Sanggar Uma Jaraik Sikerei, sebuah tempat di mana perempuan mendapatkan waktu dan ruang untuk memajukan budaya secara inklusi. Muncul sebagai tonggak penting dalam pelestarian dan pengembangan kearifan lokal di Mentawai. Sejak tahun 2006, sanggar ini tidak hanya diilhami oleh Yosep Sagari sebagai ketua sanggar. Tetapi juga oleh tetuah yang melestarikan budaya.
Perjalanan panjang dimulai dengan partisipasi sanggar bersama seniman pada tahun 2006. Lalu, tahun 2010, menjadi sebuah komunitas resmi di Mentawai. Seiring berjalannya waktu, sanggar terus berkomitmen pada pelestarian budaya. Tahun 2015, mendapatkan amanah untuk lebih eksis dalam pelestarian kebudayaan. Langkah selanjutnya adalah mendapatkan bantuan hukum pada tahun yang sama dan resmi diakui secara nasional dan internasional pada tahun 2016.
158 kegiatan yang diikuti hingga tahun 2021, sanggar ini membuktikan keberhasilannya. Dengan dipercayakan untuk mengisi festival kebudayaan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada. Namun, sanggar menghadapi tantangan nyata dalam menghadapi perkembangan teknologi yang dapat mengancam pelestarian kearifan lokal.
Sebelumnya, perempuan dalam kebudayaan Mentawai jarang tampil karena norma yang mengucilkan peran mereka. Namun, Sanggar Uma Jaraik Sikerei berusaha merubah paradigma ini. “Mereka menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam tradisi Sikerei. Terutama dalam pertunjukan tari yang memiliki fungsi ritual dan keseharian,” jelas Yosep Sagari.
Pentingnya peran perempuan dalam manajemen kebutuhan keluarga menjadi fokus sanggar. Sanggar Uma Jaraik Sikerei membuktikan bahwa perempuan mampu bersaing dengan laki-laki tanpa kehilangan identitas mereka. Mereka berhasil memperlihatkan bahwa perempuan dapat berkolaborasi dalam pertunjukan tari Sikerei dengan penuh semangat dan keindahan yang luar biasa.
Diskusi di sanggar tidak pernah meninggalkan pentingnya menghilangkan pengucilan terhadap peran perempuan. Sanggar memberikan ruang bagi perempuan untuk menunjukkan kemampuan mereka. Seperti menangkap ikan di sungai, memasak, dan menggunakan alat tradisional. Mereka juga berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan di tingkat lokal.
Pentingnya memberikan pendidikan gratis dan pendekatan yang inklusi diakui oleh sanggar. Mereka memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk belajar dan bermain sesuai dengan minat dan ide mereka sendiri. Dengan demikian, sanggar menciptakan lingkungan di mana anak-anak dapat mengembangkan diri tanpa rasa kaku.
“Sanggar Uma Jaraik Sikerei juga aktif melibatkan anak-anak disabilitas, memberikan mereka ruang untuk mengekspresikan bakat mereka. Sanggar percaya pada inklusi, bahwa semua individu, memiliki hak yang sama dan peluang yang setara,” tegasnya.
Meskipun tradisi Mentawai sangat memegang teguh budaya dan adat, sanggar ini tetap berusaha agar pemerintah memberikan ruang bagi semua masyarakat. Mereka tidak hanya berjuang untuk pelestarian budaya, tetapi juga untuk menciptakan kesempatan dan ruang yang setara bagi semua, tanpa terkecuali.
Dengan tekad dan keyakinan bahwa masyarakat adat, memiliki bakat dan potensi yang sama. Sanggar Uma Jaraik Sikerei menjadi bukti bahwa pelestarian kearifan lokal dapat diwujudkan dengan memberikan ruang bagi semua elemen masyarakat.
Dari cerita Yosep Sagari tentang bagaimana perjuangannya dalam mewujudkan inklusi di tengah pelestarian budaya melalui sanggar, kita dapat mengambil banyak pelajaran tentunya. Dimana memberikan penyadaran inklusi melalui pelestarian budaya melalui sanggar memiliki dampak positif yang mendalam pada masyarakat.
Salah satunya adalah inklusi memastikan bahwa berbagai kelompok dalam masyarakat memiliki peran dan suara yang diakui dalam pelestarian budaya. Ini membantu mewakili keanekaragaman kultural yang sebenarnya, sehingga semua anggota masyarakat merasa dihargai dan diakui.
Lalu, dapat membantu mengurangi ketimpangan sosial dan gender. Dengan memberikan ruang kepada semua anggota masyarakat, sanggar menciptakan lingkungan di mana setiap individu memiliki peluang yang setara.
Tidak hanya itu, sanggar sebagai pusat pelestarian budaya dapat menjadi arena pendidikan holistik. Semua anak-anak, termasuk yang berkebutuhan khusus, dapat belajar tentang kearifan lokal dan memahami peran mereka dalam masyarakat.
Dan tentu saja, inklusi melalui sanggar dapat menjadi sarana untuk mengubah pandangan dan memberdayakan perempuan. Ini menciptakan lingkungan di mana perempuan dapat bersaing secara setara dengan laki-laki tanpa kehilangan identitas mereka.
Sanggar juga dapat menciptakan ruang di mana tradisi dan modernitas dapat berdampingan. Dengan memberikan ruang untuk berbagai bakat dan ide, sanggar membuktikan bahwa masyarakat adat juga memiliki potensi untuk berkontribusi pada perkembangan budaya modern.
Juga dapat menjadi contoh bagi pemerintah dalam mendorong kebijakan inklusi. Melalui pengalaman sanggar, pemerintah dapat menyadari pentingnya memberikan ruang dan peluang yang sama bagi semua elemen masyarakat.
Nilai inklusi melalui sanggar juga mengajarkan masyarakat untuk menghargai keberagaman kemampuan. Ini bukan hanya tentang fisik, tetapi juga tentang keberagaman bakat dan potensi yang dimiliki oleh setiap individu.
Membuat upaya pelestarian budaya lebih relevan. Semua anggota masyarakat, termasuk mereka yang mungkin dianggap minoritas, memiliki tanggung jawab dan hak untuk ikut serta dalam melestarikan kearifan lokal.
Terakhir, sanggar memberikan peluang bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan minat dan potensi mereka. Ini membantu menciptakan generasi yang terlibat, kreatif, dan peduli terhadap warisan budaya mereka.
Dengan demikian, sanggar sebagai pusat pelestarian budaya tidak hanya menjadi wadah untuk melestarikan warisan leluhur. Tetapi juga menjadi katalisator penting dalam menciptakan masyarakat yang inklusi, adil, dan berkeadilan.