterhubungan mereka dengan alam. Ketika sumber tersebut menghilang, anak-anak SAD tidak hanya kehilangan akses terhadap makanan, tetapi juga hilangnya bagian dari warisan budaya mereka.

Namun, harapan untuk masa depan anak-anak SAD belumlah sirna. Pundi Sumatra, bersama dengan pemerintah daerah dan lembaga lainnya, terus berupaya mendorong perubahan positif bagi mereka. Di Kabupaten Bungo, misalnya, sebuah kelompok posyandu khusus dibentuk dengan nama Aoh Bergesih. Posyandu ini tidak hanya memberikan layanan kesehatan dasar seperti pemeriksaan rutin, tetapi juga menyediakan bilik pengobatan tradisional dan konseling psikologis untuk perempuan.

“Pembentukan posyandu ini bertujuan untuk mengintegrasikan kearifan lokal dalam praktik kesehatan mereka, sekaligus meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan,” kata Dewi Yunita, CEO Pundi Sumatra. Dengan pendekatan ini, anak-anak SAD mendapatkan layanan kesehatan yang lebih baik tanpa harus mengorbankan identitas budaya mereka.

Anak-anak SAD adalah harapan bagi keberlanjutan komunitas adat ini. Mereka memiliki potensi besar untuk membawa perubahan bagi komunitas mereka, asalkan hak-hak dasar mereka terpenuhi, mulai dari akses kesehatan, pendidikan, hingga pangan yang layak. Upaya pemberdayaan seperti yang dilakukan Pundi Sumatra bukan bertujuan untuk menghapus tradisi adat, tetapi justru memperkuatnya dengan mengintegrasikan nilai-nilai lokal dalam program-program kesehatan dan pendidikan.

Di tengah keterbatasan, anak-anak SAD tetap berhak atas masa depan yang lebih baik. Mereka adalah generasi penerus yang akan menjaga warisan budaya dan alam yang kaya di Jambi. Dengan dukungan yang tepat, mereka dapat tumbuh menjadi individu yang sehat, cerdas, dan mampu beradaptasi dengan dunia modern tanpa melupakan akar budaya mereka.

Penulis :

PUNDI SUMATRA