Budaya Patriarki di Mentawai: Tantangan dan Upaya Perubahan

Budaya patriarki di masyarakat adat Mentawai menempatkan perempuan sebagai subordinasi di mana peran dan posisi mereka lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini menyebabkan perempuan sering mengalami diskriminasi dan ketidakadilan, baik dalam ranah domestik maupun publik. Dalam forum pengambilan keputusan di rumah tangga, uma (klan), masyarakat, bahkan di pemerintahan dusun dan desa, perempuan hampir tidak terlibat secara aktif. Akibatnya, keputusan yang dihasilkan cenderung hanya mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan laki-laki.

Kondisi yang lebih memprihatinkan dialami oleh perempuan dan anak penyandang disabilitas serta perempuan kepala keluarga (janda). Mereka dipandang sebagai kaum lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya menjadi beban masyarakat dan pemerintah. Diskriminasi ini membawa mereka pada kemiskinan serta kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Kasus-kasus kekerasan, terutama kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, sering kali diabaikan atau ditutupi oleh keluarga dan lingkungan sekitar. Salah satu penyebabnya adalah otoritas penanganan kasus secara adat yang ada pada kaum laki-laki dalam keluarga inti dan klan. Dominasi dan otoritas laki-laki ini membuat korban tidak berdaya menentukan dan menuntut keadilan yang diinginkannya.

Perempuan dan anak seakan-akan tidak memiliki otoritas apa pun atas tubuh dan jiwa mereka. Penanganan kasus kekerasan seksual cenderung diselesaikan secara adat dan kekeluargaan. Pelaku yang dinyatakan bersalah dalam peradilan adat akan dijatuhi denda adat (tulou) yang hanya bersifat materiil. Tulou bertujuan untuk memulihkan harga diri keluarga korban dan mencegah konflik berkepanjangan. Baik antar keluarga pelaku dan keluarga korban atau hanya berfungsi sebagai rekonsiliasi sosial. Sementara korban “terpaksa” harus memulihkan dirinya sendiri. Kondisi ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Harus ada upaya dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah untuk merekonstruksi adat, nilai-nilai, dan budaya Mentawai. Agar dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi perempuan dan anak di desa.

YCMM bersama Pemerintah Desa di Desa Muntei, Malancan, dan Nemnem Leleu sejak tahun 2023 sudah menyusun draft Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak dan Perempuan. Draft ini disusun berdasarkan hasil identifikasi potensi dan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Proses identifikasi dan penulisan draft dilakukan secara partisipasi dengan melibatkan kelompok perempuan, termasuk kelompok disabilitas dan penyintas.

Draft Peraturan Desa ini juga disosialisasikan dan dikonsultasikan kepada publik untuk mendapat umpan balik dari masyarakat, termasuk kelompok perempuan. YCMM memfasilitasi kegiatan konsultasi publik di Desa Malancan yang dilakukan pada tanggal 27 April di Dusun Sirilanggai dan 02 Mei 2024 di Dusun Sinaki. Kegiatan ini melibatkan kelompok perempuan yang cukup antusias membahas draft Perdes ini. Di Dusun Sirilanggai, dari 22 peserta diskusi, 9 di antaranya adalah perempuan yang aktif memberikan pendapat terhadap setiap pasal yang ada.

Sementara di Dusun Sinaki, dari 21 peserta, 17 di antaranya adalah perempuan. Mereka sangat mendukung segera diterbitkannya Peraturan Desa ini agar kasus kekerasan seksual dapat ditekan semaksimal mungkin dan ditangani dengan prinsip keadilan bagi korban.

Margareta, seorang perempuan kepala keluarga, mengatakan bahwa Desa Malancan sudah dapat dikatakan darurat kekerasan seksual. Ia merasa sangat prihatin dengan terus meningkatnya kasus kekerasan seksual pada anak yang berdampak pada tingginya angka putus sekolah. Rindi, pemudi dari Dusun Sinaki, menyampaikan jika tidak ada kebijakan yang tegas dari pemerintah desa maka masa depan generasi muda Malancan akan terancam.

Draft peraturan desa ini mengatur tentang penyelenggaraan perlindungan anak dan perempuan di desa. Di mana pemerintah desa memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam mendorong penanganan kasus-kasus kekerasan seksual ke ranah hukum negara. Tujuannya untuk menimbulkan efek jera pada pelaku serta rasa keadilan dan perlindungan bagi korban. Hukum adat tetap dapat dijalankan sebagai restitusi bagi korban. Pemerintah juga menjamin partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam upaya menciptakan lingkungan yang ramah bagi perempuan dan anak. Serta pencegahan terjadinya tindak kekerasan.

Para perempuan yang mengikuti konsultasi publik ini mengaku senang telah dilibatkan dalam pembahasan draft Perdes. Di mana secara khusus menampung kepentingan dan kebutuhan perempuan terhadap rasa aman dan keadilan. Suara perempuan sudah seharusnya didengarkan. Mereka juga berharap lahirnya kebijakan-kebijakan lain yang dapat memberdayakan kelompok perempuan dalam pembangunan. Dengan melibatkan dan mendorong peran aktif perempuan dalam proses perumusan kebijakan, perempuan dapat lebih berdaya dan memiliki peran penting dalam menentukan kebijakan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka.

Budaya patriarki yang kuat di masyarakat adat Mentawai memang menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan terhadap diskriminasi dan ketidakadilan. Namun, dengan adanya upaya seperti yang dilakukan oleh YCMM bersama pemerintah desa, terdapat harapan besar untuk perubahan. Penyusunan dan penerapan peraturan desa yang melindungi perempuan dan anak merupakan langkah konkret menuju kesetaraan dan keadilan gender.

Partisipasi aktif perempuan dalam proses ini menunjukkan bahwa mereka memiliki suara dan peran penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil bagi semua. Upaya kolektif dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi nilai-nilai dan budaya agar lebih inklusif dan melindungi hak-hak perempuan serta anak di Mentawai.

Penulis :

Tarida Hernawati