Orang Rimba pada dasarnya menganut garis keturunan matrilineal yang berarti sistem kekerabatan dari garis keturunan ibu, begitu juga tentang hukum adat kewarisannya. Dengan sistem kekerabatan itu membuat pola-pola aturan dan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di Orang Rimba. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan ditegaskan dalam Seloko atau pepatah adat dan disebutkan saat ritual pernikahan, pepatahnya seperti berikut:
“Sajang saji masok matah, pelan pegawe tikor bantol gawe betina. Behuma betanom, lauk ikan, keranjang belanjo gawe jenton, menjemput urang, memikul nan panjong, menghidup mematikan begawe bejenton”. (yang memasak dan menyajikan makanan, pekerjaan membuat tikar bantal kerja perempuan. Membut ladang, mencari ikan, memenuhi hidup, memikul pekerjaan berat, menghidupkan dan mematikan tugas laki-laki).
Dari pepatah adat di atas menegaskan bahwa ada perbedaan peran pekerjaan perempuan dalam urusan domestik dan pekerjaan laki-laki adalah memenuhi kebutuhan hidup. Namun seiring dengan perkembangan zaman kebutuhan pemenuhan hidup semakin tinggi sehingga perempuan juga melakukan pekerjaan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Misalnya saja pada rombong (sebutan untuk kelompok di Orang Rimba) Minan, Ngilo, Ganta, Yudi dan Abas, perempuan pada kelompok tersebut juga terbebani dengan aktivitas pemenuhan kebutuhan seperti mencari berondolan sawit, mencari pinang, dan mencari rongsokan yang kemudian dijual untuk kebutuhan hidup.
Pembagian peran ini juga berimbas pada pembatasan ruang pada perempuan. Pembatasan ruang gerak tersebut terbunyikan dalam seloko berikut.
“Sepencang piado bulih meninggalkan huma, sepijak piado bulih meninggalkan tango”. (tidak boleh meninggalkan ladang dan tidak boleh melangkahi tangga)
Seloko di atas berisi tentang perempuan tidak boleh keluar jauh dari lingkungan tempat tinggalnya selain perempuan berperan dalam menjaga ladang/huma. Dalam aturan ini juga merupakan salah satu bentuk proteksi atau perlindungan untuk perempuan dan anak perempuan. Ini dapat dikaitkan dengan lingkungannya karena mereka dahulunya tinggal di dalam hutan sehingga rawan terjadi hal-hal yang membahayakan, misalnya seperti hewan buas dan sebagainya. Oleh karena itu perempuan dan anak perempuan jika pergi keluar dari lingkungannya akan ditemani oleh keluarganya.
Aturan adat dan akses pengembangan diri untuk perempuan bukanlah hal yang besar ketika komunitas memahami maksud dan tujuan dari pengembangan diri bagi perempuan terlebih pengembangan diri yang sifatnya positif dan berguna bagi komunitasnya. Terkait akses, perempuan Orang Rimba dalam pemanfaatan sumber daya alam tidak terlalu bermasalah namun dalam mengembangkan diri di dunia luar perempuan terbatas dalam mengakses, misalnya terkait pendidikan.
“Perempuan bisa mengenyam pendidikan hanya pada umur anak-anak saja, perempuan yang sudah naik kemban atau aqil balik tidak diperbolehkan lagi untuk sekolah,” ujar Anggun, Pendamping Orang Rimba KKI Warsi.
Meski demikian di beberapa rombong, beberapa keluarga sudah memperbolehkan anak perempuannya untuk bersekolah walaupun masih sedikit yang mengijinkan. Hal ini sedikit banyak sudah menunjukkan terbangunnya kesadaran masyarakat Orang Rimba akan pentingnya pendidikan. KKI Warsi melalui program Estungkara mendampingi masyarakat adat Orang Rimba sejak 2022. Pendampingan intens yang dilakukan selain mendukung akses layanan dasar juga mendorong partisipasi aktif perempuan terlibat dalam ruang-ruang diskusi. Hal ini yang kemudian sedikit banyak membuka pandangan masyarakat Orang Rimba akan pentingnya akses pendidikan bagi generasi muda.