Proyek Strategi Nasional Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo atau PSN Waduk Lambo merupakan proyek yang sudah lama direncanakan. Wacana pembangunan ini sudah hadir sejak 24 tahun yang lalu dengan nama Waduk Mbai. Namun isu ini menghilang karena masyarakat adat menolak kehadiran pembangunan tersebut. Proyek ini baru benar-benar dibangun pada tahun 2022 di era Presiden Joko Widodo. Pembangunan Waduk Lambo diwacanakan bertujuan untuk penyediaan kebutuhan air baku, irigasi, pengendalian banjir, dan tempat pariwisata.
Kehadiran PSN Waduk Lambo menyebabkan hilangnya 499,44 hektar tanah milik masyarakat adat di tiga komunitas, yaitu Rendu, Ndora, dan Lambo. Ruang hidup di wilayah adat, seperti lahan pertanian, padang penggembalaan, pemukiman warga, sungai, dan hutan, dirampas untuk pembangunan waduk berskala besar ini.
Masyarakat adat juga kehilangan beragam tanaman komoditas seperti kemiri, kelapa, mete, kakao, kopi, dan vanili yang berfungsi sebagai sumber pendapatan tunai. Selain itu, tanaman subsisten seperti buah-buahan, kelapa, pinang, ragam jenis ubi, sayuran, dan tanaman obat tradisional yang menopang keberlanjutan hidup juga hilang. Tempat ritual serta kuburan leluhur pun turut lenyap.
Kompensasi yang diberikan oleh pemerintah hanya berupa hak ganti rugi, itupun belum semuanya terealisasi. Hak-hak lain seperti hak relokasi dan hak rekonsiliasi tidak ditangani secara serius oleh pemerintah. Kekhawatiran akan kehidupan selanjutnya bagi generasi penerus serta keinginan yang kuat untuk menjaga nilai-nilai kekeluargaan dan persaudaraan mendorong masyarakat adat Rendu (Dusun Malapoma), Desa Rendu Butowe, memperjuangkan hak relokasi kepada pemerintah desa. Jumlah jiwa yang terdampak di desa ini mencapai 389 orang, terdiri dari 189 laki-laki dan 200 perempuan.
Atas aspirasi masyarakat adat, pemerintah desa memfasilitasi pembentukan Panitia Relokasi pada Desember 2022. Melalui forum musyawarah desa, disepakati tempat relokasi di Bo’a Dona. Seiring berjalannya waktu, dinamika terus terjadi di komunitas, baik dari internal maupun eksternal. Situasi ini menimbulkan berbagai persoalan, seperti pengklaiman atas tanah ulayat dan lahan garapan masyarakat. Hal ini berdampak pada proses relokasi yang sudah direncanakan dan disepakati dalam forum musyawarah desa. Panitia relokasi yang ditugaskan untuk memastikan kerja-kerja relokasi akhirnya putus asa dan vakum.
Perempuan adat di Rendu yang tergabung dalam Pengurus Harian Komunitas PEREMPUAN AMAN Pejuang Tanah Rendu (PHKom Petar) menyadari bahwa mereka berasal dari leluhur yang sama. Sehingga rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang terjalin selama ini tidak bisa terjadi lagi jika mereka harus relokasi ke tempat yang berbeda-beda. Perjuangan demi perjuangan pun dilakukan untuk menuntut hak sebagai masyarakat terdampak akibat pembangunan Waduk Lambo. Pada awal tahun 2023, perjuangan perempuan adat hadir untuk memastikan hak-hak masyarakat adat. Baik itu lahan garapan maupun aset-aset yang ada di dalamnya.
Pada Maret 2023, dalam Focus Group Discussion (FGD), Mama Martina Ngoe menegaskan bahwa pemerintah hanya menghitung tanaman yang ada saat ini. Tapi tidak memperhitungkan usia produktif tanaman. “Kalau kami masih di sini, kami bisa terus menerus panen setiap tahunnya. Banyak tanaman yang tidak dihitung,” tegasnya. Pada bulan Mei, perempuan adat kembali melakukan aksi dengan menjadi inisiator penyelenggaraan FGD. Diskusi ini melibatkan pemerintah desa dan seluruh masyarakat terdampak untuk memaparkan data hasil survei aset-aset masyarakat terdampak dan pemetaan spasial.
Perjuangan perempuan adat kemudian berlanjut ketika melihat kevakuman panitia relokasi. Pada September 2023, pengurus PHKom Petar melakukan penjajakan ke panitia relokasi, pemerintah desa, pengurus BPD, ketua forum penolakan, tokoh adat, dan tokoh masyarakat untuk membicarakan kelanjutan perencanaan relokasi. “Bicara soal relokasi sebenarnya sudah masuk dalam program desa yaitu pengembangan pemukiman Rendu Butowe dan sudah terbentuk kepanitiaannya. Sehingga urusan relokasi seharusnya panitia punya tanggung jawab penuh. Sayangnya, saat ini terjadi pengklaiman di sana sini. Sehingga sampai hari ini belum ada kerja lanjutan dari panitia,” jelas Bapak Bernadinus Gaso, ketua forum penolakan.
Melalui diskusi, dialog, dan lobi yang dilakukan secara intens, perempuan adat Rendu berhasil mendorong dan mendesak pemerintah desa serta panitia relokasi untuk kembali bekerja. Upaya yang dilakukan perempuan adat akhirnya membuahkan hasil. Pada tanggal 2 Oktober 2023, panitia relokasi dan pemerintah desa melaksanakan pertemuan internal untuk melanjutkan kerja kepanitiaan. Pada tanggal 9-10 Oktober 2023, panitia relokasi bersama pemerintah desa dan ketua RT di Dusun Malapoma melakukan pengukuran ulang sesuai dengan hasil kesepakatan pada pertemuan internal sebelumnya.
Tidak berhenti di situ, desakan yang dilakukan oleh perempuan adat akhirnya berwujud pada pembagian kapling untuk masyarakat terdampak. Pada tanggal 25 Januari 2024, masyarakat adat Rendu, terutama masyarakat adat yang terdampak langsung pembangunan Waduk Lambo, melakukan musyawarah yang difasilitasi oleh pemerintah desa dan panitia relokasi. Musyawarah tersebut bertujuan untuk memastikan kepala keluarga (KK) yang akan direlokasi dan teknis pembagian kapling kepada masing-masing kepala keluarga.
Sebelumnya, telah dilakukan pengukuran dan penomoran. Dari kesepakatan bersama, teknis pembagian kapling adalah dengan cara menarik undian. Total kepala keluarga yang diakomodir ke lokasi relokasi sebanyak 111 KK dengan luas masing-masing kapling 800 m2.
Pemerintah desa dan panitia relokasi menyadari bahwa lanskap Bo’a Dona adalah bentangan yang sebagian berbukit dan curam. Oleh karena itu, diperlukan proses pembersihan dan penimbunan serta pemerataan pada area-area tertentu dengan menggunakan alat berat. Pemerintah desa kemudian berupaya membangun komunikasi dengan beberapa pihak, termasuk pihak PT yang mengelola Waduk Lambo.
Namun, dalam membangun kerja sama ini diperlukan master plan tata ruang lokasi Bo’a Dona. “Terkait proposal yang akan diajukan ke BWS, kami mengalami kesulitan karena kami tidak memiliki master plan (tata ruang) lokasi relokasi. Sehingga sampai hari ini belum dapat menindaklanjuti proposal tersebut ke BWS,” keluh Felix Mala, Sekretaris Desa Rendu Butowe.
Melihat kebutuhan tersebut, PEREMPUAN AMAN berkolaborasi dengan pemerintah desa untuk menyusun master plan tata ruang. Juga membicarakan keberlangsungan hidup masyarakat terdampak pasca pembangunan Waduk Lambo dalam suatu ruang temu bersama. Ruang temu itu bernama Workshop Penyusunan Rencana Kehidupan Pasca Relokasi. Kegiatan workshop tersebut melibatkan pemerintah desa, panitia relokasi, perempuan adat, tokoh masyarakat, anak muda, dan tim dari Sekretariat Nasional PEREMPUAN AMAN.
Perempuan adat dalam workshop penyusunan rencana kehidupan pasca relokasi menyampaikan kebutuhannya di lokasi baru. Mama Rosiana Wonga, ketua PHKom Petar, menegaskan bahwa sebelum membangun infrastruktur lain, perlu dilakukan pembersihan lahan. Hal ini dikarenakan kontur tanah yang berbukit dan tidak rata. “Kami juga membutuhkan rumah tenun karena ke depannya kami sudah tidak bisa bertani lagi karena lahan kami sudah dirampas,” tegasnya dengan mimik serius.
Saat ini, sudah lima rumah yang dibangun secara mandiri di lokasi Bo’a Dona. Menurut Bapak Wilibrodus, ketua BPD Rendu Butowe, angka ini akan terus bertambah karena saat ini BPN sudah menyurati pemerintah desa untuk kedua kalinya agar masyarakat segera mengosongkan lokasi. Sementara itu, Kepala Desa Rendu Butowe mengajak masyarakat untuk berpikir bersama mempersiapkan kebutuhan jangka panjang dan kesejahteraan bersama ketika berada di tempat pemukiman relokasi. Kepala desa mengharapkan agar masyarakat fokus pada agenda yang disiapkan dan tidak membias ke hal-hal lain yang memicu terjadinya konflik yang menghambat proses relokasi.