Ruangan besar itu seketika hening, seolah menunggu sesuatu yang luar biasa. Di tengah kerumunan peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, seorang perempuan muda perlahan berdiri di atas panggung. Wajahnya tenang, namun ada getar dalam suaranya yang penuh kekuatan. Juliana, perempuan dari komunitas adat Suku Anak Dalam Jambi, siap menyampaikan pesan penting dari tempat yang jauh di tengah hutan Jambi.
Dulu, Juliana dikenal sebagai sosok yang pemalu. “Ketika pertama kali bertemu, suaranya begitu kecil, matanya tak berani menatap lawan bicara,” kenang seorang mentor yang pernah mendampinginya. Namun, hari itu, dia berdiri dengan penuh percaya diri, bukan hanya sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai wakil bagi perempuan-perempuan Suku Anak Dalam yang suaranya sering kali tak terdengar di luar komunitas mereka.
Juliana bukanlah nama yang asing. Berbagai artikel telah menuliskan kisahnya, mengangkat sosoknya sebagai perempuan pertama dari komunitas Suku Anak Dalam yang berhasil menempuh pendidikan tinggi. Namun, di balik semua itu, ada perjuangan panjang yang tidak selalu terlihat. Juliana tumbuh dalam budaya yang secara tradisional menempatkan perempuan pada peran domestik—menjadi penjaga rumah tangga, memastikan keluarga tetap terjaga. Di dalam rumah, suara perempuan Suku Anak Dalam sangat dihormati. Namun, di luar komunitas, mereka seperti burung yang dipelihara dalam sangkar. Cantik namun tak berdaya, tak punya hak untuk terbang menjelajah angkasa luas.
Juliana tahu, dia harus melampaui batasan itu. Perempuan-perempuan di komunitasnya kerap dihadapkan pada dilema: mengikuti tradisi atau mencari kebebasan untuk bermimpi lebih besar. Keberanian Juliana untuk menempuh jalan berbeda tidak datang begitu saja. Itu adalah hasil dari proses panjang, di mana pendidikan menjadi pintu pembuka yang memungkinkan dirinya untuk berpikir lebih jauh dari sekadar ruang lingkup rumah tangga.
Pada tanggal 30 Agustus 2024, Juliana tampil di ajang bergengsi Entrepreneurship Award LLDIKTI Wilayah X Ke-VIII 2024. Bersama tiga perempuan dari desanya—Induk Ita, Induk Tuti, dan Induk Benang—mereka menampilkan puisi dan senandung tradisional yang menjadi bagian dari budaya Suku Anak Dalam. Acara ini dihadiri oleh berbagai perwakilan perguruan tinggi se-Indonesia, dan di sanalah Juliana membacakan puisi berjudul “Suara dari Hutan.”
Puisi tersebut bukan hanya sekadar rangkaian kata. Di dalamnya tersirat kerisauan akan kondisi hutan yang semakin tergerus oleh pembangunan, sekaligus harapan bagi masa depan yang lebih cerah. Dengan setiap kata yang diucapkan, Juliana menggambarkan rasa sakit dan perjuangan yang dialami komunitasnya. Suara itu begitu lantang, menggetarkan hati semua yang hadir, memperlihatkan sisi lain dari perempuan adat yang selama ini sering dianggap tak bersuara di ruang publik.
“Juliana telah mampu menempatkan dirinya. Dia tidak lagi perempuan pemalu yang dulu. Kini, ia berani berbicara di hadapan banyak orang,” ujar Dewi Yunita, CEO Pundi Sumatra, yang telah mendampingi Juliana sejak masa sekolah dasar. Dewi adalah saksi perubahan luar biasa dalam diri Juliana. Dari seorang anak pemalu menjadi perempuan yang vokal dan penuh percaya diri.
Keberhasilan Juliana tidak terlepas dari peran pendidikan. Ia sedang berada di penghujung masa studinya di Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Jambi, di mana ia mendapatkan beasiswa pendidikan. Pendidikan tidak hanya membuka pintu bagi dirinya untuk meraih mimpi. Tetapi juga menjadi bukti bahwa perempuan dari komunitas adat, jika diberi kesempatan, mampu melampaui batasan yang selama ini mengurung mereka.
Universitas Muhammadiyah Jambi, yang turut terlibat dalam pemberdayaan komunitas Suku Anak Dalam, berkomitmen untuk membuka akses pendidikan bagi kelompok yang sering kali terpinggirkan. Langkah ini menjadi contoh nyata bagaimana perguruan tinggi dapat memainkan peran penting dalam memajukan komunitas adat, membuka peluang bagi perempuan seperti Juliana untuk mengembangkan diri.
“Pemberdayaan Suku Anak Dalam membutuhkan kolaborasi berbagai pihak,” kata Dewi Yunita. “Harapan kami, Juliana bisa menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan lain dari komunitas adat untuk berani bermimpi dan meraih pendidikan yang lebih tinggi.”
Juliana bukan hanya seorang mahasiswa yang akan segera meraih gelar sarjananya. Ia adalah simbol dari harapan, kekuatan, dan perubahan bagi perempuan-perempuan dari komunitas Suku Anak Dalam. Perjalanannya menggambarkan betapa pentingnya dukungan dari keluarga, pendidikan, dan komunitas dalam membentuk pribadi yang mandiri dan berani.
Kisahnya memberikan pelajaran penting: bahwa di balik setiap perempuan yang kuat, ada proses panjang yang dipenuhi dengan perjuangan, pengorbanan, dan kerja keras. Kini, dengan suaranya yang menggema di panggung-panggung besar, Juliana telah membuktikan bahwa perempuan adat memiliki potensi yang sama untuk bersinar.
Perjalanan Juliana belum selesai. Dengan gelar sarjana kehutanan yang sebentar lagi ia raih, ia tidak hanya akan menjadi perempuan berpendidikan pertama dari komunitasnya. Juliana akan terus memperjuangkan hak-hak komunitas adat, membawa suara-suara dari hutan yang selama ini terbungkam, untuk didengar oleh dunia luar.