Pentingnya Pendidikan yang Inklusi bagi Penghayat Marapu

Perjumpaan saya dengan penghayat Marapu di Sumba Timur mengantarkan pada pertanyaan besar seputar isu inklusi sosial, termasuk di sektor pendidikan. Dapatkah peserta didik penghayat Marapu mengakses pendidikan inklusi di sekolahnya? Sebagai kepercayaan asli Pulau Sumba, Marapu merupakan kepercayaan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Di mana penganutnya menjalin relasi dengan Sang Pencipta lewat perantara Marapu–nenek moyang atau leluhur.

Data terakhir dari Kementerian Agama Kabupaten Sumba Timur menunjukkan, tercatat jumlah penghayat Marapu sebanyak 16.790 jiwa. Akan tetapi, keberadaan ribuan penghayat Marapu ini masih belum diakui hak-haknya oleh pemerintah. Yakni, menghadirkan penyuluh Marapu–sebutan untuk guru mata pelajaran Marapu–secara merata.

Alhasil, ratusan peserta didik penghayat Marapu masih belum bisa mengakses pendidikan Marapu secara inklusi. Sehingga, mereka terpaksa mengenyam pendidikan agama Kristen, Katolik, ataupun Islam.

Pada acara Simposium Lii Marapu yang dilaksanakan pada 26 Oktober 2023 lalu, Dinas Pendidikan Sumba Timur mengatakan bahwa sampai saat ini keberadaan penyuluh Marapu masih sangat terbatas. Akibatnya pendidikan Marapu masih belum bisa dilaksanakan secara formal di semua sekolah di Sumba Timur. Inilah yang menjadi salah satu faktor utama dari penurunan jumlah penghayat Marapu dari tahun ke tahun.

Di Desa Kalamba misalnya, tidak adanya penyuluh di Sekolah Dasar Kalamba menjadi alasan utama pihak sekolah tidak menyelenggarakan pendidikan Marapu. Umbu Happu Madaili, salah satu tokoh adat Desa Kalamba mengatakan fenomena yang terjadi berimplikasi pada hilangnya generasi muda Marapu. “Anak-anak tidak memiliki pilihan selain mengenyam pendidikan agama Kristen di SD Kalamba. Padahal, Marapu merupakan kepercayaan yang dianut oleh mayoritas penduduk desa ini, termasuk anak usia sekolah dasar,” ujar Umbu Happu Madaili.

Apa yang terjadi di desa Kalamba menjadi perhatian khusus di di Desa Ndapayami, Kecamatan Kanatang. Pada acara pengesahan Peraturan Desa (Perdes) Lembaga Adat, masyarakat Desa Ndapayami menghadirkan keberadaan penyuluh Marapu di desanya. Meskipun belum aktif mengajar, adanya penyuluh Marapu di desa Ndapayami menjadi angin segar bagi pendidikan inklusi di desa tersebut. PEMDES juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan keberadaan penyuluh Marapu agar terus merawat budaya dan ritual Marapu.

Kondisi dua desa tersebut semakin memperjelas pentingnya menciptakan sistem dan kurikulum pendidikan yang inklusi, termasuk bagi para penghayat aliran kepercayaan. Rambu Kahi Ata Minya, satu dari delapan belas penyuluh Marapu di Sumba Timur, menuturkan bahwa sejauh ini ia merasa pendidikan Marapu tidak cukup diajarkan pada tataran teori saja. Melainkan membutuhkan porsi pendidikan berbasis praktik. Hal ini ia sampaikan ketika menjadi salah satu pembicara di Simposium Lii Marapu.

Tentu ini menjadi tantangan mengingat praktik hamayang–sebutan untuk praktik ibadah penghayat Marapu–tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Oleh karena itu, bahan ajar pendidikan Marapu yang telah disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap membutuhkan inovasi. Tentang bagaimana pendidikan berbasis praktik dapat diajarkan kepada peserta didik.

Inilah yang harus menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk Lembaga Bumi Lestari (LBL). Saat ini pihak LBL tengah berupaya untuk bekerjasama dengan penyuluh Marapu di desa binaannya, seperti Desa Kalamba. Hal ini berguna agar LBL dapat merekomendasikan keterlibatan tokoh Marapu di dalam mengajarkan pendidikan Marapu berbasis praktik.

*Artikel ini ditulis oleh Gembong Hanung_Mahasiswa Magang Estungkara_FISIPOL UGM 2023

Penulis :

Yael Stefany