Mengenal Kehidupan Suriadi, Pemuda Komunitas Adat Bara

Genap lima bulan sudah, sebagai fasilitator desa, saya berkegiatan mendampingi masyarakat adat di Kabupaten Maros. Dari sekian banyak intensitas capaian kegiatan, workplan harian, koordinasi, dan pertemuan dengan beberapa orang, mungkin perjumpaan dengan sosok Suriadi yang paling intens. Mulai dari menemani Suriadi memanen jagung, bermalam di rumah kebunnya, kedinginan bersama di sana hingga pagi hari, teppu-teppu (memisahkan biji jagung dari tongkolnya,) mengajari anak-anak masyarakat adat membaca dan menulis di bawah kolong rumah, saling mengejek, mendengar dan berkeluh kesah dengan nasib pendidikan masyarakat adat Bara.

Usia Suriadi hampir genap tiga puluh lima tahun. Dia sudah memiliki dua anak laki-laki usia balita. Dia bukan warga asli masyarakat adat Bara. Dia berasal dari Laiya, Bantimurung, dan mempersunting perempuan dari Dusun Bara. Hingga saat ini, dan mungkin selamanya, dia terus resah dengan penghasilannya sehari-hari sebagai relawan guru, petani, sekretaris lembaga adat bara, pedagang bensin eceran dan sesekali menjadi penjual ikan.

Saat bertemu dengannya di rumah kebun yang masih sedang ia rakit dari bilah-bilah bambu di kebunnya yang baru, saya tertegun mendengar ia berkata,

“Sesekali, meski hanya sekali saja, saya ingin sekali bertukar peran dengan orang-orang kaya di kota, biar mereka tahu susahnya hidup di desa seperti ini.”

Keresahan Suriadi adalah keresahan semua orang yang hidup dusun Bara; resah dengan apa yang mereka tanam sendiri dengan harga rendah sudah tumbuh dan berakar selama bertahun-tahun. Saya tidak bisa hanya menilai, dan selalu merasa bersalah, apabila sambil romantis saya berkata bahwa bukankah lebih nyaman hidup di desa dengan segala panorama yang indah dan alamiah. Kenyataan pahit di Dusun Bara benar-benar pahit.

Sementara saya terus berkawan dengan Suriadi di Dusun Bara, hutan desa mulai menipis, sedangkan populasi anak-anak masyarakat adar Bara terus bertambah. Ketika Suriadi meresahkan hidupnya, saya paham, begitu melihat dua anak kecil Suriadi yang bermain di sekitar rumah kebunnya, yang dalam beberapa waktu ke depan harus mengenyam pendidikan dasar.

Penulis :

Ma'ruf Nurhalis