Hutan Adat Barasak di Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah merupakan Hutan Adat yang pertama diakui oleh Pemerintah. Pengakuan ini melalui Keputusan Menteri LHK RI Nomor : SK.5447/MENLHK-PSKL/PKTHA/KUM.1/6/2019. Telah melalui perjalanan panjang dalam proses penetapannya sebagai Hutan Adat.
Bue (Kakek) Iber Djamal (83) merupakah tokoh adat di Desa Pilang yang memiliki militansi menjaga alam semenjak beliau masih muda. Pasca kebakaran 2015 meneguhkan beliau untuk mengajukan Hutan Adat sebagai akses mengelola sumberdaya hutan untuk kesejahteraan bersama. Beliau juga merupakan salah satu tokoh pembentuk AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang berasal dari Kalimantan Tengah.
Bue Iber bersama dengan masyarakat adat telah berjuang dari tahun 1997 saat terjadi kebakaran hutan yang menjadi catatan kelam di Indonesia. Dalam wawancara saya kepada Bue Iber, beliau bercerita pengalaman perjuangan yang dia lakukan untuk mendapatkan hak terkait ruang kelola masayarakat adat. Ia melihat pemandangan wilayahnya berubah menjadi seperti neraka setelah proyek pengolahan lahan gambut (PLG) dimulai pada 1996. Pohon-pohon ditebang, tanah dirusak, ladang tempat mereka menanam berbagai benih padi lokal hingga tanaman pangan lainnya hilang, diganti petak-petak sawah.
“Dari tahun 1998-2014 kami melakukan perjuangan sebagai orang-orang korban PLG, mengingat dari tahun 1997 perusahaan telah melakukan pembuatan drainase, galian ll. Hal ini menyebabkan kebun masyarakat tidak ada ganti rugi, dari situlah bue tergerak hati melihat kondisi masyarakat,” cerita Iber.
Bue Iber menceritakan sejak tahun 2008 sudah mulai dilakukan aktivitas jual beli tanah, dimana perusahaan sawit sudah mulai masuk. Dahulu Hutan Adat disebut dengan istilah “Pahewan” (hutan yang tidak bisa digarap, hewan dan tumbuhan disekitar tidak boleh dirusak, dalam bahasa sekarang disebut penangkaran). Orang tua jaman dulu memiliki kedekatan dengan hutan, karena memdapatkan sumber penghidupan semua berasal dari hutan. Yang menjadi tantangan adalah karena perpolitikan desa, dimana banyak warga yang ingin menjual lahan secara sewenang-wenang (hutan barasak).
Pada tahun 2018, LSM LESTARI mendampingi beliau untuk mengajukan administrasi pengakuan MHA. Dinamika panjang untuk mendapatkan pengakuan diceritakan Bue Iber ketika wawancara, dimana. Ketika melakukan pertemuan dengan Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Daerah Pulang Pisau masih belum mendapakan titik terang dalam proses pengajuannya. Berbekal semangat juang yang tinggi hingga pada tahun 2019 akhirnya mendapat jawaban dengan dikeluarkannya SK pengakuan dari MenLHK.
Hingga kini bersama dengan LPHA Hutan Adat Barasak memperjuangkan dan memertahankan beberadaan Hutan Adat sebagai bagian dari tanggungjawab menjaga hutan. Serta sebagai akses untuk tetap menjaga kearifan lokal Masyarakat Adat di Desa Pilang.
”Bagi orang Dayak, hutan itu memiliki roh yang harus dijaga dan dihormati. Ciptaan Tuhan semuanya punya roh,” kata Iber.
Meski sudah adanya SK, ia masih menghadapi banyak tantangan dari cita-citanya melestarikan hutan, yang menjadi bagian identitas budaya Dayak terutama bagi generasi muda.