Dampak yang mendasar dari hilangnya lahan gambut di Kalimantan Tengah membawa implikasi yang luas dan mendalam bagi masyarakat lokal. Awalnya, keberadaan lahan gambut yang mulai menghilang disebabkan oleh aktivitas perkebunan kelapa sawit yang semakin meluas.
Data yang dihimpun oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah (Kalteng) menunjukkan bahwa konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan terkait pembangunan dan pengelolaan perkebunan sawit telah mencapai angka 345 dalam dua dekade terakhir. Konflik ini tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi tetapi juga mengancam identitas dan keberlangsungan hidup masyarakat lokal.
Dahulu, masyarakat desa Pilang dan Simpur, kecamatan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah hidup dari pertanian tradisional, seperti menanam singkong dan padi. Mereka bahkan mampu menghasilkan beras merah yang khas dari daerah mereka. Sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan selama setahun dan bahkan bisa dijual untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
Namun, sejak tahun 1992, masifnya perluasan lahan perkebunan kelapa sawit telah mengubah lanskap mereka secara radikal. Lahan-lahan mereka yang dulunya subur dan produktif kini beralih fungsi menjadi kebun sawit. Hal ini tidak hanya mengurangi luas lahan untuk bertani tetapi juga mengubah tatanan sosial dan budaya masyarakat lokal.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa luas perkebunan sawit ilegal di Kalimantan Tengah mencapai 855.558,68 hektar. Dengan tambang ilegal mencapai 111.850,33 hektar. Dari total 967.409,01 hektar, sekitar 938.847,04 hektar telah teridentifikasi kepemilikannya, yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan perkebunan sawit. Eksploitasi lahan gambut ini bukan hanya merusak lingkungan tetapi juga menyebabkan penurunan kualitas air dan meningkatkan risiko kebakaran.
Food Estate Bukanlah Solusi
Upaya pemerintah untuk mengatasi masalah ketahanan pangan dengan program food estate ternyata juga tidak memberikan hasil yang diharapkan. Pemerintah mulai mengembangkan lumbung pangan padi di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau sejak tahun 2020. Sekitar 62.000 hektare area sawah padi yang masuk program itu berada di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG). Adapun alasan wilayah tersebut dipilih karena statusnya bukan lagi kawasan hutan.
Jika kita melihat sejarah, pada saat zaman pemerintahan Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono, Kalimantan menjadi daerah di Indonesia yang dijadikan area sentra padi. Program serupa pernah dijalankan, namun tak ada yang berhasil. Penyebabnya karena kajian yang sangat kurang dalam hal kesesuaian lahan dan kondisi sosial masyarakat di Kalteng.
Dilansir dari laporan BBC news pada 15 Maret 2023, Direktur WALHI Kalteng, Bayu Herinata menjelaskan menanam padi di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) adalah tindakan serampangan. Sebab fungsi gambut sebagai pengatur siklus air justru dieksploitasi sehingga terjadi kekeringan dan belakangan memicu kebakaran lahan.
Dalam hal kondisi sosial masyarakat, masyarakat adat dayak ngaju sebetulnya sudah punya pola pertanian yang sesuai dengan kearifan lokal mereka. Sehingga mereka tahu betul mana lokasi yang bisa dijadikan lahan pertanian. Sayangnya, program food estate ini mengabaikan peran penduduk lokal termasuk pengetahuan mereka.
Bayu juga menekankan bahwa masyarakat di Kalteng belum memiliki pola pertanian sawah yang dekat. Kalaupun ada itu bukan orang lokal tapi transmigran, kata Bayu. Penduduk setempat terbiasa berladang dengan membakar lahan. Akan tetapi kalau terjadi kebakaran, masyarakat yang disalahkan. Apa yang terjadi sekarang, menurut Bayu, masyarakat lokal dipaksa menjalankan praktik menanam yang berbeda dari kebiasaan. Artinya itu bukan perkara sederhana. Butuh proses yang panjang untuk berubah.
Persoalan lain mengapa program ini kandas, katanya, benih yang diberikan ke petani lokal tidak sesuai dengan pengetahuan mereka. Benih untuk food estate menggunakan varietas Inpari 42 dari Kementerian Pertanian (Kementan). Sudah umur bibitnya lebih pendek dari usia bibit lokal, begitu tumbuh diserang hama. Masyarakat yang tak punya pengalaman menanam bibit harus menjajal obat hama, tapi tak juga membaik.
Pada akhirnya, masyarakat adat dayak ngaju terpaksa membeli beras dan kebutuhan dapur lainnya. Padahal jika mereka diberikan akses yang luas terhadap pengelolaan lahan sesuai dengan kearifan lokal mereka, masyarakat adat desa Pilang dan Simpur dapat menghasilkan beras merah untuk ketahanan pangan dalam setahun. Bahkan, sebagiannya masih bisa untuk dijual.
Masyarakat Adat Dayak Ngaju Semakin Miskin
Dampak dari semuanya tidak hanya terbatas pada sektor pertanian tetapi juga merambah ke aspek sosial dan ekonomi. Banyak masyarakat adat dayak ngaju yang terpaksa menjadi buruh sawit dengan upah yang minim, bahkan tidak sebanding dengan pengeluaran yang mereka keluarkan. Harga sawit yang fluktuatif membuat situasi semakin sulit. Terutama saat musim hujan ketika mereka tidak dapat bekerja dan harga sawit tinggi. Juga saat musim panas ketika harga sawit menurun.
Selain itu, aktivitas tambang ilegal juga mencemari sungai dan mengurangi akses masyarakat terhadap air bersih. Ini menjadi dilema karena pada akhirnya masyarakat desa Pilang dan Simpur harus membeli air bersih untuk diminum dan kebutuhan memasak.
Belum lagi masalah listrik yang sulit diakses khususnya di desa Simpur. Adanya syarat administrasi dari pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mewajibkan harus 1.000 kepala keluarga yang harus membayar biaya aliran listrik. Sedangkan mereka tidak punya cukup uang untuk mengeluarkan biaya.
Adapun bantuan tenaga surya dari beberapa lembaga pemberdayaan, tidaklah maksimal. Kurangnya pendampingan peningkatan kapasitas masyarakat menjadi faktor utama. Di mana ketika masyarakat diberikan alat bantu dan kemudian barang tersebut rusak, masyarakat tidak bisa memperbaiki dan akhirnya dijual oleh masyarakat.
Keseluruhan masalah ini menciptakan lingkaran setan bagi masyarakat di desa Pilang dan Simpur. Di mana hilangnya lahan untuk mata pencaharian tradisional mereka, mendorong mereka menjadi buruh sawit atau petani karet dengan upah rendah dan ketidakpastian ekonomi. Ini menunjukkan bahwa dampak dari eksploitasi lahan gambut dan sumber daya alam lainnya yang tidak berkelanjutan telah menciptakan situasi krisis bagi masyarakat adat di Kalteng.
Peran KWT Dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat
Untuk itulah peran Kelompok Wanita Tani (KWT) di desa Pilang dan Simpur, memainkan peran yang sangat penting dalam pemberdayaan perempuan adat. Serta dalam meningkatkan kesejahteraan dan keberlanjutan di kedua desa tersebut. Kelompok ini bukan hanya menjadi wadah bagi para perempuan untuk berkumpul dan saling mendukung saja. Tetapi juga menjadi basis bagi aktivitas pertanian yang berkelanjutan.
Dengan berbekal semangat gotong royong dan kearifan lokal, KWT di kedua desa tersebut telah berhasil mengadopsi praktik pertanian berkelanjutan. Terutama dengan menggunakan metode tanam dalam polybag. Meskipun lahan terbatas, mereka mampu mengoptimalkan ruang yang tersedia dan menanam berbagai jenis tanaman yang dibutuhkan untuk kebutuhan sehari-hari. Contohnya cabai, terong, singkong, dan tanaman lainnya.
Keberhasilan KWT di Desa Pilang menjadi inspirasi ketika mereka berhasil menciptakan produk bernilai tambah dari hasil tanaman mereka, yakni keripik singkong. Mereka berhasil mengolah singkong menjadi produk yang dapat dijual, memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga mereka. Ini tidak hanya meningkatkan taraf ekonomi kelompok tersebut, tetapi juga memberikan dorongan semangat dan kebanggaan tersendiri bagi para anggota kelompok.
Lebih dari sekadar aktivitas pertanian, KWT ini juga menjadi tempat bagi pertukaran pengetahuan dan keterampilan. Serta mendukung pemberdayaan perempuan adat di wilayah tersebut. Melalui kolaborasi dan kerja sama dalam kelompok, para anggota dapat saling belajar dan tumbuh bersama. Memperkuat ikatan sosial dan ekonomi di antara mereka.
Dengan demikian, KWT di desa Pilang dan Simpur bukan hanya menjadi contoh keberhasilan dalam praktik pertanian berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana. Tetapi juga menjadi simbol pemberdayaan perempuan adat dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan berkelanjutan.