‘Tahun Penuh Gulma’, Kondisi Realitas Masyarakat Adat

“Kupikir pemerintah harus bertanya apakah kami membutuhkan tambang. Kupikir ketika kami menolaknya, pemerintah tidak boleh menyuruh kami pergi dari sini.” – Korok, Tahun Penuh Gulma.

Kalimat ini setidaknya membuat saya semakin yakin, kebebasan pengelolaan sumber daya alam bagi masyarakat adat sangat-lah penting. Kita sangat paham, keterlibatan masyarakat adat terhadap tanah dan lingkungannya semakin terpinggirkan saja. Banyaknya konflik agraria dan perampasan lahan masyarakat adat saat ini menjadi bukti nyata, bahwa narasi tanah untuk rakyat hanya bualan semata.

Buku Tahun Penuh Gulma sangat menggambarkan jelas bagaimana perjuangan masyarakat adat untuk mempertahankan tanahnya butuh perjuangan dan pengorbanan yang sangat besar. Diceritakan Korok, seorang bocah umur belasan tahun, dari Suku Gondi, bekerja sebagai tukang kebun di salah satu rumah pejabat pindahan. Ayahnya ditangkap oleh pihak kepolisian, dituduh mencuri kayu di hutan, ditetapkan menjadi tersangka padahal belum ada bukti dan putusan yang sah.

Suatu hari, Korok dan Anchita –putri dari pejabat pindahan–mendengar kabar bahwa bukit Devi, tempat sakral yang dijaga oleh masyarakat adat Suku Gondi selama ini, akan diubah menjadi kawasan tambang. Hal ini dilihat dari potensi alam bukit Devi yang kaya akan kandungan mineral bauksit.

Rencana ini juga didukung oleh pemerintah juga aparat kepolisian setempat. Mereka bekerja sama untuk mengusir paksa suku Gondi dengan menjanjikan lahan relokasi serta akan mempekerjakan masyarakat suku Gondi di kawasan tambang nantinya. Menurut pemerintah, ini akan memberikan keuntungan bagi suku Gondi.

Masyarakat adat suku Gondi jelas menolak, khususnya Korok. Sebagai orang yang hidup dari kecil di suku Gondi, Korok merasa bahwa rencana ini bukan hal yang baik. Suku Gondi sudah memiliki kekayaan tersendiri lewat sumber daya alam dan kearifan lokal mereka. Punya banyak tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan obat herbal.

Memiliki aliran sungai yang berasal dari perbukitan, suku Gondi bisa minum, mandi, dan mendapat ikan untuk lauk makan. Pun, memiliki banyak hutan dengan berbagai pen (dipercaya sebagai dewa penjaga hutan) dan tempat-tempat sakral lainnya.

Suku Gondi tidak perlu membeli makan dari luar, karena alam sudah menyediakan dengan melimpah. Kondisi ini yang dirasa Korok tidak adil, jika mereka terpaksa harus kehilangan kekayaan SDA tersebut dan dipindahkan ke tempat yang lain. Korok pun memutuskan untuk berjuang dan bergabung dengan aksi protes.

Akan tetapi, melalui aparat keamanan setempat, dan tentu melalui perintah dari pemerintah, suku Gondi harus mengalami kekerasan dan kriminalisasi. Mereka dipukul dan berujung ditangkap karena dianggap sebagai pembangkang. Baik perusahaan, pemerintah, dan aparat keamanan, sama-sama sepakat melalukan ‘penyeragaman’. Lewat kejadian itu, suku Gondi sadar, tidak ada satu pun yang berpihak kepada mereka, terlebih pemerintah mereka sendiri.

Pentingnya Pengakuan Masyarakat Adat Terhadap Tanah dan Hutan

Sejak dulu, masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal dan tradisi adat budaya yang digunakan untuk kehidupan berkelanjutan. Dimulai dari mendapat bahan pangan, sumber air bersih, obat-obatan sampai koneksi dengan sang pencipta. Hal itu semua bisa tetap terjaga jika masyarakat adat mendapatkan pengakuan atas tanah dan hutan yang berdaulat.

Untuk lini kedaulatan pangan sendiri, masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal tentang praktik-praktik pertanian dan berkebun yang sesuai dengan kondisi alam mereka. Sesederhana tentang waktu untuk panen saja, masyarakat adat memiliki penanggalan tersendiri. Bukan sembarangan, dari proses pra menanam sampai pasca menanam pun, masyarakat adat memiliki ritual yang berbeda.

Ini juga selaras dengan hubungan manusia, alam dan pencipta. Masyarakat adat tahu betul cara mereka bersyukur dan berdoa kepada segala hal yang mereka percayai sebagai penjaga alam paling hebat. Sebuah tradisi yang membuat mereka terus terhubung dengan Tuhan-Nya.

Mereka juga punya bahan pangan yang kandungan gizinya tidak kalah jauh dengan beras. Apa yang mengenyangkan buat mereka dan bagaimana pangan lokal bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama, hanya dengan satu jenis bahan pangan saja. Bisa dibayangkan, jika suatu komunitas masyarakat adat punya 2-3 jenis bahan pangan lainnya yang dikonsumsi.

Bicara soal kesehatan, masyarakat adat tidak perlu membeli obat-obatan yang mahal. Cukup pergi ke hutan, petik beberapa tumbuhan, ramu, dan jadi-lah sebuah obat herbal. Tradisi ini yang terus dilakukan untuk menyembuhkan segala penyakit. Terbukti, mereka bisa tetap hidup dan bergenerasi sampai saat hari ini.

Kondisi ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh seorang Profesor Filsafat dari Universitas Auckland, Dr. Krushil Watene yang mengatakan “bahasa, pengetahuan, dan nilai-nilai masyarakat adat tertanam dalam bentang alam darat dan laut. Dengan wilayah yang mencakup sekitar 24% daratan di seluruh dunia dan menampung 80% keanekaragaman hayati dunia.”

Jadi, tanpa adanya tanah dan hutan, masyarakat adat hanya kehilangan identitas mereka sebagi pewaris kebudayaan. Mustahil untuk menjaga mata rantai ekologi, kalau salah satu dari elemen itu hilang dari mereka.

Lalu, Bagaimana Dengan di Indonesia?

Aku pikir Indonesia menjadi salah satu negara yang paling banyak mengalami perampasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Dari CATAHU 2023 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sepanjang tahun 2023, AMAN mencatat setidaknya terdapat 2.578.073 hektar wilayah adat. Sebagian besar perampasan wilayah adat tersebut disertai dengan kekerasan dan kriminalisasi yang menyebabkan 247 orang korban – 204 orang di antaranya luka-luka, 1 orang ditembak sampai meninggal dunia, dan kurang lebih 100 rumah warga masyarakat adat dihancurkan karena dianggap mendiami kawasan konservasi negara.

Kasus yang terjadi pada tahun 2023 juga memiliki peningkatan yang lebih luas dari tahun sebelumnya. Jika pada tahun sebelumnya perampasan wilayah adat dilakukan untuk industri-industri seperti tambang dan kehutanan, pada tahun 2023 perampasan wilayah adat digunakan untuk kepentingan yang lebih luas lagi, misalnya energi dan karbon.

Jelas, ini didukung dengan kebijakan pemerintah yang tidak pernah memihak dan memahami apa yang menjadi kebutuhan masyarakat adat. Mangkraknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat dan semakin banyaknya kegiatan tambang yang merajalela, perlahan membuat masyarakat adat semakin terpinggirkan.

Contoh kasus misalnya, pembangunan waduk Lambo yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Waduk ini dibangun dengan tujuan menyediakan kebutuhan air baku dan irigasi di Kabupaten Nagekeo. Wacana pembangunan waduk tersebut sebenarnya sudah hadir di Nagekeo sejak tahun 1999. Dimana pembangunan tersebut masih dinamai dengan pembangunan waduk Mbai. Namun, isu itu kemudian menghilang karena masyarakat menolak pembangunan tersebut.

Akan tetapi, pasca pemekaran kabupaten Ngada dan lahirnya kabupaten Nagekeo di tahun 2008, wacana pembangunan waduk Lambo ini hadir kembali di tahun 2015. Masyarakat pun kembali melakukan penolakan. Perjuangan demi perjuangan pun dilakukan masyarakat adat Rendu seperti membentuk Forum Penolakan Waduk Lambo (FPWL).

Menyurati Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Gubernur, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Polisi daerah (Polda) NTT, Pemerintahan daerah (Pemda) Nagekeo, juga staf Kepresidenan. Hasilnya nihil.

Masyarakat adat Rendu juga melakukan aksi pagar betis atau penghadangan terhadap Satuan Polisi Pamong Praja (SatPol PP). Bentrokan fisik pun terjadi, mengakibatkan semua perempuan adat jatuh pingsan. Perempuan adat mengalami kekerasan fisik seperti dicekik, diborgol dan ditangkap ke Polres Nagekeo tanpa alasan yang jelas.

Apa Kesimpulan yang Bisa Diambil?

Dr. Krushil Watene mengatakan satu-satunya cara agar kearifan lokal suatu komunitas masyarakat adat tetap terjaga adalah dengan melindungi wilayah mereka dari tekanan pembangunan ekstraktif dan tekanan pembangunan lainnya. Akan tetapi, hal ini juga membuat masyarakat adat menjadi sangat rentan dalam menghadapi proyek pembangunan juga terhadap kriminalisasi. Dinamika ini menjadi gambaran bagaimana kebutuhan untuk menjaga lingkungan bersinggungan dengan kebutuhan mendesak untuk melindungi masyarakat adat.

Negara menjadi pihak yang paling bertanggung jawab untuk memberikan sanksi terhadap siapa pun yang merusak lingkungan dan membuat masyarakat adat menjadi korban. Karena itu merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun sayang, negara justru hadir sebagai pelaku dari pelanggaran itu sendiri.

Dari buku Tahun Penuh Gulma, aku banyak belajar betapa perjuangan pengakuan hak masyarakat adat dan perlindungannya masih jauh dari kata cukup. Terlebih jika kita menarik ke kondisi Indonesia saat ini. Pendidikan ekologi politik dirasa penting untuk menyadarkan banyak orang bahwa lingkungan tidak hanya sekedar tanah, air, dan udara.

Buku ini sangat rekomendasi untuk dibaca, agar kita bisa melihat lebih dekat tentang persoalan lingkungan itu sendiri. Kenapa pohon tidak boleh ditebang, air sungai tidak boleh dicemari, dan tanah tidak boleh diubah menjadi aktivitas industri.

Bahasa yang sederhana serta jalan cerita yang tidak berlebihan, mematahkan asumsi yang mengatakan “buku yang mengangkat isu lingkungan pasti sangat rumit.” Justru, dari cerita Korok dan tokoh lainnya, kita diajak seperti menonton pertunjukkan yang sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.

Apalagi novel ini menyabet penghargaan literatur bergengsi di India Neev Book Award 2019 untuk kategori novel Young Adults. Menjadikan buku ini layak untuk kalian baca dan koleksi. Di Indonesia, ia dibawa dan diterjemahkan langsung oleh Marjin Kiri, masuk ke dalam Pustaka Mekar (bacaan kritis untuk pembaca anak dan remaja). Tunggu apalagi, ayo berkenalan dengan Korok!.

Penulis :

Yael Stefany