Tahun ini Indonesia menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan Konferensi Masyarakat Sipil/Forum Masyarakat Sipil ASEAN (ACSC/APF). Konferensi ini turut mendukung upaya memulihkan demokrasi dan kesetaraan di Asia Tenggara. Sebagai benua yang menjadi rumah bagi sekitar dua pertiga masyarakat adat di dunia, hanya sedikit negara-negara di Asia Tenggara yang mengakui keberadaan masyarakat adat, dan bahkan identitas masyarakat adat belum diperhitungkan secara penuh sebagai bagian dari masyarakat.
Sejak tahun 2010, Pakta Masyarakat Adat Asia (AIPP) telah mengamati situasi hak asasi manusia dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat. Masyarakat adat di negara-negara Asia menjadi daftar sasaran dan korban utama pelanggaran hak asasi manusia untuk militerisasi, konservasi, dan proyek pariwisata. Adapun pelanggaran hak yang kerap terjadi adalah hak untuk menentukan nasib sendiri; kepemilikan tanah, wilayah, dan sumber daya; serta hak dibidang ekonomi, sosial dan budaya.
Padahal, masyarakat adat dikenal konsistensinya dalam mengamalkan pengetahuan tradisional serta membuktikan ketahanan dalam mendukung model pengelolaan alam berkelanjutan. Namun, praktik-praktik tersebut belum sepenuhnya diakui bahkan mereka terancam oleh praktik-praktik yang berpotensi merugikan masyarakat adat.
Salah satu contohnya adalah kehidupan masyarakat adat yang terancam akibat perampasan tanah. Hal ini melumpuhkan hak mereka untuk meneruskan tradisi termasuk kegiatan pertanian. Konsekuensinya, kearifan lokal hilang dan persediaan pangan semakin berkurang. Dampak khususnya, perempuan adat tidak mampu menjaga ketahanan pangan keluarga.
Melihat situasi ini, KEMITRAAN berkolaborasi bersama Samdhana Institute dan AIPP menyelenggarakan workshop dalam rangkaian kegiatan Asean People’s Forum bertemakan Advokasi Hak Asasi Manusia bagi Masyarakat Adat di Asia Tenggara.
Workshop ini membahas dan memperkuat kapasitas dalam memahami hak-hak bebas, didahulukan, diinformasikan dan memberikan persetujuan (FPIC) kepada masyarakat adat, termasuk praktik yang baik dan tantangan dalam mengadvokasi masyarakat adat terutama perempuan adat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di tengah masyarakat.
Adapun narasumber dalam workshop ini, merupakan perwakilan negara-negara di Asia Tenggara, seperti Frederick Wilson dari AIPP, Jimmy Ginting dari PPMAN, Saw Frankie dari ABIPA Burma, Rachel Mariano dari CPP Philipina, dan Stenich Tes dari Cambodia.
Dalam kesempatan ini, Jimmy Ginting memaparkan bagaimana kondisi persoalan masyarakat adat di sejumlah wilayah di Indonesia, salah satunya masyarakat Tobelo di Maluku Utara. Hingga saat ini mereka masih menghadapi kriminalisasi aparat. Jimmy mengatakan adanya kebijakan hukum bagai masyarakat adat menjadi poin penting adanya pengakuan dari pemerintah.
“Pemenuhan hak asasi bagi masyarakat adat terpenuhi, salah satunya adalah dengan melihat persoalan mendasar dengan lebih lanjut dan mengupayakan promosi dan memastikan pengakuan bagi keberadaan mereka,” ujar Frederick.
Diskusi berlangsung interaktif dengan peserta yang hadir. Peserta turut mempertanyakan bagaimana peran dari sesama perempuan, anak muda, termasuk juga dari stakeholder lain melihat persoalan-persoalan yang dipaparkan oleh sejumlah narasumber. Di akhir sesi, Martua Sirait dari Samdhana Institute dalam closing statementnya mengatakan bahwa perlu memperkuat kekuatan civil society dalam mendukung persoalan yang ada serta cara mempromosikan hak-hak masyarakat adat.