Mengkaji ketahanan pangan di Indonesia, pemerintah telah menerapkan program ambisius yang dikenal sebagai “food estate” atau lahan pangan. Food estate sudah berjalan sejak tahun 2019 hingga kini. Dalam perencanaan awalnya, biaya lumbung pangan itu memiliki anggaran sebesar Rp 1,9 triliun pada 2020-2021. Sementara pada 2022 mencapai Rp 4,1 triliun.
Meskipun tampaknya sebagai langkah proaktif untuk memastikan pasokan pangan yang berkelanjutan, sayangnya, pendekatan ini belum sepenuhnya mencerminkan pemahaman mendalam tentang esensi ketahanan pangan.
Salah satu kelemahan utama dari program ini adalah kurangnya fokus pada diversifikasi produksi pangan. Food estate lebih banyak terpusat pada pengembangan lahan besar untuk komoditas tertentu, tanpa mempertimbangkan keanekaragaman sumber pangan.
Padahal, ketahanan pangan sejati memerlukan berbagai produksi pangan agar mampu menghadapi berbagai tantangan seperti perubahan iklim, bencana alam, dan penyakit tanaman.
Akibatnya, proyek ketahanan pangan ini banyak mengalami kegagalan di sejumlah wilayah. Seperti, di Sumatera Utara, tanaman holtikultura mulai ditanam. Secara total, pemerintah mencanangkan food estate di Sumatera Utara sekitar 61.042 hektar.
Tapi faktanya, petani justru mengalami kegagalan pada masa tanam pertama dan kedua. Mereka bahkan harus kehilangan tanah adat mereka juga komoditas asli–andaliman dan hutan kemenyan–mereka.
Kegagalan juga ditemukan di proyek lumbung pangan di hutan, lahan gambut, dan di wilayah adat di Kalimantan Tengah. Dengan luas lahan yang disiapkan 31.719 hektare untuk lahan singkong, hampir setengahnya mangkrak.
Sedangkan di Papua, hadirnya food estate ini akan mengancam hilangnya kawasan hutan adat Papua seluas dua juta hektar. Bisa dibayangkan, bukan?
Aspek keberlanjutan ekologis yang sering kali diabaikan menjadi salah satu faktornya. Pemanfaatan lahan yang berlebihan tanpa mempertimbangkan konsekuensi lingkungan jangka panjang dapat merusak keberlanjutan alam dan mengancam ketahanan pangan jangka panjang. Seharusnya, pemerintah harus lebih memperhatikan praktik-praktik pertanian yang ramah lingkungan serta pengetahuan adat di sejumlah komunitas masyarakat adat.
Sejak zaman leluhur, masyarakat adat di berbagai wilayah di Indonesia telah membentuk pengetahuan lokal yang kaya dan sistem ketahanan pangan yang unik. Pengetahuan ini tidak hanya mencerminkan kearifan lokal, tetapi juga menjadi fondasi kuat dalam menjaga ketahanan pangan masyarakat selama berabad-abad. Melalui praktik-praktik tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi, masyarakat adat memahami betul ekosistem setempat dan menyesuaikan pola pertanian mereka dengan lingkungan sekitar.
Contohnya di komunitas adat To Kulawi, dikenal istilah Pampa, yaitu satu zonasi tradisional masyarakat adat, otoritas pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang dimiliki kaum perempuan. Pampa merupakan ‘dapur kedua’ bagi kaum perempuan, tempat mereka menanam berbagai macam tanaman, seperti; ubi kayu, ubi jalar, sayur-sayuran, serta tanaman penghasil bumbu dapur seperti bawang, rica, tomat. Juga tanaman buah-buahan, coklat, kayu-kayuan, pandan serta tanaman untuk bahan kerajinan.
Ada juga di komunitas Suku Anak Dalam (SAD) yang kini budidaya ternak ikan. Mereka tidak hanya betenak, tapi mengolahnya menjadi ikan asap untuk dijual. Pembuatannya pun masih sangat tradisional. Sehingga, perlu waktu seharian untuk bisa dikonsumsi. Bahkan, karena hasil panen dari pembesaran ikan yang dilakukan di komunitas ini tergolong tinggi, kini, mereka membuat ide untuk mengolahnya menjadi produk lain, yaitu; Abon Ikan Patin.
Lalu, masyarakat adat Kasepuhan Cirebon yang membentuk kelompok gula semut. Mereka pun mengambil alih produksi bahkan sampai distribusi gula semut di komunitasnya. Dengan adanya kelompok ini, dampak peningkatan perekonomian bagi masyarakat pun lebih manusiawi.
Jika dulu mereka dibayar lebih rendah dari biasanya–akibat distribusi lewat tengkulak–dengan adanya kelompok ini bisa dibayar jauh lebih mahal. Bonusnya, mereka dapat mendapatkan uang dari hasil tabungan investasi kerakyatan tadi.
Dalam konteks food estate, pemerintah tidak pernah memberikan perhatian yang lebih besar pada pengetahuan lokal masyarakat adat. Padahal, melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya pangan akan menciptakan keterlibatan yang lebih besar dan memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Terakhir, implementasi food estate harus bersifat inklusif dan berkelanjutan secara ekonomi. Ini mencakup memberikan dukungan finansial dan teknis kepada petani dan masyarat adat, memastikan distribusi yang adil dalam rantai pasok pangan, dan menciptakan peluang ekonomi bagi komunitas lokal. Tanpa dukungan yang berkelanjutan dan inklusif, upaya pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan mungkin hanya menjadi retorika tanpa dampak yang signifikan.
Sudah saatnya pemerintah mengembalikan kembali kedaulatan pangan sepenuhnya kepada masyarakat adat. Karena berbicara perihal pangan tidak hanya berbicara soal komoditas, namun juga keberlangsungan hidup masyarakat.
Ketahanan pangan tidak dapat dicapai secara maksimal hanya melalui pendekatan seperti food estate tanpa memperhatikan aspek-aspek kritis seperti diversifikasi, keberlanjutan ekologis, partisipasi masyarakat adat, dan dukungan terhadap pertanian skala kecil.
Pemerintah harus memperbaiki fokus dan strategi untuk menciptakan kerangka kerja yang lebih komprehensif dan berkelanjutan guna memastikan ketahanan pangan yang kokoh di Indonesia.