“ekofeminisme tidak serta merta memperjuangkan pembebasan perempuan dan alam saja. Tetapi perampasan ruang hidup, flora dan fauna, kearifan lokal, masyarakat adat dan kelas sosial lainnya juga turut di dalamnya.” – Greta Gaard –
Dalam dekade akhir ini, kita bisa melihat bagaimana kegiatan industri serta kebijakan-kebijakan yang ada, semakin masif merampas ruang hidup. Kekerasan terhadap kelompok masyarakat adat serta kerusakan lingkungan yang semakin ugal-ugalan. Tak heran, menuai banyak aksi protes dari berbagai kalangan. Aksi dengan segala cara dilakukan agar penyelamatan lingkungan dan kelompok yang terkena dampaknya dilindungi hak-haknya.
Namun, apa yang menarik dari setiap aksi yang kita lihat? Ya, keterlibatan perempuan dalam gerakan perjuangan penyelamatan lingkungan yang semakin besar. Tidak hanya perempuan yang hidup di kota, bahkan mereka yang hidup di desa– perempuan adat–yang bersinggungan langsung dengan konflik. Menjadi menarik, di tengah masih menguatnya budaya patriarki, perempuan justru semakin unjuk gigi. Meyakini bahwa perempuan menjadi kelompok paling rentan serta mendapatkan kekerasan berlapis jika alam dan lingkungan rusak.
Bayangkan, jika komoditas hilang, hutan gundul, sungai tercemar dan udara kotor. Perempuan akan mengalami penyakit akibat senyawa kimia dan sumber perekonomian pun akan hilang–jika ini terjadi, perempuan tidak bisa menghasilkan pendapatan untuk biaya hidup dan keluarga. Juga, hilangnya sumber mata air untuk minum, mandi dan kegiatan pertanian lainnya. Tentu ini dampak struktural, bukan?
Perempuan yang belum menyeluruh diberikan ruang untuk pengambilan keputusan, dianggap tidak mampu menjadi garda terdepan dalam penyelamatan lingkungan. Dianggap sebagai objek kedua, justru dampaknya sangat besar terasa. Ini diperkuat dalam jurnal perempuan yang berjudul “ekofeminisme sebagai solusi pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan hidup yang lebih baik.” Dalam jurnal tersebut dikatakan, selama perempuan memperjuangkan hak tata kelola lingkungan hidup, sebenarnya perempuan sudah berpartisipasi dan membantu secara aktif. Namun karena diskriminasi adat dan pemikiran patriarki masyarakat, maka perempuan belum mendapatkan haknya secara penuh. Diskriminasi tersebut masih terjadi walaupun komunitas yang diperjuangkannya sudah mendapatkan hak mereka untuk mengelola lingkungan hidup dan alam.
Perempuan yang seharusnya dapat membantu mengelola sumber daya alam dengan lebih baik, jarang sekali mendapatkan kesempatan yang setara dengan laki-laki. Salah satu sebabnya adalah politik ibuisme di era orde baru yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang kedua di dalam rumah. Jika sudut pandang mereka diperhitungkan, maka paradigma feminisme dan environmentalisme mampu menunjukkan bahwa eksploitasi alam adalah konsekuensi dari pemikiran yang patriarki. Selain itu, lensa ekofeminisme juga sarat akan perjuangan dan perlawanan akan ke-tubuhan tanah air kita. Sehingga pelibatan perempuan dan implikasi ekofeminisme sangat penting untuk mengelola dan menjaga lingkungan hidup dan alam.
Lalu, apa yang seharusnya diperjuangkan ekofeminisme?
Greta Gaard, seorang ekofeminisme dari Amerika mengatakan, gerakan ekofeminisme merupakan salah satu cabang teori feminisme, bagian dari etika dan politik lingkungan hidup. Perjuangan ekofeminisme diwujudkan melalui gerakan yang menghubungkan gender, spesies, keadilan lingkungan, demokrasi air dan pangan, pengakuan masyarakat adat dan swasembada lokal. Dengan banyaknya identitas serta keragaman manusia, kaum ekofeminisme mempunyai komitmen politik. Di mana mustahil melakukan penyelamatan lingkungan hidup, tanpa memperjuangkan kelas sosial lainnya.
Isu-isu yang biasanya diorganisir oleh perempuan, khususnya perempuan adat—kesehatan lingkungan, tanah adat, mata pencaharian, ekonomi mandiri dan kearifan lokal—telah dipinggirkan dalam perbincangan. Menganggap permasalahan lingkungan sebagai masalah ilmiah, yang memerlukan solusi teknologi. Tanpa disadari secara signifikan mengubah ideologi dan ekonomi dominasi, eksploitasi, dan diskriminasi. Analisis ekofeminisme mempunyai posisi yang baik untuk mengatasi hal ini dan kesenjangan struktural lainnya dalam konteks penyelamatan lingkungan.
Laiknya pedang bermata dua, gerakan ekofeminsme harus bisa mengevaluasi gerakan penyelamatan lingkungan; alih-alih mewujudkan tatanan hidup masyarakat yang adil dan berkelanjutan, kalau masih saja meminggirkan komunitas yang diabaikan serta suara yang dipinggirkan. Pedagoginya, menghapus segala bentuk penindasan sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.