Pembangunan Waduk Lambo merupakan salah satu proyek strategi nasional (PSN) yang bertujuan untuk menyediakan kebutuhan air baku dan irigasi di kabupaten Nagekeo. Wacana pembangunan tersebut sudah hadir di Nagekeo sejak tahun 1999. Di mana pembangunan tersebut masih dinamai dengan pembangunan waduk Mbai. Namun, isu itu kemudian menghilang karena masyarakat menolak pembangunan tersebut, terutama perempuan adat.
Aspirasi masyarakat pada saat itu pun disampaikan langsung oleh Jacob Nuwa Wea, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada kabinet gotong royong. Akan tetapi, pasca pemekaran kabupaten Ngada dan lahirnya kabupaten Nagekeo di tahun 2008, wacana pembangunan waduk Lambo ini hadir kembali di tahun 2015.
Masyarakat pun kembali melakukan penolakan, terutama menolak lokasi pembangunan yang berada di desa Lowo Se. Perjuangan demi perjuangan pun dilakukan masyarakat adat Rendu. Seperti membentuk Forum Penolakan Waduk Lambo (FPWL). Dimana sudah beberapa kali menyurati Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Gubernur, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Polisi daerah (Polda) NTT, Pemerintahan daerah (Pemda) Nagekeo, juga staf Kepresidenan. Akan tetapi hasilnya nihil.
Perempuan adat Rendu, Hermina Mawa, bercerita bahwa sejak pembangunan waduk berlangsung, pemerintah belum pernah melibatkan langsung masyarakat adat. Terkhusus perempuan adat dalam pembangunan desa. “Baru pada tahun 2015, namun perempuan adat hanya diundang sebagai peserta untuk memenuhi kuota. Tanpa diberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif,” jelas Hermina, pada acara ‘ngobrol inklusif’ yang diadakan oleh KEMITRAAN, pada 19 Oktober 2023 lalu.
Hermina menyampaikan bahwa pembangunan waduk tersebut menjadi kerugian bagi komunitasnya, terutama karena tanah mereka yang akan hilang. Namun, penolakan mereka dianggap sebagai perlawanan terhadap proyek strategis nasional. Bahkan menyebabkan kekerasan fisik dan penangkapan oleh pihak berwenang pada tahun 2018.
Perjuangan mereka tidak hanya terkait dengan penolakan pembangunan di lokasi tersebut, tetapi juga dengan tuntutan kompensasi yang dijanjikan oleh pemerintah. Meskipun warga setempat sudah memberikan izin sejak tahun 2022, hingga saat ini, janji kompensasi belum direalisasikan.
“Dari 58 kepala keluarga yang menandatangani, hanya 8 yang mendapatkan kompensasi. Yang kami tekankan bahwa perjuangan mereka adalah untuk mendapatkan hak-hak yang telah hilang, terutama sumber penghidupan dan pendapatan,” tambah Hermina.
Apa yang dialami oleh Hermina menjadi ketakutan yang sama dengan yang dirasakan Elisnawati, perempuan adat Balik Pemaluan, Kalimantan Timur. Sejak proyek strategis Ibu Kota Nasional (IKN) yang telah ditetapkan pada tahun 2019 yang lalu, Elisnawati beserta masyarakat adat Balik Pemaluan lainnya mulai resah dan khawatir akan pembangunan IKN ini.
Elisnawati, juga berbagi pengalaman serupa. Dalam pengambilan keputusan dan forum-forum terkait, perempuan adat tidak pernah dilibatkan secara langsung. Mereka hanya mendengar isu-isu yang akan dilaksanakan saja, tanpa kesempatan untuk menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka. “Proyek strategis nasional yang melibatkan lebih dari 400 hektar tanah masyarakat adat sedang direncanakan, tanpa konsultasi yang memadai,” ujar Elisnawati.
Elisnawati menyoroti bahwa proyek tersebut akan sangat merugikan mereka. Karena tanah yang diambil adalah tempat mereka mengelola kebun dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perempuan adat tidak hanya tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Tetapi juga tidak diberikan informasi yang memadai tentang relokasi dan ganti rugi. Mereka khawatir akan kehilangan sumber kehidupan, termasuk pohon nimpa yang digunakan untuk anyaman dan bahan dasar atap rumah mereka. “Bahkan, meskipun proyek IKN berdampak langsung pada wilayah mereka, perempuan adat tidak pernah diajak berpartisipasi dalam musyawarah sampai saat ini,” tegasnya.
Dari narasi kedua perempuan adat ini, tergambar bahwa perjuangan mereka tidak hanya untuk menolak pembangunan yang dapat merugikan masyarakat adat, tetapi juga untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan perlindungan dari kekerasan yang mereka alami. Padahal, langkah menuju inklusi perempuan adat dalam proses pembangunan menjadi suatu keharusan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan berkelanjutan.
Pentingnya Melibatkan Perempuan Adat dalam Pembangunan
Melibatkan perempuan adat dalam proses pembangunan merupakan proses terciptanya representasi yang lebih adil dan demokratis, mencerminkan keberagaman masyarakat dan memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan mencakup kebutuhan dan aspirasi semua warga negara.
Perempuan adat membawa perspektif unik dan pengalaman hidup yang berbeda, yang dapat memperkaya diskusi dan pengambilan keputusan. Keberagaman pandangan ini dapat memicu inovasi dalam merancang solusi pembangunan yang lebih holistik dan inklusif.
Partisipasi perempuan adat dalam pembangunan dapat meningkatkan pemberdayaan ekonomi dan sosial mereka. Dengan memberikan akses yang lebih baik ke sumber daya dan peluang, perempuan adat dapat menjadi agen perubahan positif dalam masyarakat mereka.
Mereka sering kali memiliki peran sentral dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan melestarikan kearifan lokal. Melibatkan mereka dalam pembangunan dapat mendukung upaya pelestarian budaya dan lingkungan, menghasilkan solusi yang berkelanjutan secara budaya dan ekologis.
Melibatkan mereka dalam pembangunan adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan mengatasi hambatan yang mereka hadapi dan memberdayakan mereka secara ekonomi, sosial, dan politik, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berdaya. Pemerintah, dan masyarakat sipil perlu bersatu untuk mendorong perubahan yang positif menuju partisipasi perempuan adat yang lebih besar dalam pembangunan.