Di sebuah ruang, dikelilingi jendela-jendela berdebu, tiga buah kipas angin berdiri mengiringi langkah kaki seorang lelaki bertubuh ringkih dan karismatik. Dengan sigap, ia meraih mik dari genggaman MC, dan berdiri di atas podium. Seluruh peserta di Aula Kantor Kecamatan Tompobulu menunggunya bicara.
“…Nakke anne pinati, anjo tommi kupinawang, nasaba’ anjo Marusu na Bone anjoengmi poko’na pertanianga, jari tanggala rua pulo pi nassulu jannang marusu/ saya adalah seorang Pinati, saya mengikuti apa yang sudah lama terletak dalam prinsip pertanian Maros dan Bone, bahwa pada tanggal 20 November, kita semua turun menanam,” ujar Muntu’ Daeng Sila, seorang Pinati dari Desa Tompobulu, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Suaranya melantangkan ruangan.
Siang itu, (30/10/2024) kehadiran Daeng Sila pada kegiatan Musyawarah Tudang Sipulung (Appalili) Musim Tanam Tahun 2024-2025, janggal. Karena tak menurut kebiasaan Musyawarah Tudang Sipulung pada tahun-tahun sebelumnya, suara Daeng Sila hanya pekik berbalas meriah oleh para tamu undangan.
Tapi tidak untuk Pak Muhlis. Prediksi musim tanam yang keluar secara lisan dari Dg Sila, dicatatnya ke atas kertas. Sebagai Kepala Badan Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Tompobulu, Pak Muhlis takzim di mejanya. Dia mendengar dan sesekali mencatat prakiraan musim tanam dari Daeng Sila.
Rupanya, keterlibatan Daeng Sila adalah ikhtiar awal dari BPP Kecamatan Tompobulu yang didukung oleh Pemerintah Kecamatan Tompobulu. Pak Muhlis, saat berdiskusi dengannya di kantor BPP (01/11/2024), mengaku bahwa keputusan untuk melibatkan Pinati dalam acara tudang sipulung terbit dari prakarsa para penyuluh kecamatan Tompobulu. Mereka sepakat menyertakan pentingnya konektivitas pengetahuan adat dan pengetahuan ilmiah dalam menyusun prakiraan musim tanam. Kekacauan iklim sangat nyata, pikirnya.
“Sekarang ini, bahkan prediksi ilmiah pun kadang meleset. Dengan adanya perubahan lingkungan yang semakin sulit ditebak, teman-teman penyuluh merasa penting untuk melibatkan Pinati seperti Daeng Sila, yang dianggap punya kedekatan dengan yang Maha Kuasa dan mampu membaca tanda-tanda alam,” ungkap Pak Muhlis.
Menghidupkan Pengetahuan Adat dalam Pertanian Modern
Sistem pengetahuan adat sering kali diabaikan dalam pendekatan ilmiah karena dianggap tidak memiliki basis metodologis yang dapat diukur. Namun, pengetahuan adat, khususnya yang dimiliki oleh masyarakat adat, mengandung nilai keberlanjutan yang tinggi. Dalam hal ini, keterlibatan Pinati dalam prakiraan musim tanam di Kecamatan Tompobulu memberikan ilustrasi warna baru tentang sistem pengetahuan ilmiah yang berdialog dengan sistem pengetahuan adat dalam menentukan musim tanam.
Pada Musyawarah Tudang Sipulung, Daeng Sila menyarankan agar para petani mulai menanam pada tanggal 20 November 2024. Saran ini ternyata sejalan dengan prakiraan BMKG yang memperkirakan bahwa curah hujan akan stabil pada waktu yang sama. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal memiliki koneksi langsung dengan pendekatan ilmiah.
Jack Kloppenburg menyatakan dalam artikelnya, Social Theory and the De/Recontruction of Agricultural Science: Local Knowledge for an Alternative Agriculture, bahwa salah satu kekuatan sistem pengetahuan lokal adalah sifatnya yang kontekstual dan fleksibel. Ini berbeda dengan pengetahuan ilmiah dan sains modern yang lebih berfokus pada pemahaman mendalam tentang komponen-komponen tertentu melalui metode reduksionis. Spesialisasi pengetahuan lokal yang dimiliki oleh seorang Pinati, melibatkan kedekatan yang teruji selama bertahun-tahun dengan kondisi lingkungan setempat. Hal ini menerbitkan kesadaran bahwa pengetahuan lokal dapat memberikan perspektif yang holistik dalam memahami pola-pola alam yang kompleks.
Kolaborasi Antara Pengetahuan Ilmiah dan Pengetahuan Adat
Pak Muhlis menangkap ilustrasi musyawarah tudang sipulung yang bagus ini sebagai langkah maju untuk kolaborasi pengetahuan ilmiah di dunia pertanian dengan tradisi yang telah hidup di Kecamatan Tompobulu. Namun, Pak Muhlis menyadari bahwa dari proses kolaborasi ini, tantangan pasti ada. Di Desa Bonto Manurung, ritual adat pertanian yang dipimpin oleh Pinati sering kali menunda musim tanam.
“Kadang mereka menunda waktu tanam karena ritual adat belum dilaksanakan. Ini membuat beberapa petani, semakin berkurang kesempatannya untuk memanen padi dua kali dalam setahun, karena terlambat menanam,” kata Pak Muhlis.
Kondisi seperti ini memunculkan wacana untuk membentuk forum komunikasi antara Badan Penyuluhan Pertanian dengan komunitas Pinati, agar proses musyawarah lebih terkoordinasi. Model wacana pembentukan forum Pinati di Kecamatan Tompobulu mendukung sistem model petani-kembali-ke-petani yang dianjurkan oleh Robert Rhoades dan R Booth dalam artikel Farmer-Back-to-Farmer: A Model for Generating Acceptable Agriculture Technology. Mereka berpendapat bahwa penelitian atau prediksi pertanian harus dimulai oleh petani dan diakhiri oleh petani.
Ketika pengetahuan ilmiah mengidentifikasi solusi potensial untuk memecahkan masalah, teknik tersebut perlu diuji di lahan pertanian dengan mempertimbangkan masukan pengalaman dari sistem pengetahuan adat setempat. Kolaborasi ini kemudian kembali kepada pengujian ilmuwan dan petani yang dapat bekerja dengan teknologi mutakhir untuk menciptakan solusi yang lebih baik. Namun, gagasan utama dari model ini adalah komunikasi dan umpan balik yang terus-menerus antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan adat.
Dalam konteks ini, Badan Penyuluh Pertanian di Kecamatan Tompobulu telah melihat pentingnya menjalin komunikasi yang lebih terbuka dengan masyarakat adat agar kebutuhan teknologi dan pengetahuan kiwari dapat sesuai dengan kondisi lokal.
Pembelajaran dari Sistem Ketahanan Pangan Adat
Pak Muhlis juga meneroka wacana membentuk Forum Pinati dari inspirasi yang berasal dari konsep ketahanan pangan masyarakat adat. Sebagai penyuluh pertanian yang telah 12 tahun berinteraksi dengan desa-desa masyarakat adat, dia menyaksikan bahwa sistem ketahanan pangan masyarakat adat memiliki kedalaman yang sulit dijangkau oleh pola pikir modern.
Masyarakat adat, seperti Suku Baduy di Banten dan Suku Kajang di Sulawesi Selatan, memiliki cadangan pangan yang bisa bertahan hingga puluhan tahun. Tradisi menyimpan gabah di rumah sebagai cadangan adalah praktik yang kini jarang dilakukan.
“Masyarakat adat, dulu selalu menyimpan gabah di rumah sebagai cadangan untuk kebutuhan selama bertahun-tahun,” ujarnya.
Menurut Pak Muhlis, ini adalah contoh nyata dari keberlanjutan pangan yang sejati. Desa-desa seperti Desa Bonto Somba dan Desa Bonto Manurung memiliki kebiasaan menyimpan gabah dan hanya menjualnya ketika benar-benar dibutuhkan. Sebaliknya, desa-desa yang kini terisap ke dalam kehidupan modern, sering kali menjual hasil panen padi langsung setelah panen, tanpa mempertimbangkan kebutuhan cadangan masa mendatang.
Ketahanan pangan dari sistem pengetahuan lokal adalah langkah-langkah membentuk sistem pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Sistem pengetahuan lokal telah menawarkan alternatif untuk membendung siklus ketergantungan pada pasar yang sering kali membuat petani rentan terhadap fluktuasi harga dan kekacauan iklim. Sistem pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat dalam mengelola pangan, bagi Pak Muhlis, adalah bentuk keberlanjutan yang sebenarnya, yang tidak hanya bertujuan untuk konsumsi, tetapi juga untuk menjaga ketersediaan pangan untuk generasi mendatang.
Masa Depan Kolaborasi Pertanian: Membentuk Forum Pinati di Kecamatan Tompobulu
Pak Muhlis memiliki harapan besar untuk masa depan. Ia bercita-cita untuk membentuk Forum Pinati, yang berfungsi sebagai wadah bagi para pemimpin adat, peneliti, petani, dan penyuluh untuk berdialog secara rutin. Forum ini bisa menjadi jembatan antara teknologi pertanian modern dan pengetahuan adat. “Lewat forum ini, kita bisa belajar dari mereka, dan mereka juga bisa belajar dari teknologi yang kami tawarkan,” ungkap Pak Muhlis dengan penuh optimisme.
Lori Ann Thrupp (1989) dalam artikel berjudul Legitimizing Local Knowledge: From Displacement to Empowerment fot Third World People, menekankan bahwa pembangunan pertanian yang berkeadilan harus melibatkan partisipasi langsung para spesialis (Pinati) pengetahuan adat. Hal ini akan mendorong terciptanya sistem pertanian yang tidak hanya produktif, tetapi juga selaras dengan budaya, adat istiadat, dan alam setempat.
Melalui Forum Pinati, Pak Muhlis berharap agar teknologi pertanian yang diterapkan di Kecamatan Tompobulu tidak hanya bermanfaat bagi petani, tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat.
Pak Muhlis menyadari bahwa koneksi antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan adat adalah proses dialog yang penuh tantangan. Tapi ia yakin bahwa kedua sistem pengetahuan ini dapat saling melengkapi.
“Bagi saya, pengetahuan adat adalah sesuatu yang sangat berharga. Kita harus menjaga dan melestarikannya, sementara perkembangan zaman juga harus tetap diselaraskan. Kita bukan hanya memanen padi, tapi kita juga menanam untuk melestarikan pengetahuan adat untuk generasi yang akan datang,” ujarnya.