Belajar Pentingnya Pendidikan Gender Bagi Semua dari Desa Kalamba

Perjalanan menuju Desa Kalamba, desa terpencil yang terletak di lembah gunung berbatu, menjadi salah satu pengalaman paling bermakna dalam hidup saya. Desa ini berada di wilayah terpencil di Kabupaten Sumba Timur. Membutuhkan waktu lebih dari dua jam untuk mencapainya dari kota Waingapu. Kondisi geografis desa yang kering, tidak adanya akses listrik, air bersih yang sulit didapat, dan minimnya fasilitas umum seperti kamar mandi serta akses sekolah dasar yang jauh, menggambarkan betapa terisolasinya desa ini dari perkembangan. Jumlah kepala keluarga di Kalamba pun jauh lebih sedikit dibandingkan desa lain, bahkan sinyal komunikasi pun hampir tak ada.

Kedatangan saya, dalam rangka kegiatan cross learning bersama para peserta INKLUSI DAY, disambut hangat oleh para tetua adat. Mereka menyuguhkan sirih pinang sebagai simbol penerimaan dan penghormatan. Kami kemudian berbicara mengenai tujuan kedatangan kami, yakni untuk belajar dari masyarakat adat di sana. Terutama dari forum perempuan dan kelompok disabilitas serta penghayat kepercayaan Marapu, sebuah kepercayaan lokal yang masih kuat dipegang oleh masyarakat setempat.

Salah satu fokus utama dari Lembaga Bumi Lestari (LBL) di Desa Kalamba adalah menghidupkan kembali forum kelompok wanita tani (KWT). Masyarakat di sini telah lama terjebak dalam siklus kemiskinan yang tampaknya sulit dipatahkan. Perempuan di desa ini, sering kali dianggap hanya berperan di dapur. Padahal mereka memiliki potensi besar untuk ikut meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Salah satu cerita yang menggugah saya adalah dari Rambu Anita Mbomba Lapir, anggota aktif forum KWT. Selama ini, keluarga-keluarga di Kalamba hanya bergantung pada hasil penjualan kacang tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebagian kecil dari mereka, ada yang menjadi guru PAUD, untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Namun, pendapatan sebagai guru PAUD hanya berkisar Rp500 ribu per bulan, jumlah yang tidak mencukupi untuk menambah kebutuhan sehari-hari.

Rambu Anita menjelaskan bahwa pendapatan dari penjualan kacang tanah juga sangat terbatas. Dengan masa tanam hanya sekali setahun dan panen yang hanya berlangsung selama empat bulan (Februari hingga Mei), mereka hanya bisa menghasilkan 5-6 karung kacang tanah, yang masing-masing berisi 23 kg. Dengan harga jual 20 ribu per kilogram, pendapatan tahunan dari kacang hanya mencapai sekitar 2,3 juta hingga 2,8 juta. Jika dibagi rata per bulan, jumlah ini pun masih jauh dari cukup, hanya sekitar 200 ribu hingga 250 ribu per bulan untuk kebutuhan rumah tangga.

Namun, pengeluaran sehari-hari jauh lebih besar. Selain membeli beras dan bahan pokok lainnya, masyarakat Kalamba yang mayoritas menganut kepercayaan Marapu, juga harus menyediakan dana untuk keperluan ritual adat yang hampir setiap hari dilakukan. Dalam setiap ritual, minimal diperlukan ayam atau babi, yang harganya tidak murah. Hal ini membuat kebutuhan adat sering kali menjadi prioritas utama dibandingkan kebutuhan keluarga, termasuk kebutuhan pendidikan dan gizi anak-anak.

“Kami terbiasa menempatkan kebutuhan adat di atas segala-galanya,” ujar Rambu Anita. “Kalau kami kekurangan uang untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya, kami akan mencari ubi di hutan sebagai pengganti.”

Tak jarang para keluarga di desa Kalamba sering berhutang dengan para tetangga dan sanak saudara mereka yang memiliki taraf ekonomi yang memadai. Sedangkan urusan untuk mengembalikan hutang tersebut menjadi urusan belakangan.

Hal ini lah yang membuat sistem barter masih menjadi relevan di desa Kalamba. Rambu Anita menambahkan, ketika mereka tidak memiliki uang, mereka akan menukarkan produk hasil anyaman tikar yang mereka buat dengan beras atau bahan makanan lainnya. Biasanya dengan dua lembar tikar mereka bisa mendapatkan 10 kg beras.

Hambatan partisipasi perempuan di forum KWT pun bukan hanya soal ekonomi. Dalam masyarakat adat Kalamba, keputusan tertinggi masih dipegang oleh laki-laki, terutama suami. Hoki Halemang, salah satu kader Estungkara di Kalamba, menegaskan bahwa banyak perempuan yang tidak bisa mengikuti pelatihan atau forum KWT karena tidak diizinkan oleh suami mereka. “Pendidikan gender perlu diberikan tidak hanya kepada perempuan, tapi juga kepada laki-laki,” kata Hoki Halemang.

Dari pengamatan Hoki Halemang, para ibu-ibu di desa Kalamba masih sangat patuh dengan keputusan suami. Sehingga ketika mereka tidak diberikan izin untuk berkegiatan, khususnya kegiatan peningkatan kapasitas dan penguatan pemahaman di forum KWT, maka mereka tidak akan pernah bisa ikut berpartisipasi secara bermakna.

“Ini juga menjadi solusi alternative ketika kita ingin berbicara tentang mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di masyarakat adat. Tanpa ada pendidikan gender bagi semua, kegiatan apapun yang dibuat akan terasa percuma,” tegasnya.

Apa yang disamapikan oleh Hoki Halemang saya amini dalam-dalam. Ternyata, pentingnya pendidikan gender bagi semua bukan hanya soal pengakuan terhadap suara perempuan, tapi lebih dari itu. Bagaimana perempuan dan laki-laki memiliki porsi yang setara dalam mengambil keputusan di keluarga. Baik itu soal pendapatan ekonomi maupun membuat prioritas soal kebutuhan sehari-hari.

Saya jadi teringat pada pesan dari buku “A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis” karya Chimamanda Ngozi Adichie. Di dalam bukunya, Adichie menekankan pentingnya pendidikan gender yang tidak hanya ditujukan untuk perempuan, tetapi juga laki-laki. Ketimpangan peran gender yang berbasis stereotipe menjadi akar dari diskriminasi yang masih mengakar kuat di masyarakat, dan hal ini terus menjadi penghambat bagi perempuan untuk berkembang dan berdaya.

Apa yang terjadi di Desa Kalamba menunjukkan betapa pendidikan gender menjadi kunci untuk mewujudkan kesetaraan. Kesetaraan gender bukan hanya soal hak perempuan, tetapi juga soal kemanusiaan. Selama masyarakat adat seperti di Kalamba masih memegang teguh sistem patriarki, perempuan akan terus menghadapi hambatan dalam mencapai potensi mereka yang sesungguhnya. Perjuangan ini tidak hanya tentang menghidupkan kembali forum KWT, tetapi juga tentang mengubah pola pikir dan membuka ruang yang lebih luas bagi perempuan untuk berkontribusi dalam kehidupan sosial, Tentu, ini tidak turun dari langit. Butuh kolaborasi dengan semua pihak juga pendampingan yang kuat di akar rumput.

Penulis :

Yael Stefany