Mungkin hingga saat ini, persoalan relasi kerja, masih menjadi persoalan yang penting dan tidak bisa dipisahkan dalam masyarakat. Dalam pengertian dan jenisnya, kita akan menemukan definisi dan model relasi kerja yang sangat beragam di masyarakat, bahkan akan terus berkembang dan berubah seiring perubahan zaman. Namun, sistem yang sangat mempengaruhi relasi kerja di masyarakat hingga saat ini khususnya bagi masyarakat industri adalah sistem kapitalisme. Karl Marx menjelaskan, model kerja yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme akan menimbulkan sistem kelas.
Sistem kelas yang dimaksud adalah pembagian dua kelompok yaitu kelompok borjuis (pemilik modal) dan kelompok proletariat (buruh). Relasi kerja antara dua kelompok tersebut sebenarnya memang saling membutuhkan. Namun menurut Franz Magniz Suseno dalam Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (2010) menjelaskan bahwa walaupun relasi antara kaum buruh dan pemilik modal saling membutuhkan, namun relasi tersebut tidak adil. Terdapat kelompok yang mendominasi dan terdapat kelompok yang tereksploitasi.
Adanya eksploitasi dari sistem kerja kapitalisme secara sederhana dapat dilihat ketika misalnya buruh yang membuat sebuah produk, mereka menjadi pihak yang hanya mendapatkan untuk paling sedikit. Model relasi kerja seperti ini sebenarnya hanya menciptakan jurang antara kelompok kecil dan yang berkuasa. Menciptakan kelompok yang akan terus menjadi miskin. Dari hal ini, saya mencoba merefleksikan hasil perjumpaan saya dengan masyarakat adat Talang Mamak dalam rangkaian magang selama lebih dari tiga bulan.
Pandangan tentang Komoditi
Dalam masyarakat modern yang menganut sistem kapitalisme, komoditi sering kali dipahami secara ekstrem. Ekstrem yang saya maksudkan di sini adalah setiap benda dipahami memiliki nilai ekonomi dan bisa dijadikan komoditi yang diperjual belikan. Namun hal ini berbeda dengan masyarakat adat, khususnya bagi masyarakat adat Talang Mamak. Dalam pandangan masyarakat adat Talang Mamak, tidak semua benda atau tempat dapat dijadikan komoditi atau tempat untuk melangsungkan kegiatan ekonomi.
Misal, masyarakat adat Talang Mamak sebenarnya memanfaatkan hutan dan isinya untuk mereka bertahan hidup dan melakukan aktivitas ekonomi. Namun mereka memiliki rambu-rambu yang mereka harus patuhi. Seperti misalnya pemanfaatan pohon, masyarakat adat Talang Mamak tidak dilarang untuk menebang pohon selama untuk kebutuhan pribadi atau kebutuhan komunitas. Melalui hukum adat, pohon dibatasi untuk kebutuhan dan tidak untuk kegiatan ekonomi yang menginginkan nilai lebih atau profit. Bagi masyarakat yang menebang pohon untuk kebutuhan komersial akan mendapatkan sanksi adat.
Demikian juga misalnya tanaman pangan. Tidak semua tanaman pangan dapat diperjualbelikan. Seperti misalnya beras, masyarakat adat Talang Mamak memenuhi kebutuhan karbohidrat mereka dengan menanam padi (baumah). Namun kegiatan menanam padi tersebut ditujukan untuk kebutuhan keluarga bukan untuk perputaran ekonomi.
Sudir, salah satu tokoh adat masyarakat adat Talang Mamak menjelaskan bahwa masyarakat adat Talang Mamak memaknai dan meyakini padi adalah saudara yang memberikan kehidupan pada manusia. Maka dari itu, tidak boleh untuk diperjual-belikan. Hal tersebut juga didukung dari pandangan salah satu dukun padi yaitu Bukhori bahwa menjual padi sama dengan menjual nyawa.
Pandangan tentang komoditi ini menjadi penting, karena hal ini akan sangat berpengaruh pada relasi kerja yang akan dibangun di masyarakat adat Talang Mamak. Cara pandang masyarakat kapitalisme memandang komoditi akan melihat relasi kerja secara basis kepentingan ekonomi.
Relasi Kerja ala Masyarakat Talang Mamak
Hampir semua kegiatan masyarakat adat Talang Mamak dilakukan dan dikerjakan secara gotong royong. Berladang, membangun rumah, sampai pada pemanfaatan alam tidak dilakukan secara individu. Dalam berladang misalnya, masyarakat adat Talang Mamak sebenarnya memiliki beberapa konsep dalam membangun relasi kerja bersama komunitas.
Masyarakat adat Talang Mamak memahami konsep polorien sebagai konsep gotong royong. Mereka yang melakukan perladangan memiliki tanggung jawab kolektif untuk membantu sesama peladang.
Dalam konsep indigenous religion paradigm dari Samsul Maarif, konsep ini sebenarnya dipahami sebagai bentuk reciprocal relation atau hubungan timbal balik. Dalam konsep polorien, ada beberapa bentuk relasi kerja yang dilakukan, seperti ganti orang atau jasa balas jasa, juga barang ganti barang.
Konsep gotong royong ini dilakukan atas dasar kepentingan komunitas. Selain itu, dalam sistem perladangan mereka, pemilik ladang juga membuka secara umum untuk terlibat membantu atau bahkan untuk mencari beras. Masyarakat adat Talang Mamak mengenal konsep tersebut dengan istilah mengari.
Mengari ini adalah ketika seseorang datang ke ladang orang lain untuk membantu dan mengharapkan imbalan. Mereka yang melakukan mengari akan diupah berdasarkan hasil kerja mereka. Misalnya, ketika seseorang membantu membuatkan wadah untuk penyimpanan padi, upahnya akan dibalas sesuai dengan besaran wadah padi yang mereka buat.
Secara sederhana, upah tersebut akan dinilai sesuai dengan besaran kerja yang mereka lakukan. Namun terlepas dari sistem upah tersebut, masyarakat adat Talang Mamak sebenarnya membangun sistem kerja mereka berdasarkan solidaritas komunitas. Apa yang dilakukan oleh suatu keluarga dipahami sebagai kepentingan komunitas.
Mempertimbangkan Relasi Kerja Adat
Secara sederhana, tulisan ini berusaha merespons fenomena relasi kerja masyarakat industri yang sangat eksploitasi. Jurang antara si miskin dan si kaya yang diciptakan oleh sistem ekonomi yang menekankan pada kepentingan individu justru hanya menciptakan problem sosial. Kelas yang terbentuk justru akan menciptakan orang-orang yang akan menindas kelas yang lebih kecil.
Dalam konteks masyarakat adat, khususnya masyarakat adat Talang Mamak, relasi kerja yang sudah dibangun menjadi penting untuk dipertimbangkan. Masyarakat adat yang sering kali menjadi sasaran objek pembangunan dan pemberdayaan tentu sering kali dipaksakan pada logika atau ideologi yang berbeda dengan paradigma yang telah mereka pertahankan sejak nenek moyang. Sistem atau relasi kerja yang mereka bangun tentu telah lama dilakukan dengan tujuan keberlanjutan komunitas.
Program yang sangat mengedepankan kepentingan ekonomi yang tidak berbasis pada kepentingan komunal justru hanya menciptakan raja-raja kecil di komunal itu sendiri dan pada akhirnya menciptakan konflik dan kelas sosial seperti pada logika kapitalisme. Orang-orang yang ingin terlibat dan berinteraksi dengan komunitas adat, baik itu pemerintah atau pihak lainnya dan berusaha membawa program tentu penting untuk mempertimbangkan nilai yang telah terinternalisasi di masyarakat adat.
*Artikel ini ditulis oleh: Miftah Khalil Muflih, CRCS UGM