Perempuan Adat Kaluppini dan Sekolah Mattanun

Di balik lereng pegunungan Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, terdapat desa kecil bernama Kaluppini. Desa ini menyimpan kisah perempuan adat yang gigih menjaga tradisi menenun, sebuah warisan budaya yang telah bertahan selama berabad-abad. Bagi perempuan adat Kaluppini, menenun bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga sebuah bentuk penghormatan pada leluhur, nilai-nilai adat, dan spiritualitas yang menyertainya.

Menenun adalah tradisi yang hanya dilakukan oleh perempuan. Laki-laki dianggap pamali untuk menyentuh alat tenun, sehingga hasil kain yang dihasilkan memiliki nilai spiritual yang tinggi. Salah satu ciri khas dari tenunan Kaluppini adalah kain putih polos sepanjang delapan meter yang digunakan sebagai kain kafan dan perlengkapan ritual adat. Namun, tradisi ini perlahan memudar. Alat tenun yang rusak dan sulitnya mendapatkan bahan baku kapas menjadi hambatan besar bagi keberlanjutan tradisi ini.

Untuk melestarikan tradisi sekaligus meningkatkan perekonomian perempuan adat, pemerintah desa bersama pemangku adat menginisiasi sebuah program bernama Sekolah Mattanun. Pada 14 Januari 2025, sekolah ini resmi dibuka dengan mengusung tema “Melestarikan Tradisi Menenun Sebagai Warisan Budaya Kaluppini dan Membangun Produk Ekonomi Perempuan Adat Kaluppini.”

Acara ini menghadirkan narasumber penting, seperti Pak Imam, seorang pemangku adat yang berperan sebagai penjaga nilai-nilai tradisi, dan Mama Maman, seorang perempuan adat yang telah menenun sejak kecil. Dengan penuh semangat, mereka berbagi cerita tentang sejarah dan filosofi kain tenun Kaluppini serta tantangan yang dihadapi oleh perempuan adat.

Pak Imam menjelaskan bahwa kain putih polos dari Kaluppini tidak hanya digunakan sebagai kain kafan, tetapi juga untuk berbagai ritual adat. “Tidak afdol kalau ritual menggunakan kain putih buatan pabrik. Kain tenunan perempuan adat memiliki nilai historis dan spiritual yang sangat tinggi,” ungkapnya.

Selama kegiatan Sekolah Mattanun, para peserta, sebagian besar perempuan adat, mulai belajar kembali proses pembuatan benang dari kapas lokal hingga teknik menenun. Namun, tantangan segera muncul. Ketiadaan kapas lokal dan sulitnya memperoleh alat seperti sisir tenun menjadi kendala utama. Perempuan adat berharap program ini dapat membuka jalan untuk menyediakan bahan baku dan alat-alat tenun yang mereka butuhkan.

“Semoga ini menjadi langkah awal bagi kami untuk menghidupkan kembali tradisi menenun. Jika kelompok menenun ini berjalan, kami bisa membantu perekonomian perempuan adat,” ujar Mama Daiful, salah satu peserta.

Sekolah Mattanun bukan hanya soal melestarikan budaya, tetapi juga memberikan peluang ekonomi baru bagi perempuan adat Kaluppini. Dengan kain tenun khas yang sarat nilai historis, perempuan adat memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatan, baik melalui pasar lokal maupun global.

Lebih dari itu, program ini menjadi simbol kekuatan perempuan adat dalam menjaga tradisi dan membangun masa depan yang lebih baik. Mereka tidak hanya menenun kain, tetapi juga harapan, solidaritas, dan masa depan komunitas Kaluppini

*Author: Kurnia (CRCS UGM), Estungkara Internship Participant 2024

Writer :

Yael Stefany