Albertina: Perempuan Pejuang dari Komunitas Adat Mentawai

“Apa yang kami perjuangkan saat ini adalah untuk kepentingan anak-anak kami. Agar ada kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang,” ungkap Albertina Nurbay Satoinong. Beliau yang lebih dikenal sebagai Ibu Nurbay, seorang perempuan pejuang dari komunitas Masyarakat Adat Mentawai. Di usianya yang kini menginjak 58 tahun, Ibu Nurbay tetap gigih berjuang demi kesejahteraan dan masa depan anak cucunya.

Di sebuah rumah kayu sederhana beratap rumbia di Dusun Puro, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Ibu Nurbay menjalani kehidupannya. Sejak suaminya meninggal tiga tahun yang lalu, ia harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan lima orang anak yang sudah menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing, Ibu Nurbay mengurus segala kebutuhan hidupnya seorang diri.

“Jam lima pagi biasanya saya sudah bangun, mencuci baju, dan mempersiapkan sarapan. Lalu mencari kayu bakar dan bambu untuk memasak sagu sebagai persiapan makan siang. Sore harinya, saya mencari lokan, dan di waktu santai, saya membuat kerajinan manik-manik,” cerita Ibu Nurbay tentang aktivitas sehari-harinya. Meskipun hidup dalam keterbatasan, Ibu Nurbay sangat mandiri dan tidak ingin menyusahkan orang lain.

Dalam situasi tertentu, jika membutuhkan bantuan, ia lebih memilih memberikan imbalan jasa kepada orang yang membantunya. “Pekerjaan paling berat yang saya lakukan adalah mengganti atap rumah yang sudah mulai bocor. Saya terpaksa harus membeli atap dan membayar upah kepada orang yang memasangnya,” tambahnya.

Untuk mendapatkan uang guna membeli kebutuhan yang tidak bisa diproduksi sendiri seperti sabun dan perlengkapan dapur, Ibu Nurbay mencari lokan di sungai untuk dijual kembali kepada warga sekitar. Dari hasil penjualan lokan, ia mampu membiayai pendidikan dua anaknya hingga tingkat perguruan tinggi. Namun, kemampuan mencari lokan tidak lagi sama seperti dahulu. “Dulu saya bisa menyelam ke sungai hingga kedalaman 5-6 meter. Karena biasanya di kedalaman itu jarang ada orang yang bisa menyelam sehingga lokan banyak di situ,” kenang Ibu Nurbay.

Namun, sejak telinganya berdarah dan ia muntah darah akibat menyelam terlalu dalam dengan beban lokan yang berat, Ibu Nurbay memutuskan untuk tidak lagi menyelam di sungai yang dalam. Kini, ia hanya mencari lokan di sekitar sungai yang dangkal, sehingga hasilnya tidak sebanyak dulu. “Makanya anak saya yang nomor tiga sampai lima hanya bisa saya biayai sampai SMA saja,” jelasnya.

Selain mencari lokan, Ibu Nurbay juga memiliki kebun pisang yang menumpang di tanah orang lain. Perempuan adat di Mentawai tidak memiliki hak kepemilikan atas tanah adat. Jika mereka masih bersuami, tanah yang dikelola adalah milik suami. Namun, jika tidak lagi memiliki suami karena meninggal atau bercerai, tanah tersebut akan diambil alih oleh keluarga suami.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal, Ibu Nurbay merintis usaha kerajinan pembuatan manik-manik. Dalam tradisi masyarakat adat Mentawai, manik-manik merupakan aksesori wajib dalam kegiatan pesta adat. Awalnya, manik-manik yang dibuat oleh Ibu Nurbay hanya untuk kepentingan sendiri dan anak-anaknya. Namun, melihat hasil karya yang menarik, masyarakat mulai menukar atau membeli manik-maniknya. Dari penjualan ini, Ibu Nurbay bisa menyimpan uang untuk persiapan beli obat jika sakit. Terutama karena rematik yang sering ia derita.

Kedatangan turis ke Pulau Siberut menjadi keuntungan tersendiri bagi Ibu Nurbay. Turis sering membeli manik-manik sebagai oleh-oleh, terutama sejak Desa Muntei ditetapkan sebagai destinasi wisata budaya. Melihat keuntungan yang didapat oleh Ibu Nurbay, sebagian warga mulai meniru usaha pembuatan manik-manik untuk dijual.

Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) adalah lembaga yang berfokus pada perjuangan hak-hak masyarakat adat. Sejak tahun 2022, YCMM bekerja di Desa Malancan, Desa Nem-nem Leleu, dan Desa Muntei dengan fokus pada kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial. Terutama dalam isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta pemenuhan hak atas layanan dasar masyarakat adat Mentawai.

YCMM memfasilitasi agar perempuan adat dan kelompok marjinal lainnya menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan. Ibu Nurbay bersama kelompok usahanya pernah menyampaikan usulan-usulan kepada pemerintah dalam forum Musrenbang desa, namun sering kali usulan tersebut tidak terakomodasi. “Kami pernah mengusulkan mesin jahit untuk kelompok ibu-ibu. Mesin jahit itu sudah datang namun tidak kunjung diserahkan dengan alasan kami tidak memiliki tempat usaha yang jelas,” ungkapnya.

Ibu Nurbay menjadi salah satu utusan komunitas perempuan di dusunnya yang selalu menghadiri kegiatan YCMM, mulai dari diskusi reguler hingga diskusi tentang kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Meski di usia yang tidak lagi muda dan beban hidup yang harus ditanggungnya sendiri, semangat Ibu Nurbay untuk memperjuangkan kesetaraan gender di komunitasnya tidak pernah surut.

Bagi Evi Julianna Sakulok (39 tahun), Ibu Nurbay adalah sosok yang selalu terbuka untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman. Evi merasa bahwa Ibu Nurbay memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin bagi kelompok perempuan di komunitasnya. “Beliau orang yang selalu aktif menyuarakan hak-hak perempuan dalam setiap forum yang diikuti. Bagi saya, beliau seperti seorang ibu kandung. Jika ada beliau di samping saya, saya merasa lebih percaya diri,” ujar Evi sambil tersenyum.

Ibu Nurbay mengungkapkan bahwa kehadiran YCMM di Desa Muntei sangat dirasakan manfaatnya. “Secara pribadi, saya mendapatkan pengetahuan baru, dan bagi komunitas perempuan adat ini sangat positif, karena YCMM adalah satu-satunya lembaga yang peduli dengan hak-hak perempuan adat di Mentawai,” jelasnya. Kehadiran YCMM membuat perempuan adat mulai mendapatkan ruang untuk berpartisipasi dalam forum-forum resmi di tingkat desa.

Ketika ditanya tentang harapannya di masa depan, Ibu Nurbay berharap agar generasi mendatang tidak lagi mengalami diskriminasi seperti yang dialami perempuan adat Mentawai selama ini. Ia juga berharap agar perempuan tidak lagi menjadi korban tindak kekerasan. “Apa yang kami perjuangkan saat ini adalah untuk kepentingan anak-anak kami, agar ada kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang,” tuturnya.

Salah satu kerisauan beliau adalah tingginya angka pernikahan di bawah umur dalam komunitas masyarakat adat. Ia berharap ada kebijakan dari pemerintah yang mengatur batasan usia menikah bagi perempuan adat di wilayah Desa Muntei dan Kabupaten Kepulauan Mentawai secara keseluruhan.

Albertina Nurbay Satoinong, seorang perempuan pejuang dari komunitas Masyarakat Adat Mentawai, tetap teguh berjuang demi kesejahteraan komunitasnya dan masa depan anak cucunya. Meski hidup dalam keterbatasan, semangat dan ketekunannya menjadi inspirasi bagi banyak orang di sekitarnya.

Penulis :

Indra Gunawan