Erna, seorang gadis dari Suku Talang Mamak, tinggal di Dusun Datai, Batang Gansal, Indragiri Hulu, Riau. Rumahnya terletak jauh di dalam hutan, tepat di zona tradisional Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Meskipun terisolasi dari kemudahan perkotaan, Erna memiliki tekad yang teguh untuk menempuh pendidikan demi masa depan yang lebih baik.
Sekolah bukanlah perkara mudah bagi anak Talang Mamak, suku asli marginal yang tinggal di dalam kawasan TNBT. Akses yang jauh dan sumber daya yang terbatas menyebabkan pendidikan belum selancar kelompok masyarakat lainnya. Cerita sekolah baru dialami oleh generasi yang lahir akhir tahun 1990-an, itu pun masih belum menyentuh semua anak. Generasi sebelumnya sama sekali tidak mengenal huruf dan angka.
Beruntung ketika Erna sudah di usia sekolah, Dusun Datai sudah memiliki sekolah yang dikelola oleh relawan dengan bantuan Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Tahun berganti, bangunan sekolah yang awalnya berbahan bambu kini telah menjadi semi permanen. Pengelola sekolah pun berganti, mulai dari relawan, guru kontrak, guru sekolah jauh, hingga misionaris yang membantu anak-anak Talang Mamak mengenal pendidikan dan memberantas buta aksara.
Akses yang sulit menyebabkan guru kelas jauh sangat jarang berkunjung dan mengajar anak-anak Datai. Namun, semangat Erna untuk sekolah tetap tumbuh, tidak hanya sekadar mengenal huruf dan angka, namun pendidikan yang memberi makna untuk kaumnya. Ini yang menyemangati gadis ini untuk berangan melanjutkan sekolah, meski itu tidak mudah. Belajar dengan segala keterbatasan dan tantangan menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.
Dikisahkan oleh Ayah Erna, ketika kelas 6 anaknya harus menempuh ujian kelulusan di sekolah induk yang terletak di pusat desa. Pusat desa bukanlah dekat dengan dusun ini. Butuh dua hari menghilir dengan rakit menyusuri Sungai Batang Gangsal untuk sampai ke sekolah induk. Bekal yang cukup dan kemauan yang keraslah yang mampu menghantarkan Erna mengantongi ijazah sekolah dasar, syarat untuk melanjutkan pendidikan berikutnya. Sayangnya, tidak semua anak sanggup menjalani proses ini. Banyak yang terputus di tengah jalan dengan alasan biaya dan guru yang tidak rutin, menyebabkan semangat pudar dan akhirnya putus sekolah.
Bagi Erna, sekolah lanjutan adalah impiannya. Sebagai bagian dari Suku Talang Mamak yang tinggal di kawasan hutan, banyak peneliti dan pendamping komunitas yang berkunjung ke kampungnya. Erna sangat tertarik pada bagaimana mereka bekerja dan ingin memiliki ilmu yang sama untuk membantu komunitasnya. Tamat SD, Erna memohon kepada orang tuanya untuk diizinkan melanjutkan sekolah ke SMP. Orang tuanya sempat bergeming karena masalah biaya dan siapa yang akan menampung Erna jika sekolah di luar. Ayahnya dilanda keresahan, namun Erna selalu memohon untuk didaftarkan. Tekadnya bulat untuk sekolah sambil bekerja apa saja yang penting bisa sekolah.
Setelah dua tahun memohon, akhirnya Ayah Erna luluh. Dengan sekuat tenaga, ia mengumpulkan uang untuk pendaftaran putrinya di SMP Keritang. Erna pun diantar ke SMP yang diakses dengan kendaraan motor selama tiga jam menerobos belantara dan kebun sawit. Erna bekerja paruh waktu sebagai pelayan kantin dan menerima upah menggosok pakaian pada akhir pekan. Tiga tahun dilaluinya dengan baik, dengan nilai sekolah yang baik pula.
Setelah lulus SMP, Erna kembali galau. Ia sangat ingin melanjutkan sekolah, tidak ingin balik kampung hanya dengan ijazah SMP. Ayahnya ikut galau, biaya untuk SMA atau SMK semakin banyak, dan belum ada kenalan yang bisa dititipi dekat sekolah. Keputusan soal sekolah lanjutan didiamkan dulu. Tak lama berselang, KKI Warsi yang berkegiatan di Datai mengajak Ayah Erna, Pak Peheng, ke Jambi untuk mengikuti Pelatihan Penanggulangan Kebencanaan di Komunitas Adat. Dalam pelatihan yang berlangsung dua hari itu, Pak Peheng bertemu Pak Wito, seorang pendamping Orang Rimba. Pak Wito menawarkan bantuan biaya pendidikan bagi anak-anak Talang Mamak yang ingin sekolah.
Dengan bangga, Pak Peheng mengantar Erna ke Bangko, tempat Pak Wito bekerja. Erna pun melanjutkan pendidikannya di SMK 1 Bangko. Tiga tahun sekolah di sana, Erna masih bertahan dengan semangat yang semakin kuat. Ia berusaha untuk bisa kuliah. September 2021 menjadi momen indah bagi Erna dan warga Talang Mamak lainnya, karena Erna resmi menjadi mahasiswa di STIKES Merangin, jurusan kebidanan.
Erna ingin menjadi bidan untuk membantu warga kampungnya yang sulit mendapatkan layanan kesehatan. Kampung Datai sangat jarang memiliki tenaga kesehatan yang mau tinggal dan melayani masyarakat di sana. Pengobatan tradisional melalui dukun masih diandalkan, namun terkadang bantuan medis diperlukan, terutama dalam proses melahirkan. Ada sejumlah kasus plasenta tertinggal di dalam rahim yang berakhir dengan kematian ibu melahirkan.
Erna berharap bisa membantu warga Datai mendapatkan pengobatan dan pelayanan kesehatan yang memadai. Selama ini, warga Datai harus menempuh perjalanan tiga jam dengan kendaraan untuk mencapai puskesmas terdekat. Jalan yang becek dan sulit ditempuh di musim penghujan seringkali menyebabkan keterlambatan mendapatkan pertolongan medis.
Erna berharap bisa menjadi tenaga kesehatan yang tinggal di kampungnya. Ia yakin bahwa warga asli yang memahami kondisi, adat, budaya, dan perilaku warganya akan lebih membantu penanganan masalah kesehatan. Inilah yang membuat semangat Erna tak pernah padam. Dia terus melangkah maju, menuntut ilmu demi cita-cita mulianya untuk menjadi bidan.
Impian Erna tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk seluruh warga Suku Talang Mamak. Dia ingin menjadi harapan baru bagi kampungnya, memastikan bahwa setiap ibu dapat melahirkan dengan aman, dan setiap warga memiliki akses ke layanan kesehatan yang layak. Perjuangannya adalah cermin dari keteguhan hati dan tekad yang luar biasa, sebuah inspirasi bagi generasi muda Suku Talang Mamak dan komunitas-komunitas marginal lainnya.
*Artikel ini ditulis oleh: Rahmat Hidayat, KKI Warsi