Masyarakat Adat, Hutan Adat dan Perubahan Iklim

Indonesia, sebagai negara kepulauan menyimpan kekayaan yang tak ternilai dalam bentuk masyarakat adat dan hutan adat. Di tengah arus modernisasi, masyarakat adat tetap teguh memegang tradisi dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Hutan adat, bukan hanya menjadi penopang kehidupan masyarakat adat. Tetapi juga menjadi benteng terakhir dalam menghadapi perubahan iklim yang semakin mengancam.

Di hutan-hutan adat yang tersebar dari Sumatera hingga Papua, masyarakat adat mempraktikkan berbagai teknik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Mereka memiliki pemahaman mendalam mengenai ekosistem hutan. Mampu menjaga keseimbangan alam melalui praktik-praktik tradisional seperti rotasi ladang, perlindungan daerah tangkapan air, serta pemanfaatan tanaman obat.

Namun, perubahan iklim yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, membawa dampak signifikan terhadap ekosistem hutan dan kehidupan masyarakat adat. Hutan yang semakin terdegradasi tidak hanya mengurangi kemampuan alam untuk menyerap karbon. Juga mengancam mata pencaharian dan kebudayaan masyarakat adat.

Masyarakat adat di Indonesia memiliki peran penting dalam mengatasi perubahan iklim. Hutan-hutan bagus banyak berada di wilayah adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengidentifikasi dari 57 juta hektar kawasan hutan adat, sekitar 40 juta hektar masih hutan alam. Sedang dari peta wilayah adat seluas 6,8 juta hektar yang diserahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 65% masih hutan alam.

Sebuah studi dari World Resources Institute (WRI) tahun 2020 mengungkapkan, bahwa hilangnya hutan primer tropis di Indonesia mencapai 324.000 hektar. Hal ini berdampak pada peningkatan emisi karbon dan kerugian ekologi yang besar. Dua laporan yang dirilis pada tahun 2021 oleh WRI dan PRISMA Foundation, juga kembali mengafirmasi bagaimana hak kepemilikan tanah masyarakat adat dapat mencegah perubahan iklim.

Laporan tersebut menggambarkan bagaimana pengakuan hak atas tanah dan hutan masyarakat adat dapat mencegah kerusakan lingkungan. Ini juga dapat berkontribusi terhadap perubahan iklim. Laporan tersebut menyoroti bahwa tanah adat sendiri memiliki lebih dari sepertiga petak hutan alam di bumi. Selebihnya, sekitar 80% keanekaragaman hayati ada di dunia. Tingkat deforestasi di wilayah masyarakat adat di Amazon dua hingga tiga kali lebih rendah dibandingkan di lahan non-adat. Serupa di beberapa negara Amerika Selatan.

Setidaknya setengah dari tanah dan keanekaragaman hayati di dunia berada dalam wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal. Namun, hanya 10% dari lahan IPLC yang diakui oleh pemerintah nasional. Studi terbaru menunjukkan bahwa sertifikasi tanah adat dan keturunan Afrika-Amerika di beberapa wilayah Amerika Selatan mengurangi deforestasi sebesar 10-75%. Menurut laporan tersebut, mengamankan kepemilikan lahan adalah strategi mitigasi iklim yang hemat biaya.

Hutan adat bukan hanya sekadar kawasan hijau, tetapi juga simbol keberlanjutan, ketahanan, dan kearifan lokal. Dalam menghadapi krisis iklim global, sudah saatnya kita semua belajar dari masyarakat adat. Tentang bagaimana hidup selaras dengan alam dan menjaga warisan bagi generasi mendatang. Kearifan lokal yang mereka miliki menjadi salah satu kunci penting dalam upaya global untuk melawan perubahan iklim dan menjaga keseimbangan ekosistem bumi.

Hal ini dikuatkan dari penelitian yang menyebutkan hutan adat dunia menyimpan 20% karbon dari hutan tropis dunia. Penelitian yang rilis pada tahun 2015 ini menyatakan, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat bisa memberikan kontribusi besar dalam memperlambat perubahan iklim.

Penelitian ini memetakan dan mengukur karbon yang tersimpan di wilayah adat pada bentangan-bentangan terbesar hutan tropis dunia yang tersisa. Analisis menunjukkan, karbon yang terkandung di hutan-hutan tropis di wilayah adat Lembah Amazon, Mesoamerika, Republik Demokratik Kongo (DRC) dan Indonesia setara 168,3 gigaton karbon dioksida (GtCO2) -lebih dari tiga kali gas-gas rumah kaca pemicu perubahan iklim global (52,7 GtCO2) pada 2014.

Dari penelitian itu, memperlihatkan, lebih 9% hutan tropis di Lembah Amazon, Mesoamerika, DRC dan Indonesia mengandung 76,4 GtCO2 (setara 1,5 kali total emisi gas rumah kaca dunia pada 2014). Wilayah-wilayah adat ini sangat terancam karena berada kurang mendapat pengakuan hukum.

Menurut penelitian itu, melindungi hutan tropis tanah adat dari pembukaan, pembakaran, pertambangan, penebangan tidak lestari dan ancaman lain tak hanya penting mencegah kenaikan CO2 juga untuk menjaga manfaat lingkungan lain. Kerusakan hutan bisa berdampak lingkungan dan kesehatan langsung, seperti kabut asap dari kebakaran hutan.

Maka dari itu pelibatan masyarakat adat sangatlah penting. Pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat adat memiliki pengetahuan tradisional yang mendalam tentang lingkungan sekitar mereka, yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan ini mencakup praktik pengelolaan hutan, tanah, dan air yang terbukti berkelanjutan. Studi dari FAO menunjukkan bahwa hutan yang dikelola oleh masyarakat adat seringkali memiliki tingkat kerusakan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dikelola oleh pihak lain.

Selain itu, masyarakat adat juga menjaga sekitar 80% dari keanekaragaman hayati dunia dalam wilayah adat mereka. Menurut laporan dari World Bank, wilayah adat sering kali memiliki keanekaragaman hayati yang lebih tinggi. Tak hanya itu, wilayah adat lebih sedikit mengalami deforestasi dibandingkan dengan wilayah lain. Dengan melibatkan mereka, kita dapat melindungi keanekaragaman hayati yang berperan penting dalam penyerapan karbon dan stabilitas ekosistem.

Masyarakat adat menerapkan berbagai praktik pengelolaan hutan yang berkelanjutan, seperti sistem rotasi ladang yang mencegah degradasi tanah. Ada juga pemanfaatan hasil hutan non-kayu yang berkelanjutan. Contoh yang menonjol adalah masyarakat Dayak di Kalimantan yang menggunakan teknik ladang berpindah (shifting cultivation) yang memperhitungkan siklus alam untuk menjaga kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati.

Mereka juga memiliki sistem pengelolaan air yang canggih dan berkelanjutan, seperti sistem subak di Bali yang mengatur irigasi sawah secara tradisional. Ini membantu menjaga cadangan air dan mencegah erosi tanah, yang sangat penting dalam mitigasi dampak perubahan iklim.

Tidak hanya itu, beberapa masyarakat adat pun terlibat dalam upaya restorasi ekosistem yang rusak. Misalnya, masyarakat adat di Papua yang terlibat dalam proyek restorasi mangrove untuk melindungi garis pantai dari erosi dan meningkatkan penyerapan karbon.

Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menegaskan bahwa pengetahuan tradisional masyarakat adat memainkan peran penting dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dengan melibatkan mereka, kita dapat mengadopsi strategi yang lebih efektif dan berkelanjutan.

Studi dari Rights and Resources Initiative (RRI) pun menunjukkan bahwa pengakuan hak masyarakat adat atas tanah adat mereka dapat mengurangi deforestasi dan emisi karbon secara signifikan. Negara-negara yang mengakui hak-hak ini menunjukkan penurunan deforestasi hingga 10 kali lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak.

Untuk itulah, pelibatan masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim bukan hanya memberikan solusi yang berkelanjutan tetapi juga merupakan langkah penting menuju keadilan sosial dan ekologis. Dengan pengetahuan tradisional mereka yang mendalam tentang pengelolaan lingkungan, masyarakat adat mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak mereka adalah kunci untuk mewujudkan solusi iklim yang efektif dan inklusif.

Penulis :

Yael Stefany