Dharma Pinem, sedang duduk sambil merokok dan menikmati secangkir kopi di ruang tamu ketika saya menjumpainya di tempat tinggalnya, desa Timbang Lawan, Kabupaten Langkat. Ia sangat hangat menyambut kedatangan kami. Tidak terlalu tinggi, kulit hitam, rambut sedikit beruban dan memiliki keriput diwajah.
Sejak tahun 2015 ia dan beberapa temannya mendirikan Komunitas Bahorok Hijau di desa Timbang Lawan. Ide ini berangkat dari keresahan yang dirasakannya ketika melihat masyarakat pada saat itu menanam sawit yang justru tidak menghasilkan pendapatan apapun.
“Karena pun kalau dilihat dari sejarahnya, dulu di Kabupaten Langkat pada masa Belanda masuk, disini cuman nanam cokelat, vanilla dan tembakau. Baru setelah merdeka berubah menjadi lahan padi. Berjalannya waktu berubah menjadi sawit dan itu pun sekarang harganya tidak menguntungkan,” ujarnya.
Namun sejak banjir bandang yang terjadi ditahun 2003, lahan padi mandek dikarenakan rusaknya irigasi air yang sudah dibangun. Sampai sekarang, pemerintah setempat pun terkesan lambat untuk memperbaiki irigasi tersebut.
Dari kondisi itulah, masyarakat mencoba peruntungan untuk menanam sawit. Apalagi pada saat itu ada banyak bantuan bibit sawit yang diberikan pemerintah dan harga sawit pun masih sangat tinggi. “Gak tahu lah aku dulu apa program pemerintah kenapa ngasih bibit sawit gratis saat itu. Tapi sekarang liat aja, banyak yang gak terurus,” jelas Dharma.
Tidak adanya modal petani serta kurangnya pengetahuan petani dalam mengelola pohon sawit menjadi salah satu faktornya. Menurut Dharma, untuk mengurus pohon sawit membutuhkan modal yang banyak dan perawatan yang intens. Sedangkan pendapatan petani tidak sesuai dengan pengeluaran. Harga sawit yang tidak pasti pun lagi-lagi turut menjadi persoalannya.
Pun menurut Dharma, sawit bukan tanaman yang ramah. Karena jika tanah yang dulunya sudah pernah ditanami sawit harus diolah kembali agar kembali lembur. Sawit tidak bisa dijadikan benteng untuk menahan air jika terjadi banjir. Sehingga rentan terjadi degredasi tanah.
Kondisi inilah yang akhirnya mendorong Dharma untuk membentuk sebuah komunitas hijau bahorok. Adanya perubahan prespektif masyarakat serta pentingnya hidup dan lingkungan yang berkelanjutan menjadi alasan utama dari komunitas ini dibentuk. Apalagi desa Timbang Lawan sangat dekat dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Awalnya, Dharma melalui komunitas bahorok hijau berinisiatif melakukan penanaman pohon buah disekitar hutan sampai perbatasan TNGL. Pohon yang ditanam pun bermacam-macam; ada durian, jengkol, manggis, petai, mangga, duku dan masih banyak lagi. Dharma dan teman-temannya berkolektif untuk membeli bibit juga merawatnya.
“Biasanya tunggu 3 bulan dulu baru bibit itu bisa dipindahkan untuk ditanam. Setelah itu kita akan sama-sama ke hutan untuk melakukan penanaman dan merawatnya sampai berbuah,” tambahnya lagi. Setelah panen, hasilnya akan dibagi rata dan diperbolehkan untuk menjual jika ada yang ingin.
Uniknya, kegiatan menanam pohon buah ini tidak hanya dilakukan Dharma dan teman-temannya untuk kebutuhan pribadi saja, akan tetapi pohon yang ditanam, buahnya juga dapat dinikmati oleh satwa liar yang ada di hutan seperti; monyet, orang utan, tupai, burung dan musang. Dharma sadar bahwa satwa liar merupakan salah satu mata rantai untuk lingkungan yang berkelanjutan itu.
“Hutan sekarang sudah banyak berkurang, jadinya mereka kadang mencari makan sampai ke kebun milik warga. Itu pernah terjadi tapi aku lupa tahun berapa. Makanya kita buat sumber makan mereka juga di hutan agar mereka tetap punya rumah dan makanan.”
Seiring berjalannya waktu, komunitas ini semakin berkembang dan memiliki banyak peminat dari masyarakat desa. Mulai dari orang tua, anak muda bahkan sampai anak-anak. Komunitas ini pun memperluas penyadarannya dengan mengajak petani yang masih menanam sawit untuk beralih menanam pohon buah. Komunitas ini pun akan membantu dimulai dari bibit sampai perawatannya. Sehingga petani yang tanahnya digunakan tidak mengeluarkan modal apapun.
“Bahkan nanti buahnya bisa dimiliki sepenuhnya oleh pemilik tanah dan bebas kalau mau dijual. Jadi syarat dari kita gadak yang aneh-aneh. Hanya saja kami selalu berpesan, kalau ada satwa liar yang makan buah tersebut jangan dibunuh, dibiarkan saja,” jelas Dharma.
Awalnya pemilik tanah sempat khawatir jika komunitas ini ingin mematok dan mengambil tanah mereka, namun dengan pembuktian yang dilakukan Dharma dan teman-temannya, pandangan skeptis itu segera hilang. Sekarang, sudah banyak petani yang dulunya menanam sawit beralih menjadi menanam pohon buah.
Namun sejak pandemi di tahun 2019 yang berimbas kepada perekonomian masyarakat, Dharma mulai mencari bantuan dari beberapa lembaga. Tak hanya itu, Dharma dan teman-temannya juga membuka usaha desa wisata seperti tempat penginapan, penyewaan villa dan tenda bagi pengunjung wisata yang ingin berkemah di daerah sungai. “Sejak pandemi masyarakat banyak yang mengalami kekurangan uang jadi kita berpikir udah gak bisa lagi melakukan self funding. Makanya kita putuskan untuk cari uang untuk terus melanjutkan program komunitas,” jelasnya.
Dari pendapatan desa wisata, sepuluh persennya akan dimasukkan ke dalam uang kas komunitas. Pun komunitas bahorok bekerjasama dengan Nuraga Bumi Institute, sebuah komunitas lingkungan dan pendidikan bagi perempuan dan anak yang juga berada di Langkat. Setiap anak yang belajar di Nuraga Bumi Institute tidak perlu membayar uang iuran pendidikan namun anak-anak diwajibkan untuk memberikan bibit pohon dan buah setiap bulannya. Mereka juga bisa ikut turut menanam langsung di hutan bersama dengan komunitas bahorok hijau.
Yang Muda Yang Bergerak
Ramadhani, pemuda desa yang kini terlibat aktif di Komunitas Bahorok Hijau sejak tahun 2018, merasa sangat bangga bisa bergabung di komunitas ini. Selain dirinya bisa berperan untuk menjaga kelestarian lingkungan di desanya, ia juga bisa mendapatkan upah untuk menambah pendapatan. “Jadi disini gak sistem gaji kak. Cuman nambah uang jajan aja. Biasanya kami diupah per hari kerja gitu,” kata Ramadhani.
Menurutnya komunitas ini tidak hanya sekadar bertujuan agar terciptanya lingkungan yang berkelanjutan saja, namun komunitas ini bisa menjadi penyangga ekonomi masyarakat juga wadah pendidikan dan penyadaran akan pentingnya menjaga lingkungan.
“Anak-anak disini pun didorong orangtuanya untuk ikut menanam pohon kak. Jadi biasanya anak-anak akan dikasih upah 200 rupiah setiap bibit pohon. Biasanya mereka sehari bisa nanam 100 bibit pohon,” tambahnya sambil tertawa.
Dalam proses penanaman, setiap orang punya perannya masing-masing. Ada yang membersihkan lahan dan tanah, ada yang membuat lubang untuk bibit pohon, ada yang memotong bambu atau kayu untuk dijadikan tanda dan ada yang melakukan mentoring serta pengukuran pertumbuhan pohon. Untuk satu lahan, kata Ramadhani, mereka bisa menanam 100-500 bibit pohon. Tergantung kondisi lahan yang ingin ditanami. “Kalau lahannya banyak semak kan harus dibersihkan dulu, jadi itu udah makan banyak waktu. Tapi kalau lahan bersih dia barulah bisa kita nanam sampai 500 bibit pohon,” tambahnya. Kini, sejak tahun 2015 sampai dengan sekarang, jumlah lahan yang sudah ditanami pohon ada 200 lahan seluas 215 hektar yang tersebar di 15 titik di daerah.
Setali dulu air dengan Ramadhani, anggota komunitas lainnya, Selvi, juga sangat senang bisa bergabung di dalam komunitas ini. Ia mengaku banyak dapat keuntungan ketika masuk komunitas ini. Ia mulai peka dan peduli terhadap lingkungan serta tidak perlu lagi meminta uang kepada orangtuanya karena ia bisa mendapatkan upah dan hasil panen dari menanam pohon.
“Aku diajarin gimana cara ngukur diameter pohon dengan alat, tinggi pohon sama lebarnya. Diajarin mana pohon yang tumbuh baik mana yang enggak. Jadi kayak diajari konservasi dasar gitu lah kak,” katanya sambil sumringah.
Mereka yang Mengapresiasi
Nurul Nayla Azmi, pendiri Nuraga Bumi Institue sangat berharap semakin banyak inisiatif kelompok masyarakat yang memiliki kemauan besar untuk memulai idenya sendiri dalam perlindungan lingkungan sebagai garda terdepan. Menurutnya, masyarakat adalah tembok penting dalam perlindungan kawasan karena mereka tinggal dan hidup langsung berdampingan.
“Sumber penghidupan mereka seperti air dan udara juga langsung diberikan oleh hutan yang ada di sekitar mereka. Mereka terlahir dan besar dengan memandang hutan Dari kejauhan seumur hidup mereka, saatnya kita dukung inisiatif mereka untuk membangun toleransi sebesar-besarnya” ucap Nayla.
Dengan toleransi masyarakat yang besar, kata Nayla, maka sebenarnya tidak akan pernah terjadi konflik satwa seperti layaknya nenek moyang kita yang sudah memiliki nilai kehidupan yang harmoni dengan alam. Kembali membawa kearifan lokal, mengingatkan kembali siapa diri kita sebagai masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sebagai alasan mengapa mereka yang terlahir di sana harus sebagai pelindung.
“Sebagaimana nenek moyang sebelumnya. Inisiatif kecil dan besar yang teraplikasi menjadi nilai dan perbuatan dalam kehidupan dan menjadi bagian terpenting dalam diri kita melangkah untuk kehidupan selanjutnya itulah makna sebenarnya dalam konservasi. Nilai kehidupan inilah yang jadi penentu keberlanjutan usaha perlindungan apa pun secara bersama dan berlipat-lipat” tutupnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Palbert Tunip, Kepala Bidang Wilayah 3 BBTNGL. Dirinya sangat terbantu dengan hadirnya komunitas masyarakat seperti Komunitas Bahorok Hijau ini. Dimana komunitas juga secara tidak langsung melakukan kerja-kerja konservasi seperti pembersihan batas TNGL, penanaman pohon di areal dalam maupun luar TNGL sampai kepada penanganan konflik satwa liar dan manusia.
“Kita juga sering berkolaborasi dengan mereka. Overall komunitas bahorok hijau yang ketuanya Dharma Pinem sangat banyak membantu kita dan harus banyak lagi gerakan yang seperti ini” pungkasnya.
*untuk diketahui, tulisan ini juga dipublish di mongabay.co.id