Pemberdayaan perempuan adalah upaya yang sangat penting dalam mewujudkan kesetaraan gender dan meningkatkan kualitas hidup keluarga serta masyarakat, utamanya di masyarakat adat. Salah satu metode yang cukup efektif untuk memberdayakan perempuan adalah mendengarkan suara dan aspirasi perempuan. Seringkali suara dan aspirasi mereka tidak terdengar karena tidak banyak ruang yang memberikan kesepatan bagi mereka untuk bersuara. Atau tidak terbiasa bagi perempuan untuk bersuara di forum-forum pembangunan di desa.
Budi Budiansyah, Fasilitator Desa dari Lembaga Karsa Institute membagikan pengalaman pendampingan yang dilakukan di masyarakat adat To Kulawi di Kabupaten Sigi pada kesempatan seri diskusi Ngobrol Inklusif. Serial diskusi ini merupakan Kerjasama KEMITRAAN dan TV Desa dalam mengangkat cerita-cerita inklusif terkait pembangunan di desa.
Karsa Institute merupakan salah satu lembaga pelaksana program Estungkara yang mendampingi masyarakat adat di Kabupaten Sigi. Salah satu fokus kerja yang dilakukan adalah mendorong partisipasi dan kemandirian perempuan adat. Sehingga metode pemberdayaan menjadi prioritas kerja yang dilakukan Karsa Institute.
“Dalam memulai pendampingan biasanya kami akan mulai memetakan potensi dan kekuatan yang ada di aktor-aktor kunci di kelompok perempuan, biasanya ini menjadi pintu masuk pendampingan komunitas,” ujar Budi saat sesi sharing di Ngobrol Inklusif.
Namun tidak berhenti sampai disitu, Budi menjelaskan bahwa suara-suara perempuan merupakan salah satu kunci pembangunan komunitas sehingga memberi ruang bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi menjadi salah satu fokus mendorong kesetaraan gender di masyarakat. Ruang-ruang tersebut bisa ditemukan di komunitas dimana perempuan merasa nyaman saat beraktivitas, salah satunya di dapur.
“Di dapur biasanya ada banyak hal yang bisa diungkapkan, dan bahkan lewat dapur biasanya kita bisa menggali banyak sekali informasi dari para perempuan, karena itulah ruang aman mereka,” tambahnya.
Dapur, dalam banyak budaya, adalah tempat yang tidak hanya digunakan untuk memasak, tetapi juga berfungsi sebagai ruang sosial bagi perempuan. Di sinilah mereka berkumpul, berbicara, berbagi pengalaman, dan mendiskusikan berbagai isu yang mereka hadapi. Untuk menggali aspirasi perempuan di desa, memanfaatkan dapur sebagai ruang untuk berdiskusi dapat menjadi metode yang efektif.
“Karena pendekatan yang tidak formal, perempuan merasa lebih nyaman untuk menyampaikan pendapat dan keluhan mereka. Diskusi bisa dimulai dengan topik ringan, seperti kegiatan sehari-hari di rumah, hingga isu-isu yang lebih mendalam, seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi,” jelas Budi dalam sharingnya.
Pendekatan ini bisa dilakukan bagi fasilitator seperti kami untuk melakukan pendekatan langsung ke rumah-rumah warga untuk membangun hubungan yang lebih dekat. Dalam suasana yang lebih santai dan akrab, perempuan dapat lebih bebas untuk mengungkapkan aspirasi dan masalah yang mereka hadapi tanpa merasa tertekan. Dengan cara ini, kita bisa memperoleh wawasan yang lebih nyata mengenai kebutuhan dan keinginan perempuan di desa.
Ruang dapur, yang sering dianggap sebagai tempat domestik dan pribadi, memiliki potensi besar untuk menggali aspirasi perempuan di desa. Dengan mendekatkan diri kepada perempuan di ruang yang mereka kuasai, kita dapat memahami lebih dalam mengenai kebutuhan mereka, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun budaya. Aktivitas di dapur bukan hanya soal memasak, tetapi juga tentang kehidupan, harapan, dan keinginan perempuan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Melalui pendekatan yang inklusif dan empatik, kita dapat memberdayakan perempuan desa untuk menjadi agen perubahan dalam keluarga dan masyarakat mereka.